Share

Chapter 2

Sembari meringis, Ibell mengelus-elus keningnya. Karena terburu-buru, sepertinya ia telah menabrak bahu seseorang. Ibell berinisiatif meminta maaf. Ia memang teledor. Berlarian di kampus tanpa melihat ke arah depan. Raut wajah Ibell berubah kecut saat menatap seraut wajah muram menatapnya dalam. Pria seram inilah yang telah ditabraknya. Ibell melirik sekilas namun menyeluruh. Penampilan pria ini rapi sekaligus mahal dengan setelan kemeja berompinya. Namub tampak kontras dengan sejumlah tatoo yang mengintip lengannya. Kemejanya memang digulung hingga sebatas siku.

"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja menabrak Bapak. Saya terburu-buru karena ingin ke aula. Bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa baru lainnya. Sekali lagi saya minta maaf."

Ibell membungkukkan sedikit tubuhnya dan kembali menunduk. Gesture seperti ini memang sudah terbentuk sejak bertahun-tahun lalu. Tepatnya saat dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari klan Artharwa Al Rasyid maupun Brata Kusuma. Sejak keputusan itu ia buat, Ibell selalu berusaha untuk menyembunyikan wajahnya.

Semakin sedikit orang yang memandangnya, maka semakin kecillah peluang mereka untuk melihat kemiripannya dengan mommynya. Itu artinya, semakin kecil juga kemungkinan para rentenir-rentenir mengenalinya. Ia lelah terus mereka kejar-kejar untuk menagih hutang mommynya. Kornea mata coklat brandynya memang mirip dengan daddynya. Tetapi wajah orientalnya adalah warisan genetika dari keluarga mommynya. Hanya ekspresi wajah mereka lah yang sangat berbeda. Air muka mommynya itu seksi-seksi culas. Sementara dirinya cenderung introvert.

Mbok Darmi, pengasuh mommynya sedari bayi, mengatakan bahwa menatap dirinya sama saja seperti dia menatap mommynya. Oleh karena itulah, ia sangat suka menunduk. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya dari semua orang yang berkemungkinan mengenal keluarga kedua orang tuanya.

"Nama kamu siapa?" Lamunan Ibell buyar. Pria seram itu mengajaknya berbicara

"Ibell, Pak."

"Nama panjangnya?"

"Ibellllllll, Pak," jawab Ibell asal. Ia memang tidak suka menyebut nama lengkapnya.

"Ternyata selain tidak punya mata, kamu juga tidak punya otak. Jika kebetulan mata kuliah yang saya ajarkan adalah mata kuliah wajibmu, bersiaplah mendapat nilai E dari saya!"

Pria seram ini seorang dosen rupanya.

"Jikalau saya mampu mengikuti mata kuliah Bapak dengan baik, dan bisa menjawab semua ujian dengan benar, apa akan Bapak beri nilai E juga?"

"Kamu menantang saya, Cami?" Netra hitam itu semakin kelam saat menatapnya dalam.

"Saya bukan menantang, Pak. Saya hanya bertanya. Jikalau Bapak merasa itu adalah suatu tantangan, saya minta maaf."

Ibell kembali meminta maaf. Masalah di hidupnya sudah sangat berat. Ia tidak ingin mencari musuh lagi di sini. Istimewa pada dosennya.

"Fine. Coba nanti kita sama-sama lihat apakah otak kamu itu ada isinya. Atau otakmu memang ada isinya, tetapi letaknya saja yang salah." Dan pria seram berompi hitam itu pun berlalu begitu saja dari hadapannya.

Ternyata pria itu adalah salah satu dosen di kampus ini. Dosen apaan itu? Dosen tapi tatto bertebaran di sekujur tubuh. Jangan-jangan mata kuliah yang akan diajarkannya adalah cara memalak orang yang baik dan benar, serta jurus-jurus dasar untuk mengintimidasi orang!

Ibell sama sekali tidak takut menghadapi mata kuliah apapun di kampus ini. Bukannya sombong. Ia memang sudah pintar sejak kecil. Itu terbukti dengan ia selalu mendapat bea siswa sejak dari Taman Kanak-Kanak. Ia bisa masuk ke kampus elit ini juga karena bea siswa. Jadi sudah pasti otaknya itu ada isinya.

Ibell kembali berlari menuju aula. Namun kali ini dia lebih berhati-hati dalam setiap langkahnya. Ia takut menabrak orang sembarangan lagi.

Sesampainya di aula, semua mahasiswa baru dikumpulkan menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari delapan orang. Ibell tergabung dalam kelompok 13 bersama dengan Armita, Lea, Annisa, Reno, Panca, Malik dan Galih. Kelompok mereka diberi nama Ayam Sayur.

"Selamat datang para mahasiswa-mahasiswi baru sekalian. Saya Galaksi Andromeda, mewakili para panitia dan senior-senior lainnya berharap agar acara OSPEK ini dapat semakin mengakrabkan kita sebagai sesama mahasiswa. Selain itu kalian semua bisa belajar untuk beradaptasi dengan ritme belajar di universitas. Karena belajar di universitas itu, sudah pasti berbeda dengan saat kalian masih SMU. Jika sistem belajar kalian dulu adalah selalu menerima ilmu begitu saja dari para guru, sekarang sebagai seorang mahasiswa kalian sudah harus menerapkan cara belajar jemput bola. Yang artinya kalian sendirilah yang harus belajar keras. Menyerap semua ilmu dari para dosen tanpa harus disuapi lagi. Akhir kata, saya ucapkan selamat menikmati masa pengenalan kampus baru ini. Semoga ke depannya, kita sebagai sesama mahasiswa dapat bekerja sama dengan baik. Terima kasih."

Tepuk tangan membahana terdengar. Para Cami memandangi sosok Galaksi dengan sorot mata memuja. Sebagian memandang secara terang-terangan, dan sebagian lagi hanya berani mencuri-curi pandang. Tidak terkecuali beberapa senior cantik yang juga diam-diam mencuri pandang pada rekan sesama panitia mereka.

"Aje gile itu, Kak Galaksi. Kok bisa ganteng maksimal gitu ya? Makan apalah itu manusia tiap hari, sampai doi bisa bersinar seperti itu?" Armita, teman baru Ibell, nyaris mimisan memandang Galaksi yang baru saja meninggalkan posium.

"Etdah, lo kata dia lampu pertromaks pake bersinar segala? Tugas besok tuh pikirin. Jangan senior ganteng aja yang lo mimpiin." Galih menoyor kepala Mita. Mereka berdua memang berasal dari SMU yang sama. Jadi sudah saling mengenal lama.

"Nasib orang jelek ya begini ini. Selalu saja mematahkan impian seseorang, sebagai bentuk manifestasi dari ketidakmampuannya menerima kenyataan." Armita menjebikan bibirnya. Galih memutar bola mata. Siap untuk kembali mengejek Armita.

"Sebagai sesama orang jelek, dilarang keras saling menyindir keminusan wajah masing-masing. Lo itu ya, ekspektasi merasa secantik Raisa. Tapi realita mah kaya badak jawa," cibir Galih.

Arnita langsung menjambak brutal rambut berpomade Galih, karena telah menyinggung masalah berat badannya. Wanita mana yang tidak mengamuk dikatain badak jawa coba?

Acara berbalas celaan itu baru berhenti, setelah para senior mulai memberikan tugas baru kepada mereka semua.

Saat panitia menyatakan istirahat selama lima belas menit, helaan nafas lega berjamaah terdengar dari teman-teman barunya. Walaupun cuma lima belas menit, tapi itu cukup membuat mereka bisa menarik nafas sejenak, sebelum disiksa kembali oleh para senior.

Ibell beranjak mencari spot-spot yang agak sepi untuk mulai mengisi perut. Ia memang tidak suka dengan keramaian.

Ibell meluruskan kakinya yang terasa pegal setelah duduk cukup lama berdiri di aula. Hanya mendengar kata-kata sambutan dari para senior dan juga panitia-panitia OSPEK saja sampai dua jam lamanya. Bagaimana kakinya tidak kram coba?

Dari pukul empat pagi tenaganya telah dipakai untuk bekerja. Ditambah dengan menjadi pesuruh para senior di sini, tubuhnya serasa remuk semua. Sejurus kemudian, suara gemuruh di perutnya mulai berdemo meminta jatah. Ibell merasa lapar. Dengan semangat, Ibell membuka kotak bekalnya. Isi bekalnya hari ini adalah nasi goreng sosis kesukaannya. Baru saja makan pada suapan ketiga, tanpa Ibell sadari, ia menggigit cabai rawit acar yang pedasnya seperti membakar lidahnya. Ibell refleks menyambar air minum. Karena gerakan tergesa-gesanya, botol air minumnya malah tumpah.

"Nih. Minum saja air mineral saya. Masih bersih kok. Belum saya buka." Ibell yang sedang kepedasan meraih begitu saja air minum kemasan yang disodorkan seseorang padanya. Ia memang membutuhkan air minum untuk menetralisir rasa pedasnya. Setelah minum beberapa tegukan besar, Ibell mengucapkan terima kasih pada penolongnya. Ternyata orang itu adalah salah satu seniornya yang berpidato tadi.

"Terima kasih Kak..." Ibell berpikir sejenak. Ia berusaha mengingat nama ketua panitianya ini. Oh ya, namanya ketua panitianya ini adalah Galaksi Andromeda.

"Galaksi Andromeda," sahut Ibell canggung. Setelah mengucapkan kata terima kasih, Ibell kembali membuang tatapan.

"Ck! Kalau lagi ngomong sama orang, dipandang dong lawan bicaranya. Jangan nunduk-nunduk terus seperti nyari koin jatuh."

Ibell kaget saat Galaksi memegang dagunya. Menengadahkan wajahnya ke atas.

"Ah, benar dugaan saya. Memang kamu ternyata orangnya. Mata coklat brandy ini memang langka." Galaksi berguman sendiri. Ibell mengerutkan keningnya.

"Maksud Kakak apa? Maaf Saya nggak ngerti?" Ibell bingung. Galaksi tersenyum hingga menghadirkan dekik di kedua pipi. Galaksi mendekatkan wajahnya hingga tinggal sejengkal dari wajah Ibell.

"Kamu benar-benar tidak mengenali saya, Ibell?" Mendengar pertanyaan Galaksi, Ibell mencoba mempertegas pandangannya pada selebar wajah Galaksi. Kali ini ia menatapnya dalam-dalam. Mencoba menggali ingatan lebih dalam. Namun Ibell tidak merasa kenal.

"Kamu ingat anak laki-laki yang suka ikut Mang Dadang pulang makan siang, sebelum si mamang mengantarkannya kembali ke komplek sebelah? Yang suka membeli kue lemper dan klepon karena dia bilang kue di rumahmu itu aneh-aneh bentuknya. Ingat Ibell ompong?" Mata Ibell langsung menyala mendengar julukan yang paling dia benci dari anak orang kaya komplek sebelah rumahnya.

"Kamu, Galaksi anak majikannya Kang Dadang?"

BINGO!

"Berarti kamu sudah ingat sekarang. Apa kabar Ibell ompong yang sekarang sudah tidak ompong lagi?" Galaksi tertawa sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia sama sekali tidak menyangka akan menemukan putri ompongnya di kampus ini.

"Jangan panggil Ibell ompong lagi. Saya 'kan sudah tidak ompong lagi sekarang!" Ibell yang bahkan tidak pernah merajuk pada siapa pun kecuali Mbok Darmi, untuk pertama kalinya bersikap manja pada seseorang. Dan orang itu adalah senior di kampus barunya ini. Demi apalah dirinya bersikap aneh seperti ini? Ibell menepuk keningnya sendiri. Sadar kalau dia telah bersikap berlebihan.

Drttt... drttt... drttt...

Galaksi belum menjawab pertanyaannya, namun ponselnya bergetar. Ibell heran karena Mbok Darmi menghubunginya pada jam-jam seperti ini.

"Ha--"

"Hallo, Neng. Gawat. Ini ada rentenir-rentenir baru di rumah kontrakan kita, Neng. Sekarang mereka sedang mengacak-acak kontrakan. Mereka malah sudah mengambil teve dan laptop si Eneng. Bagaimana ini, Neng?

Ibell lemas. Bahu kecilnya mencelos. Terus-terusan berjuang seperti ini kadang-kadang membuatnya frustasi juga. Setelah menarik nafas berulang kali, Ibell baru bisa menjawab telepon Mbok Darmi dengan hati yang lebih tenang. Dia tidak ingin semakin menakuti Mbok Darmi.

"Ya udah nggak apa-apa, Mbok. Yang penting mereka tidak menyakiti si Mbok. Ibell nanti sore baru bisa pulang, Mbok. Si Mbok baik-baik aja di rumah ya? Biar saja mereka mengambil apa saja. Yang penting si Mboknya tidak diapa-apain. Ibell tutup dulu teleponnya ya, Mbok?"

Ibell merasa begitu merana. Ia membayangkan harus lari lagi dan mulai mencari kontrakkan baru. Yang artinya uang keluar baru lagi. Tanpa sadar ia sudah menangis tanpa suara. Pandangan kosong ke depan. Ia bahkan melupakan kehadiran Galaksi, yang mendengarkan semua permasalahannya.

Akan halnya Galaksi, ia tidak menyangka kalau kehidupan Ibell masih sengsara seperti dulu. Tidak tahan melihat netra coklat brendy itu meneteskan air mata, Galaksi refleks memeluk pelan bahu Ibell. Mencoba menenangkannya.

Tanpa mereka sadari, seseorang berompi hitam, melihat adegan itu dari jendela ruangannya. Sosok itu mendesis sinis.

"Dasar perempuan murahan. Tidak ibu, tidak anak, kelakuannya sama-sama menjijikkan. Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya."

Mengacak-acak kontrakkanmu itu hanya pemanasan saja. Kita akan segera melihat acara puncaknya sebentar lagi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status