Share

1. Sekolah Nusa Bangsa

Pagi itu seperti biasa Rara terlambat, gerbang sekolah sudah tertutup membuat Rara harus memajat pagar samping sekolah. 

Bruk! 

Rara menjatuhkan tasnya, namun tak disangka tas Rara terkena salah satu guru sekolah. 

"Rara!" teriak laki-laki bernama lengkap Aslan Handika Pratyadi. "Kamu terlambat lagi, nggak ada bosennya kamu." Cecarnya menampilkan muka datar. Rara berdecak. 

"Yaelah, telat lima menit doang. Jadi guru ribet, hidup gua jadi ikut ribet." Sungut Rara malas, setiap Aslan mempergokinya, pasti dia akan mendapat masalah lebih buruk dari ini. 

"Kamu itu udah telat, pakai acara ngomel lagi. Yang guru kamu itu saya. Mau saya laporkan ayah kamu lagi."

"Ih.. Dikit-dikit ngadu, salah sikit dihukum. Kena azab lo baru tau." Aslan sama sekali tak marah, dia berdiri tegak sambil menjewer telinga Rara. "Auh.. Gila banget nih guru!" hujat Rara. 

"Saya ini guru kamu yang sopan kalau bicara." Aslan menyeret tangan Rara menuju lapangan sekolah. "Sekarang ikut saya." Rara dengan muka temboknya, ia sama sekali tidak takut, dia malah santai karena terbiasa. 

"Untuk apa sopan,  lo hukum gue terus. Gua aduin bokap yah." Ancam Rara tak digubris Aslan sama sekali membuat gadis itu kesal tak menentu, ibarat kobaran api tengah Menyala-nyala di kepalanya. 

"Aduin aja, paling juga ayah kamu bilang gini. 'Aslan, titip Rara ya, jaga dia kalau dia bakal hukum aja, om udah pusing dengan kelakuan Rara'." Ucap Aslan sambil meniru gaya bicara Fatir ayah dari Rara. 

Rara mendelik sinis, seolah-olah ingin mencekik Aslan hingga mati. "TERUS LO PIKIR BERHAK HUKUM GUE! LO ITU CUMA GURU BUKAN YANG PUNYA SEKOLAH. BELAGU LO!"

"Karena saya guru kamu, saya berhak menegur atau hukum. Kamu salah pasti saya hukum." Walau Rara berkata kasar, namun Aslan tetap bersikap sopan dengan posisinya sebagai guru Rara. "Kamu berdiri disini sampai jam pertama selesai, setelah itu kamu bisa menghadap saya." Perintah Aslan membuat darah Rara semakin mendidih. 

"LAN!" panggilan Rara berhasil membuat Aslan berbalik menatapnya tajam. "Yaelah.. Gitu amat! Iya deh Pak Aslan." Ucap Rara memperbaiki kalimatnya. "Pak Aslan, saya ada ulangan pagi ini. Nanti aja deh hukumanya." Bujuk Rara. 

Aslan tak perduli dia kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Rara sendiri di lapangan dengan terik panas matahari. 

Rara terus merutuki Aslan sembari ia menghormati bendera yang berkibar. Dia berharap sekali-kali Aslan celaka hingga hidupnya dapat tenang. 

Setelah tiga puluh menit usai, bel berbunyi. Rara menghempaskan napas lega, ia terduduk di lapangan lelah. "Aslan brensek!" umpatnya. 

"Rara.. Rara.." Panggil seorang gadis berlari kearahnya. "Ra, lo telat lagi?" tanyanya. 

"Menurut lo?" Loli menyengir melihat kekesalan sahabatnya. "Tadi jadi ulangan gak?" gadis itu mengangguk.

"Lo sih telat terus, makanya datang tepat waktu. Dihukumkan lo sama Pak Aslan. Lagian telat kok tiap hari." Komentar Loli. 

"Berisik ah lo!" cibir Rara sambil berdiri dari duduknya. "Kantin yuk." 

"Ih.. Gila lo! Gue kesini Pak Aslan yang minta." Mendengar nama Aslan, rasanya seluruh emosinya menggumpal. "Pak Aslan bilang lo harus menghadap dia." Rara berpikir Aslan tak ada puasnya menyiksa. 

"Sih Aslan gak ada adat! Gue minum juga belum, udah disuruh temui dia, emang dasar gak tau diri tuh orang." 

"Hati-hati lo benci, ntar cinta mati baru tau rasa." 

Mendengar penuturan asal dari sahabatnya, Rara langsung membayangkan dirinya "Idih.. Amit-amit gue cinta cowok sejenis dia."

Loli tertawa geli melihat reaksi Rara seakan jijik dengan Aslan. "Awas lo benaran ntar, baru tau ra--"

Rara mendekap mulut Loli kasar. "Sssttss.. Diam! Omongan lo itu seperti petir siang bolong." 

Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Rara. Ternyata itu Edo teman sebangkunya, penampilan laki-laki itu sangat culun, tapi dia memiliki otak yang smart dari Rara tentunya. "A.. Aa.. Duh.. Rara lo.. Lo itu dicariin Pak Aslan." Ucapnya gagap, meski pintar Edo memiliki kekurangan dalam bicara.

"Edo! Lo buat gua kaget. Ya.. Ya.. Bawel banget tuh  Aslan, cepat tua ntar dia." Ujar Rara berlalu meninggalkan Edo dan Loli yang menggeleng melihat kelakuan gadis cantik itu. 

***

"Pak Aslan, panggil saya?" tanya Rara seraya melirik kanan-kiri. Hanya ada beberapa guru disana, ia bersikap sopan depan mereka. 

"Duduk kamu!" suruh Aslan ketus. Rara menarik kursi hadapan Aslan, lalu duduk sambil memasang muka paling menyebalkan. 

"Saya punya salah lagi, pak?" Aslan tak kuasa memberikan hukuman untuk Rara. Mungkin bisa dikatakan dia bosan. 

"Harus berapa kali saya sampaikan sepatu kamu gunakan melanggar aturan sekolah kita."

Ck.. Rara berdecak malas, itu lagi. Apa Aslan tidak memiliki kerjaan lain selain memberikan hukuman untuknya. "Itu aja, Pak." Ucap Rara memastikan. 

"Ini surat panggilan untuk orangtua kamu, kesalahan kamu pertama sepatu, kedua kamu dengan berani memajat pagar sekolah, dan terakhir kamu tidak mengikuti ulangan." Rara tergangga lebar, ia begitu sebaliknya dengan Aslan. Bisa-bisanya mengatakan tiga hal tadi kesalahan. 

"Pak, bukannya tadi saya udah dihukum. Jadi masih kurang juga, kalau bapak gak hukum saya, pasti saya bisa ikut ulangan. Masa orangtua saya dipanggil lagi." Protes Rara tak terima. Aslan muka yang datar, ia tetap menyodorkan surat panggilan untuk Rara. 

"Kamu boleh keluar sekarang."

Rara menggeleng tak percaya, semudah itu Aslan memberikan surat panggilan untuknya. Alasan apalagi coba yang harus Rara berikan kepada Fatir ayahnya, terakhir kali saja Rara dimarahin habis-habisan. Dan sekarang... 

Ah tidak! Bisa ditampar berpuluh kali dia. 

Kemudian Rara berjalan lemas kearah kelasnya, ia duduk samping Edo tak bersemangat. "Huft.."

"Ra, egh.. Ka..mu kamu kenapa?" tanya Edo yang tadinya membaca buku untuk pelajaran selanjutnya. 

"Gue tebak ya. Pasti orangtua lo kena panggil Pak Aslan lagi." Ujar laki-laki tengil duduk di atas meja Rara. 

"Sok tempe lo!" hardik Rara kesal. "Ram, gua pulang ke rumah lo ya," lanjut Rara. 

Rama mendelik malas, setiap Rara kesal atau berdebat sengit dengan Aslan pasti larinya kepada Rama. "Kalau bokap lo nanya gimana? Terus lo pikir di rumah gua gak ada Aslan, lupa lo gua adik Pak Aslan."

Keluarga Rama dan Rara memang dari dulu bersahabat baik. Keduanya bersahabat tapi tidak dengan Aslan, dia sudah menjadi musuh Rara sejak lama. 

Kadang dia berpikir Rama dan Aslan wataknya jauh berbeda, mungkin Aslan anak angkat atau sebaliknya. 

"Huh.. Abang lo itu nyebelin banget. Gue do'ain dia cepat mati." Sontak Rama langsung memukuli kepala Rara spontan. 

"Enak aja lo! Galak gitu dia tetap abang gua." 

Kenapa juga Rara bodoh, tentu Rama membela Aslan. Sejelek apapun kelakuannya tetap saudaraan. Sedangkan dia hanya sahabatnya. 

"Bilangin abang lo jangan panggil bokap gua terus." 

"Bang Aslan gak mungkin hukum lo, kalau lo gak salah." 

"Bela terus abang kesayangan lo itu." 

"Idih.. Ngambek. Cepat tua lo!" 

"Bodo ah." Rara menenggelamkan wajahnya kesal. 

Sekarang yang dia pikirkan bagaimana cara memberitahukan ayahnya, jika dia harus ke sekolah lagi. Padahal Rara cuma melakukan kesalahan kecil. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status