Share

6. Tanggung Jawab

Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir.

"Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir.

"Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas.

Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih."

"Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir.

Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar.

"Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya.

"Kamu udah janji sama Ayah, Ra."

"Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, ia menarik telinga Rara." Aaaaauuuch... Sakit!" ringis Rara. "Ayah bisa di penjara loh, yah. Berani banget ayah nyiksa anak sendiri," lanjutnya semakin ngawur.

"Ngaco kamu!"

"Ingat jantung jangan pakai urat."

"Kamunya sih mancing emosi ayah terus, makanya jadi anak gadis jangan bandel, nurut sama orang tua," sungut Fatir menarik lengan Rara.

"Kapan Rara gak nurut sama ayah? Rara nurut terus, Rara belajar demi ujian nilai tinggi, terus Rara gak buat masalah selama seminggu ini. Kurang apa atuh Rara?"

Fatir menggeleng kepalanya memandangi kelakuan ajaib putrinya. Ada saja sahutan Rara membuat Fatir menghembus napas panjangnya.

"Dasar drama queen kamu!" cela Fatir sembari membuka pintu kamar ruang rawat.

Ketika memasuki ruangan sunyi itu, Rara tampak kaget mendapatkan Aslam di depan matanya. "Kok ada lo sih? Ikuti gua,ya? Naksir lo?" pekik Rara membuat pasien terbangun.

"Rara! Yang sopan dong, sama guru jangan kurang ajar." Fatir merasa tak nyaman dengan kelakuan Rara sama sekali tidak seperti wanita pada umumnya. Suaranya saja sudah seperti penyihir.

Rara seperti terkena malapetaka, hidupnya seolah-olah sial setiap bertemu Aslan. Di muka bumi ini banyak laki-laki tetapi kenapa harus Aslan harus bertemu dengannya. "Lo itu ada di mana-mana, ya. Sekolah ada, rumah sakit ada, bosan gua lihat muka lo. Pahit!"

"Rara! Yang sopan!" bentak Fatir.

Rara bungkam tetapi tatapannya sinis kepada Aslan. Dia masa bodoh dengan kemarahan ayahnya, ia hanya ingin sekali saja tidak bertemu Aslan.

Namun dalam satu minggu selalu bertemu Aslan, mau libur atau pun sekolah. Tak kenapa setiap bertemu Aslan bawaannya ingin marah.

"Gak papa, om. Rara ini masih labil emosinya." Rara membuka lebar mulut. Bisa sekali Aslan cari muka, sok baik.

"Gak bisa gitu, Aslan. Rara ini harus belajar tanggung jawab. Lihat atas perbuatan yang gak pikir panjang." Fatir menunjuk kearah seorang gadis terbaring tak berdaya karena kakinya patah, dan untuk saat ini tidak boleh pulang.

"Apa lagi sih, yah. Kan udah nih. Lihat Rara baik hati ikuti kemauan Ayah kesini. Jarang 'kan Rara mau. Kurang tanggung jawab apa coba," cerocos Rara sambil menatap tajam Aslan seakan menantang perang lelaki itu.

Awas lu Aslan! Gua jadikan daging makan malam baru tahu rasa lo.

"Emang kamu salah, kan. Minta maaf sama korban yang kamu tabrak sekarang!" suruh Fatir membuat Rara melotot tak percaya. Masa iya dia harus minta maaf sama adik kelas. Bisa turun dong harga dirinya.

"Yang penting udah tanggung jawab, yah," sahut Rara memandangi kondisi kaki pasien yang pernah dia tabrak.

"Rara!" Fatir menekan suaranya.

Rara berdecak.

"Iya-iya Rara minta maaf. Ayah bawel banget sih, suruh ini lah, suruh itu lah. Rara bosan dengar omongan Ayah."

Aslan menyimak perdebatan antara ayah dan anak ini. Ia menggeleng samar, tampak Aslan tak suka dengan sikap Rara kepada Fatir. "Kamu itu sama ayah sendiri kok gitu ngomongnya."

Rara menyunggingkan bibirnya miring. "Ngerasa rugi anda?"

"Enggak rugi sama sekali untuk saya. Cuma sama orang tua kamu harus bisa sopan, beliau ayah kamu," nasehat Aslan membuat Rara melangkah berdiri depannya.

"Yeh... Bokap gue aja gak sewot. Lo siapa ngatur hidup gua, hah?" Rara menarik kerah baju Aslan membuat kedua saling bertatap.

"Astaga... Rara! Yang sopan sama guru kamu," tegur Fatir kaget melihat kelakuan Rara seperti preman pasar.

Aslan mendekati telinga Rara setelah melepaskan cengkraman gadis itu berhati-hati. "Gua ini calon suami lo! Camkan itu baik-baik!" bisiknya

Rara menelan kasar ludahnya.

Penuturan Aslan beberapa detik lalu berhasil membuat tubuh Rara kaku, bibirnya yang bisa comel seakan bisu seketika.

"Sayang, kamu kok tiba-tiba diam?" Fatir menepuk pundak Rara khawatir, tak biasa melihat putrinya seperti patung.

Rara menghempaskan napas kasarnya berulang kali, ia menahan marah yang telah menyelimuti hatinya. "Nggak papa, yah. Telinga Rara tadi tiba-tiba dengar bisikkan setan," sindir Rara.

Fatir terkekeh geli. "Kamu ini suka aneh-aneh deh. Setan itu adanya malam hari," gumamnya.

"Ada, Ayah! Ini setannya perjaka tapi nyebelin, galak lagi," timpal Rara sambil melirik Aslan yang bicara kepada muridnya.

Aslan mengulum senyumnya, sesekali ia melirik Rara.

"Ada memamg setan perjaka?" Rara mengangguk antusias.

"Ya ada! Ayah mau tahu nggak nama setannya."

"Apa namanya?"

"Setan Aslan!"

Aslan bukan marah ia malah tersenyum geli dengan kelakuan Rara. Sedangkan Fatir sudah menjitak kepala Rara karena bicara kasar.

"Jaga omongan kamu! Pusing Ayah sama kelakuan kamu, umur udah 17 tahun masih gak maju pemikiran. Aslan guru kamu, hormati dong dia," sarkas Fatir.

Rara menatap tajam Aslan sambil menunjukkan jari tengah seolah menantang laki-laki itu. "Ayah ngomel melulu ah capek dengarnya. Rara mau pulang aja!"

Rara berjalan menuju keluar pintu. Dia sangat kesal sama bicara sendiri sepanjang jalan lorong rumah sakit.

"Emang dia siapa? Calon suami gua? Dia pikir gua mau kali nikah sama dia! Ih kesal gua sama Aslan!"

Beberapa orang yang melewati tertawa sambil berbisik melihat Rara yang bicara sendiri. "Apaan lo liat-liat! Gak pernah lihat orang cantik lo?"

"Dasar orang gila!"

"Woy... Sini! Berani banget lo bilang gua gila!"

***

"Ini minum, pasti capek habis marah-marah." Aslan menyodorkan sebotol air dingin.

Rara mendelik sinis. Tak tahu daripada Aslan mendadak ada di depannya. Bukannya tadi dia bersama ayahnya di ruangan rawat. "Shock perhatian! Gak mau gua," tolak Rara.

Aslan menghembuskan napas panjang.

"Benaran gak mau?" tanya Aslan memastikan lagi. Rara menggeleng.

"Gua bilang gak ya gak! Tuli lo?" Rara berdiri di depan mobil, ia masih sangat kesal. Tak peduli siang itu hari begitu panas, dia lebih baik berjemur hingga hitam daripada melihat muka Aslan terus menerus.

"Lo belajar budi pengerti dari mana sih, jadi cewek bicaranya kasar. Banyak bergaul sama Rama gini jadinya."

"Eh... Jangan bawa-bawa teman gua lo. Rama itu teman gua." Rara mendorong Aslan tetepi tidak membuat laki-laki itu terjatuh.

"Lah Rama kan adik gua juga," sahut Aslan menampilkan muka mengejek.

Anjrit! Lupa gua!

Otak Rara benar-benar tidak bekerja secara baik jika berhadapan dengan Aslan. Bukan karena tertarik tetapi Aslan memang manusia paling menyebalkan baginya, ia sampai lupa Rama dan Aslan kakak beradik.

"Eh... Aslan dengarin gua, ya. Gua gak mau nikah sama lo. Kalau sampai nilai gua tinggi, lo harus nolak perjodohan ini," Rara berkata sambil menunjuk jari telunjuk kearah muka Aslan.

Baru kali ini ada murid yang berani menginjak harga diri Aslan. Beruntung Aslan tidak pernah terpancing emosi.

"Lo itu bukan tipe gua, untuk apa nikah sama bocil." Rara langsung memandangi dirinya sendiri, lalu bercermin pada kaca spion mobil ayahnya.

"Wait... Wait... Maksudnya gua gak cantik, atau tipe lo lebih jelek dari gua." Rara tak terima atas penolakan Aslan.

Napas Rara menggebu-gebu, ia menatap Aslan sengit. Tangan Rara bahkan siap untuk mencakar pria itu.

Aslan sendiri merasa Rara memang belum bisa mengontrol emosinya, dia masih labil sekali. Sekarang Aslan mengerti kenapa Indrawan terus memaksa dia menikah dengan Rara.

"Kok gak terima? Gua bingung, lo gak mau kita nikah tapi marah gua gak mau." Rara menggigit bibir bawanya, ia tertampar sendiri dengan pernyataan Aslan.

Benar juga. Kenapa gua jadi marah?

"Gua gak terima aja. Gua bukan tipe lo." Aslan tertawa singkat membuat Rara merasa dongkol.

Entah apa yang lucu.

"Oh... Jadi nona kecil Rara mau jadi tipe gua, gitu?"

Argh...

Nyebelin!

"Bu...bukan gitu. Jangan salah paham lo," ucap Rara setengah gugup.

"Terus?"

"Terus apa?"

"Terus lo mau kita nikah. Kalau mau ayok, daripada hidup lo semakin gak benar." Rara kembali memandangi Aslan.

"Enteng banget lo ngomong. Mau lo nikah sama anak sekolah?" Aslan mengangguk pelan.

Aslan memanf berubah pikiran, bukan karena tertarik dengan Rara. Tapi dia tak tega melihat Fatir yang terbebani kelakuan nakal Rara. Lagi pula Aslan merasa hutang budi dengan Fatir..

Jujur kalau bukan Fatir, kondisi keluarga Aslan mungkin sangat miris, tidak seperti sekarang. Kalau bukan rekomendasi dari Fatir, Aslan pasti tidak bisa menjadi guru di sekolah Rara.

"Gak masalah. Kamu udah siap kita nikah," ujar Aslan membuat Rara tercenggang tak percaya.

"Enteng mulut lo ngomongin nikah. Gua baru 17 tahun, terus waktu remaja gua hilang setelah nikah sama lo, mimpi gua, masa depan gua semua akan hancur," sarkas Rara masih belum ikhlas harus menikah dengan Aslan. "Bukan itu doang! Elo akan jadi satu-satunya penghalang kebahagiaan gua." Rara meluapkan emosinya, ia tak sanggup lagi menahan pikirannya tentang hal yang harus tidak pernah dia pikirkan.

Aslan terdiam.

"Kenapa lo diam? Bisu? Biasanya lo hobby ceramahi gua, kehabisan ide lo." Aslan menatap Rara sesal.

Apa seharusnya memang tidak perlu ada pernikahan?

Bagaimana dia bisa menolaknya?

Karena sejujurnya Aslan sudah tahu Rara mendapatkan nilai tertinggi. Bukannya sebagai laki-laki dia harus berkomitmen dengan perkataannya sendiri.

"Ohh... Katanya guru tergalak, berwibawa tapi lihat sekarang wibawa lo akan turun ketika nikahi gua," ujar Rara lagi.

Aslan tak menggubris kalimat Rara, dia justru mendekatinnya. Lalu menarik kasar rambut Rara, tangan satunya menyentak kuat pinggang Rara hingga menempel.

Sementara Rara tak berdaya, ia bahkan tak mampu untuk melawan seolah dirinya pasrah. Sampai pada saat titik Aslan menikmati bibirnya.

Rara merasa seluruh tubuh merinding, ada getaran yang sulit ia tafsirkan dengan kata-kata atau pun sebuah tulisan.

Setelah itu Aslan melepaskan ciuman mereka, ia menyadari sudah banyak mata memperhatikan mereka. "Gua cuma ngetes, dan bibir lo terasa biasa aja tapi tenang gua akan tetap nikah sama lo," ucapnya kemudian meninggalkan Rara masih mematung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status