Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari.
Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya sarapan sekitar 5 menit. Namun hari ini ia bisa menghabiskan sarapannya hanya 3 menit. Lalu ia segera menyambar sepatunya dan memakainya. Ia keluar dengan langkah cepat dan berhenti sejenak untuk mengunci pintu. Ia berlari dengan membenarkan posisi tasnya yang hampir jatuh. Ia berlari sepanjang jalan menuju sekolahnya. Ia bahkan tidak menghiraukan napasnya yang tersenggal-senggal. Sekitar 50 meter, sekolahnya mulai terlihat. Lyona berhenti untuk mengatur napasnya dan menenangkan kakinya yang bergetar. Pertama kalinya ia berlari dengan jarak yang jauh, dalam kepalanya ia berpikir mungkin dirinya cocok menjadi pelari nasional. Setelah napasnya kembali normal dan kakinya tidak lagi bergetar, Lyona berjalan menuju sekolahnya dan guru tatibsi sudah berjaga di depan untuk mencegat para siswa yang masuk. Lyona masuk ke dalam kelsanya dan teman-temannya melihatnya. Tidak seperti biasanya ia terlambat ke sekolah. Oleh karena itu, teman-temannya terkejut dan Jian berdiri dari bangkunya sambil melihat Lyona berjalan menuju bangkunya. “Ku kira kamu gak masuk sekolah,” buka Jian. “Masuk kok, aku tadi terlambat bangun,” balas Lyona. “Gak biasa kamu terlambat, ada apa?” tanya Okky. “Biasanya kalau aku gak bangun-bangun selalu dibangunkan ibu tapi karena aku sendirian di rumah jadinya gak sadar kalau udah siang,” jelas Lyona. “Oh gituu… emangnya kemana orang tuamu?” tanya Sekta. “Mereka lagi ada urusan di luar kota dengan beberapa warga pesisir juga,” jawab Lyona. “Mulai kapan?” tanya Karine. “Kemarin sore berangkatnya, karena acaranya pagi ini,” jawab Lyona. “OH…” jawab mereka bersamaan. Beberapa menit kemudian bel berbunyi. Mereka pun kembali ke tempat masing-masing dan Lyona menaruh tasnya dan duduk di bangkunya. Tak lama kemudian, guru mapel pertama masuk. Lyona merasa bersyukur karena ia tidak terlambat ke sekolah dan tidak mendapat hukuman. Namun, ia juga mengutuk dirinya sendiri karena bangun kesiangan. Bagaimana pun ini merupakan pengalaman yang harus selalu ia ingat agar tidak ia ulang lagi. Semua hal pasti ada pelajarannya, begitulah pikir Lyona. Kakinya sekarang terasa nyeri karena ia pakai berlari padahal sebelum ini ia tidak pernah berlari seperti pagi ini. Ia biasanya hanya berlari saat pelajaran olahraga saja. Namun pagi ini, ia berlari seakan ada hantu yang mengejarnya. Setelah jam ke-4 pelajaran selesai, bel istirahat pun berbunyi. Guru pun mengucapkan salam dan keluar dari kelas. Para siswa berhamburan keluar dari kelas dan berlarian untuk mendapatkan tempat favorit mereka, beberapa juga karena ingin menjadi antrean pertama. Ada juga siswa yang memilih bermain bola di lapangan atau pun yang menontonnya. Lyona memilih tetap di dalam kelas. Akhirnya teman-teman Lyona meninggalkannya setelah menawarinya untuk dibelikan. Namun, ia menolak karena ia merasa tidak enak. Ia tahu bahwa mereka akan tetap membelikannya meskipun ribuan kali ditolak, mereka peduli satu sama lain dan tidak pernah membanding-bandingkan Lyona sebagai anak baru. Kelas pun menjadi kosong dan senyap, hanya meninggalkan tas-tas mereka. Suara para siswa yang sedang bermain bola dan sorak sorai para penonton terdengar hingga ke lantai 3 kelas Lyona. Ia pun bangkit dan mengintip dari jendela ke bawah. Ia beralih pandang menatap langit biru cerah. Ia pun kembali ke tempat duduknya. Lyona mengambil ponselnya dan melihat banyak notifikasi masuk dalam ponselnya. Ia pun melihat notifikasi yang menunjukkan sejumlah uang. Ia segera membuka dan benar saja ia menerima uang les dari Malva. Dengan segera ia pun membuka W******p dan mencari nama Malva. Ia mulai mengetikkan kata-kata dengan jantung yang berdebar-debar. Namun, pesan yang ia kirim hanya centang 1 menunjukkan Malva offline. Ia menutup layar ponselnya dan menatap lurus ke depan dengan banyak pertanyaan dan juga perasaan bahagia. Ia bertanya-tanya karena uang yang dikirim jumlahnya terlalu banyak dari kesepakatan sebelumnya. Ia ingin bahagia karenanya, namun juga tidak ingin karena merasa dirinya tidak pantas mendapatkan banyak uang apalagi dengan gaya mengajarnya yang masih pemula. Ia tahu bahwa yang mengirimkan uangnya adalah orang tua Malva, karenanya ia lebih merasa tidak enak. Ia dengan tidak sabar membuka dan menutup layar aplikasi. Sudah 2 menit dan masih menunjukkan centang 1 dan waktu istirahatnya masih banyak, jadi ia membiarkan ponselnya tetap membuka W******p-nya. Lyona menautkan kedua tangannya menjadi satu. Ia menegakkan kedua lengan yang bertautkan dan menumpunya dengan kedua sikunya. Ia membenamkan kepala diantara lengannya. Dalam hati ia sadar jika posisinya seperti orang yang sedang berdoa. Secara samar ia memang sedang berdoa mengharapkan Malva akan membalas. Ternyata posisi itu sangat manjur, ponselnya bergetar tanda ada notifikasi masuk. Ia mendongak dan memajukan badannya mendekat ke ponselnya. Ia melihat Malva sudah membalasnya. Lyona akhirnya langsung menanyakan perihal uang yang ia terima. Malva pun membalas jika itu uang les dan juga tip untuk Lyona. Lyona semakin bertanya-tanya kenapa ia diberikan tip itu. Malva pun menjelaskan bahwa ibunya senang ia menjadi lebih paham dengan materi sekolah dan juga mendapat teman curhat untuk menceritakan cerita hariannya. Orang tua Malva sibuk bekerja, sehingga mereka tidak bisa memberikan waktu yang harus Malva dapatkan untuk menceritakan kegiatannya. Malva pun sudah terlalu lelah dan mengantuk ketika mereka pulang. Akhirnya mereka merasa bersyukur karena ada Lyona. Membaca pesan panjang Malva yang berisi penjelasan mendetail membuat hati Lyona tersentuh dan juga hampir menangis. Lyona pun berusaha untuk tidak menitihkan air mata. Setelah ia menghembuskan napas untuk menenangkan dirinya sendiri, ia pun membalas pesan Malva. Merasa tidak enak jika menjawab pendek, ia pun menuliskan pesan yang sama panjangnya dengan pesa Malva serta mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Malva dan Malva sendiri. Ia pun menyampaikan untuk tidak memberinya tip dikemudian hari, karena bayaran les saja sudah cukup untuk dirinya. Setiap jamnya Lyona memberikan biaya sebesar 25.000 dan karena biasanya Malva les selama 2 jam, jadi ia seharusnya dibayar 50.000. Namun ia menerima uang sebesar 100.000, ia pun terkejut. Malva juga memilih untuk membayar setiap minggunya, karena tidak pasti ia melakukan berapa pertemuan.Lyona duduk sangat lama di depan cermin sambil menatap wajahnya sendiri. Matanya menatap lurus ke arah cermin, namun fokusnya tidak ada di sana. Sangat lama ia melamun sampai suara ibunya dari ruang keluarga menyadarkannya. Bahkan ia lupa untuk berkedip hingga matanya panas dan berair. Lyona cepat-cepat mengambil tasnya dan membuka pintu kamarnya. Ibunya berdiri tepat di depan pintu pada posisi tangan akan mengetuk saat Lyona membuka pintu. Keduanya sama-sama terkejut, namun Lyona lebih terkejut hingga mundur beberapa langkah dan hampir membanting pintu. “Eh? Kenapa neng? Bikin ibu hampir jantungan aja.” Lyona menelan ludah susah payah untuk menenangkan dirinya sebelum membuka mulutnya untuk menjawab. Sebelum Lyona membuka mulutnya, ibunya mendekat dan memegang kedua bahu putrinya dengan lembut dan hangat. Telapak tangan ibunya yang hangat akhirnya membuat Lyona tenang. “Neng? Kamu gak apa-apa kan?” tanya ibunya lagi. “O-oh nggak apa-apa. Tadi Lyona lagi keasyikkan scroll video
PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! Semua murid sekolah diistirahatkan di tempat untuk mendengarkan pengumuman dari sekolah. Sambil menunggu kesiswaan yang akan memberikan pengumuman, murid-murid meregangkan tubuhnya setelah sejam upacara. Begitu pula dengan Lyona dan teman-temannya, mereka juga meregangkan tubuh kakunya. Lalu kembali ke posisi istirahat di tempat. Kesiswaan pun memberi salam pembuka dan menyampaikan pengumuman kepada seluruh siswa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya di sini akan memberikan sedikit pengumuman–“ kesiswaan memberikan rincian pengumuman seputar tata tertib dan juga kebijakan sekolah, “–dan yang terakhir, untuk kelas 11 yang akan melaksanakan study tour diharapkan berkumpul setelah jam pelajaran kedua di aula. Informasi akan disampaikan lebih lanjut. Sekian, saya akhiri, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatull
Lyona berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia takut dengan kejadian kemarin, ia terus berusaha melupakannya namun gagal. Ia semakin terlarut dan bahkan merasa semakin berdebar. Kinan, manusia yang ingin ia hindari di sekolah malah menjadikannya target. Ia tidak tahu bagaimana ia sebenarnya dan dari mana ia berasal, namun ia selalu diberitahu bahwa Kinan merupakan ‘ketua’ di sekolah dan sebisa mungkin jangan pernah berhadapan dengannya. Jika menjadi targetnya, maka tidak akan ada jalan keluar selain menjadi ‘miliknya’. Tidak peduli itu musuh atau pun wanita, Kinan akan selalu mendapatkan keinginannya. Lyona memegang pegangan tas sambil menarik napas sebelum mengangkat dan mengenakannya. Ia pun melangkah keluar dan berpamitan kepada orang tuanya yang juga telah selesai bersiap-siap akan berangkat bekerja. Langkahnya pagi ini lebih berat daripada hari-hari lainnya. Ia memikirkan hal apa yang sedang menantinya. Namun ia ingat bahwa jika seseorang memikirkan hal buruk bahkan
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona mengambil sunscreen-nya dan mengoleskanny
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kembali tertuju kepada Kinan, jantungnya mulai berdetak tidak karuan.
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergeletak tak beraturan dan menaruhnya di samping me