Satu minggu pertama telah berlalu dan Lyona masih memiliki 1 murid. Kendati demikian, ia tetap menerima karena baginya berbagi ilmu lebih utama dibandingkan gaji. Awalnya memang ia membuka les online untuk mendapatkan uang sebagai biaya study tour-nya, namun ketika melakukannya ia lebih merasa senang karena bisa membantu. Ia pun akhirnya mempunyai keinginan untuk menjalankan lesnya meskipun uang yang ia targetkan sudah terkumpul. Ia pun juga selalu menanyakan bagaimana pembelajarannya, dan ia menerima ulasan yang baik dari Malva. Malva mengatakan cara ia mengajarinya sangat sabar dan juga asyik. Lyona menjelaskan berulang-ulang hal yang belum dipahami hingga muridnya paham, karena jika muridnya tidak paham dan ia terus melanjutkan materinya ia merasa tidak ada gunanya. Hal itu sama saja tidak mengajari apa-apa. Yang terpenting muridnya paham dan bisa dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak keberatan untuk menjelaskan kembali dan berulang-ulang jika ada materi yang belum dipahami. Malva pun juga menyukai tipe guru yang seperti itu katanya pada Lyona.
Lyona merasa sangat bahagia seakan hatinya telah sukses diambil oleh muridnya itu. Kata-kata yang diberikan Malva selalu membuatnya senang dan bersemangat. Ia pun merasa tidak akan melepaskan hal ini. Berawal dari iseng-iseng saja, ternyata berbuah hasil yang manis dan tidak mengecewakan. Ia meluangkan waktu yang ia punya untuk mengajar Malva. Ia bahkan membuat janji dengan dirinya bahwa ia harus memberikan hasil yang baik kepada Malva dan ia harus membuat muridnya itu masuk peringkat paralel sekolahnya. Tidak begitu bagaimana mereka memulai, yang terpenting adalah ketekunan dan juga tekad agar hasil akhirnya juga memuaskan. Lyona merasa seperti mengajari adiknya sendiri. Ia pun merasa nyaman ketika dipanggil ‘kak’, rasanya seperti ia dipanggil adiknya sendiri. Tanpa disadari, hal tersebut juga telah merubah hidupnya yang membosankan menjadi bersemangat kembali. Ia menekankan diri agar selalu produktif dan semangat.
Hari ini, ayah dan ibu Lyona belum pulang kerja. Lyona terpikirkan untuk melakukan zoom dengan Malva. Ia ingat kemarin Malva mengatakan tidak memahami materi yang dijelaskan oleh Lyona lewat chat. Akhirnya, ia menyarankan untuk menjelaskan lewat zoom saja dan Malva pun setuju. Lyona pun mengambil ponselnya untuk menghubungi Malva. Sekitar 3 menit kemudian Malva menjawab jika ia bersedia. Lyona pun tersenyum dan mengambil laptopnya. Ia membuat room dan membagikannya kepada Malva. Berselang 2 menit Malva pun bergabung. Ini pertama kalinya ia melihat muridnya itu walau hanya lewat zoom dan begitu pula Malva. Lyona menyambut Malva dengan senyuman manis.
“Haii… udah siap belum nih?” tanya Lyona basa-basi.
“Hai kak, udah kok,” jawab Malva.
“Ok. Sebelumnya, materi kemarin ada yang mau ditanyakan selain yang akan kita bahas ini? Atau ada materi baru yang kamu terima yang juga mau ditanyakan? Biar sekalian kita bahas.”
“Eeehhmmm… sepertinya gak ada kak. Udah cukup jelas kok penjelasannya kemarin dan hari ini aku mau belajar yang kemarin aja soalnya itu materi yang aku bener-bener gak paham.”
“Ok. Kalau gitu, kita akan bahas materi kemarin aja. Jangan lupa siapkan kertas dan pulpen untuk mencatat yaa!”
“Baik kak.”
Lyona mengajari Malva dengan gembira. Menurutnya, keadaan hati pengajar bisa berpengaruh kepada yang diajari. Jadi, ia harus dalam keadaan hati yang bahagia agar Malva juga senang dan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan rumahnya dan juga materi-materi yang ia kurang paham, karena hal tersebut wajar dan semua orang pasti punya batas kemampuannya masing-masing.
Malva mendengarkan dengan saksama penjelasan Lyona. Tidak lupa pula ia bertanya ketika penjelasan yang diberikan Lyona kurang jelas. Lyona pun tidak keberatan menjelaskan ulang hal yang sudah ia jelaskan, karena prinsipnya adalah yang terpenting bukan uang tetapi apakah anak didiknya paham atau tidak. Maka dari itu, ia selalu menanyakan disela-sela menjelaskan apakah Malva sudah paham atau perlu diulang. Malva pun mengungkapkan bahwa ia suka dengan guru yang seperti Lyona, karena dengan begitu ia dapat memahami materi yang ia pelajari dan mengerti.
Setengah jam berlalu dan Lyona pun menawarkan untuk istirahat sejenak yang langsung disambut anggukan oleh Malva. Lyona meregangkan tubuhnya dan bangkit untuk mengambil minum setelah dilihatnya Malva telah pergi lebih dulu untuk mengambil camilan. Lyona berjalan menuju dapur dan mengambil gelas lalu mengisinya dengan air. Ia pun berjalan kembali menuju kamarnya dan menaruh segelas airnya di sebelah laptopnya. Dilihatnya Malva belum kembali, ia pun membuka ponselnya dan mengecek W******p-nya yang menampakkan 129 pesan belum dibaca. Ia menggulir satu-satunya pesan dan menjawab pesan-pesan tersebut mulai dari bawah.
Malva pun kembali dengan camilannya di seberang sana. Lyona masih melihat ponselnya dan tidak memperhatikan jika Malva sudah kembali hingga Malva memanggil namanya dan Lyona mengangkat kepalanya seketika.
“Oh iya, maaf ya kakak masih balas pesan.”
“Iya kak, gak papa kok. Kakak teruskan dulu aja.”
“Udah selesai kok. Mau dilanjut?”
“5 menit lagi ya kak.”
Lyona menjawab Malva dengan anggukan dan senyuman. Setelah Malva siap, mereka pun melanjutkan pembelajaran hari ini. Sesekali mereka bercanda agar tidak bosan dan bertanya satu sama lain diluar materi yang dibahas. Hal tersebut agar mereka bisa lebih dekat.
Setelah 1 jam ditambah 15 menit istirahat, mereka pun menutup buku masing-masing. Untuk terakhir kali dan sebagai penutup, Lyona bertanya apakah ada hal yang Malva belum pahami atau mungkin pertanyaan. Namun, Malva menggeleng dan mengatakan bahwa materi yang disampaikan hari ini sudah jelas dan ia sudah paham bahkan materi yang sebelumnya ia tanyakan sebelum memulai zoom. Lyona pun merasa lega mendengar perkataan Malva. Ia bersyukur jika dirinya cukup baik dalam hal ini, padahal sebelumnya ia takut tidak bisa melakukannya.
Ketika Lyona menutup zoom dan akan berpamitan, Malva menahannya dan berkata ingin berbagi cerita kehidupan masing-masing. Malva terkadang tidak punya teman untuk bercerita dan menganggap Lyona bisa menjadi teman sekaligus kakak untuk bercerita. Mendengar hal tersebut, Lyona pun tersenyum dan mengiyakan permintaan Malva.
Lyona meminta Malva untuk bercerita terlebih dahulu lalu setelahnya Lyona yang akan bercerita. Namun sebaliknya, Malva ingin Lyona yang bercerita terlebih dahulu karena ia tadi sudah menceritakan sedikit tentang dirinya. Lyona pun mengalah dan menceritakan tentang dirinya. Mulai dari kenapa ia memulai membuka les online ini karena Malva sempat menanyakannya. Mau tidak mau, ia harus menceritakan bahwa dirinya melakukan hal ini karena ia tidak mau merepotkan orang tuanya karena biaya sekolahnya yang mahal dan juga biaya study tour.
Lyona bisa melihat jika mimik wajah Malva perlahan berubah ketika ia bercerita tentang dirinya. Ia melihat ada perasaan iba dalam tatapan Malva. Namun ia mengatakan bahwa hal tersebut sekarang tidak penting lagi, karena setelah ia melakukannya ternyata hal ini sangat menyenangkan dan membuatnya ingin melakukannya untuk waktu yang lama. Apalagi mempunyai Malva sebagai anak didiknya. Mendengar hal tersebut, Malva terlihat salah tingkah namun ia tidak ingin memperlihatkannya. Mereka mengobrol cukup lama setelahnya.
Pagi ini Lyona bangun 25 menit lebih lambat dari biasanya. Saat melihat jam dinding di kamarnya, ia bergegas bangun dan mengambil seragamnya. Dengan berlari, ia mengambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat berlari. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia sendirian di rumah dan tidak ada yang membangunkannya. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan perdagangan ikan bersama beberapa warga. Biasanya ia akan dibangunkan jika tidak segera bangun. Karena itulah ia melewatkan waktu bangunnya. Sangat ceroboh pikirnya. Lyona menghabiskan waktu 15 menit untuk mandi dan memakai seragamnya. Lyona memutuskan untuk memakai bedak saja dan langsung berangkat ke sekolah. Pada hari biasa, ia menghabiskan 15 menit untuk mandi, 10 menit memakai seragam, dan 5 menit berdandan. Lyona memang tidak memakai make up ke sekolah, namun ia tetap memakai bedak, sunscreen, dan lip balm. Setelah aktivitas paginya itu, ia biasanya
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kem
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona
PENGUMUMAN! PENGUMUMAN! Semua murid sekolah diistirahatkan di tempat untuk mendengarkan pengumuman dari sekolah. Sambil menunggu kesiswaan yang akan memberikan pengumuman, murid-murid meregangkan tubuhnya setelah sejam upacara. Begitu pula dengan Lyona dan teman-temannya, mereka juga meregangkan tubuh kakunya. Lalu kembali ke posisi istirahat di tempat. Kesiswaan pun memberi salam pembuka dan menyampaikan pengumuman kepada seluruh siswa. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya di sini akan memberikan sedikit pengumuman–“ kesiswaan memberikan rincian pengumuman seputar tata tertib dan juga kebijakan sekolah, “–dan yang terakhir, untuk kelas 11 yang akan melaksanakan study tour diharapkan berkumpul setelah jam pelajaran kedua di aula. Informasi akan disampaikan lebih lanjut. Sekian, saya akhiri, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi W
Lyona berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia takut dengan kejadian kemarin, ia terus berusaha melupakannya namun gagal. Ia semakin terlarut dan bahkan merasa semakin berdebar. Kinan, manusia yang ingin ia hindari di sekolah malah menjadikannya target. Ia tidak tahu bagaimana ia sebenarnya dan dari mana ia berasal, namun ia selalu diberitahu bahwa Kinan merupakan ‘ketua’ di sekolah dan sebisa mungkin jangan pernah berhadapan dengannya. Jika menjadi targetnya, maka tidak akan ada jalan keluar selain menjadi ‘miliknya’. Tidak peduli itu musuh atau pun wanita, Kinan akan selalu mendapatkan keinginannya. Lyona memegang pegangan tas sambil menarik napas sebelum mengangkat dan mengenakannya. Ia pun melangkah keluar dan berpamitan kepada orang tuanya yang juga telah selesai bersiap-siap akan berangkat bekerja. Langkahnya pagi ini lebih berat daripada hari-hari lainnya. Ia memikirkan hal apa yang sedang menantinya. Namun ia ingat bahwa jika seseorang memikirka
Hari minggu yang cerah, Lyona sudah sibuk memilih pakaian yang ingin ia gunakan hari ini. Sejak pagi, ia sudah mandi dan sudah sarapan bersama orang tuanya. Hari ini ia akan main ke taman bermain bersama teman-temannya. Karena menurutnya ia harus tampil rapi dan cantik, akhirnya ia memilih pakaian yang menurutnya paling sempurna. Seakan dirinya akan kencan buta, ia bahkan memaki dirinya sendiri ‘berlebihan’ namun tetap melanjutkan mencari pakaian. Setelah 35 menit memilih pakaian, akhirnya ia memutuskan mengenakan blue jeans panjang dengan atasan kaus putih dan kemeja sky blue sebagai outer. Tidak lupa pula ia memakai sabuk, bukan karena fashion namun karena celananya agak kedodoran di badan kecilnya. Ia berdiri di depan cermin dan melihat pakaiannya dari atas ke bawah dan memutar. Ia rasa sudah pas dan cocok di badannya. “Hihihi … sudah lucu dan cantik.” Lyona memuji dirinya sendiri. “OK. Waktunya make up biar lebih cantik lagi.” Lyona
Petang itu, Lyona membersihkan ruang tamu selepas kepulangan teman-temannya. Saat ia mendorong meja di ruang tamu, ibunya mengucapkan salam dan Lyona menoleh sambil membalas salam ibunya. Ia memberikan pelukan selamat datang kepada ibunya. Ibunya juga membalas pelukan Lyona. “Habis ada temanmu neng?” tanya ibu Lyona. “Iya, tadi baru aja pulang,” jawab Lyona. “Oh gitu, kamu udah makan neng?” “Udah bu, sebelum teman-teman datang.” “OK. Ibu mau mandi dulu, gerah.” “Iya, ibu.” Lyona tersenyum ketika ibunya mengelus rambutnya sambil berjalan. Setelah selesai merapikan meja dan membersihkan sampah-sampah bekas plastik makanan, Lyona masuk ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya. Ia menggulir chat yang masuk dan mengecek tugas untuk esok hari. Kemudian pesan baru masuk dari nomor tidak dikenal. Ia menunggu si pengirim untuk mengirim pesan yang lain sebelum membukanya. Pikirannya kem
Lyona membuka pintu rumahnya dengan membuang napas kasar. Ia kemudian menutup kembali pintu yang ditutupnya di belakang. Ia melempar tas sembarangan ke pojok kamarnya dan melompat menuju kasurnya. Ia tidur telentang dan menatap langit-langit kamarnya. merasa lelah, ia memejamkan matanya dan menutupnya dengan tangan kirinya. Saat ia memejamkan mata, ia kembali melihat senyuman Kinan di lapangan basket tadi. “Ihh …” ia membuka matanya dengan lebar sambil menghembus-hembuskan napasnya dengan mulut. Ia bangun ke posisi duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan di samping badannya. Ia mengerjap-ngerjap berkali-kali berharap bayangan senyuman itu hilang. Namun ia malah semakin melihatnya jelas. Ia mengangkat tangannya menutupi wajahnya. “Aarrgghh …” ia mendongak kesal menatap langit-langit kamarnya. Kemudian ia beranjak turun dari ranjangnya dan membuka almari pakaiannya untuk berganti baju. Setelahnya ia mengambil tasnya yang tergel
Pagi ini, Lyona berbisik kepada Jian jika dia punya sesuatu yang spesial. Tanpa berpikir panjang, Jian pun bertanya kepada Lyona apa yang hal spesial yang ia rahasiakan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman jahil dan meledek dari Lyona. “Nanti juga tau,” bisik Lyona saat guru masuk ke dalam kelas. “Kelamaan. Keponya sekarang bukan nanti,” balas bisik dari Jian yang membuat Lyona semakin tersenyum lebar. Selama satu jam pelajaran berlangsung, Jian merasa tidak tenang dan berkali-kali melirik kea rah Lyona yang juga dibalas tatapan bertanya dari Lyona. Hingga akhirnya ia menatap Lyona lekat-lekat. “Apa?” tanya Lyona tanpa bersuara. Jian pun mengambil sticky notes dan menuliskan pesan di atasnya. Ia menulis dengan fokus penuh. Lyona yang melihatnya bertanya-tanya dan berniat mengintip namun urung karena Jian mengangkat kepalanya dan menempel sticky notes itu di depan Lyona. Tertulis ‘kasih tau rahasianya sekara
Minggu pagi ini Lyona bangun lebih awal dari hari Minggu biasanya. Ia bergegas mandi dan berganti baju. Hari ini memang hari yang dinantinya. Lyona menunggu kepulangan orang tuanya dari luar kota. Tak lupa pula ia memasak. Ia ingin memamerkan bakat memasaknya kepada ibunya. Karena ibunya selalu khawatir ia tidak bisa makan karena tidak bisa memasak. Namun, ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bisa memasak dan tidak akan mati kelaparan. Ia tahu ibunya tidak akan percaya hal tersebut, maka dari itu ia memasakkan orang tuanya. Ia mengambil penggorengan lalu menyalakan kompor. Ia akan memasak ikan tuna. Berbeda dengan ikan tuna ibunya yang dimasak asam pedas, ia akan membuat oseng ikan tuna. Ini juga kali pertama Lyona memasak dan mengolah ikan. Ia sangat menunggu ulasan dari sang ahli, yaitu ibunya. Ia memasak dengan sungguh-sungguh. 1 jam kemudian, pintu depan diketuk. Lyona yang sudah menyiapkan makanan yang ia masak tadi pun mendongak. Ia ber
Alarm Lyona berbunyi nyaring dan Lyona seketika terbangun dari mimpinya. Alarm tersebut sengaja ia nyalakan dengan nada yang nyaring agar dirinya tidak lagi telat seperti kemarin. Namun tetap saja ia terkejut dengan nyaringnya alarm tersebut. Seperti alarm darurat ketika terjadi suatu bencana atau akan datangnya ombak besar pesisir, senyaring itu untuk luas kamarnya. Ia menghela napas ketika bangun dan mematikan ‘alarm kematian’-nya itu. “Hampir saja kena serangan jantung. Astaga, ternyata senyaring ini suaranya. Aku harus menggantinya nanti.” Lyona berdiri dan menghela napas agar dirinya kembali tenang. Ia pun bangkit dan menyambar seragamnya yang sudah digantungnya semalam. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, karena ini masih pagi dan meskipun ia bergerak seperti siput pun tidak akan terlambat. Ia mengambil handuk dan masuk kamar mandi dengan menguap lebar yang ia biarkan saja tidak ditutup tangan. Ia bersenandung sambil mandi. Entah karena keadaan hatinya yang
Lyona berjalan dengan setengah menyeret kakinya. Nyeri karena berlari pagi tadi masih sedikit terasa dan itu membuat kakinya kaku. Ia berjalan sambil melamun karena uang yang diterimanya. Ia pun juga mulai memikirkan orang tuanya, bagaimana keadaannya dan apakah mereka baik-baik saja di sana. Ia menatap jalan yang ia lalui tanpa mengangkat tatapannya. Ia fokus dengan pikiran-pikiran yang terlintas di kepalanya. Bahkan ia berkedip 5 detik sekali. Kebiasaan yang sulit hilang. Di belakang Lyona ada yang berjalan memerhatikannya. Ia menatap Lyona sejak tadi tanpa Lyona sadari. Ia pun was-was jika Lyona akan tahu ia sedang mengikutinya. Karenanya, ia berjalan lebih lambat karena kaki panjangnya sebanding dengan 2 langkah kaki Lyona. Seitar 5 meter di belakang Lyona. Tidak tanggung-tanggung, ia mengikuti Lyona hingga ke daerah pemukimannya. Ia berhenti tepat di gapura masuk dan mengangkat kepalanya membaca nama yang terdapat di gapura. Sejenak ia melihat daerah itu dan