Share

Bersiaplah, Mas! Permainan akan segera dimulai!

Pov Seno

Aku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu. 

Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan. 

"Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi. 

Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku. 

"Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella. 

"Ya uda kalau gitu, tapi sebelum antar Bella pulang, Mas Seno beliin dulu Bella tas! Kemarin kan, Mas udah janji mau ngasih aku kado tas keluaran terbaru!" rengek Bella bersandar di dadaku. Membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. 

"Ta-tapi Bell, Mas harus segera balik ke kantor! Masih ada kerjaan di kantor, beli tasnya besok aja yah! Mas janji deh, besok pulang kerja Mas jemput kamu ke rumah. Kita belanja tas yang kamu mau, gimana? Kamu setuju kan?" ucapku berusaha membujuk Bella. Akan berabe jika Bella minta dibelikan tas saat ini juga. Aku sama sekali sudah tidak memiliki uang, kemarin uang sisa jalan-jalan, sudah aku berikan pada Ibu 1 juta. 

"Ya udah kalau gitu! Tapi Mas janji ya! Awas kalau bohong!" 

"Iya, Mas janji! Kalau begitu, ayo Mas antar pulang!" aku pun menggandeng tangan Bella dan mengajaknya pulang. 

***

Setelah mengantar Bella pulang sampai kerumahnya, aku segera meluncur dengan cepat menuju rumahku. Aku harus segera bertemu dengan Dewi! Rasanya tangan ini sudah gatal, ingin sekali memberinya pelajaran agar tidak kurang ajar lagi pada Bella. Dia tidak boleh dibiarkan begitu saja, lama-lama dia akan ngelunjak. Dan menghina harga diriku! 

Sesampainya dirumah, aku langsung turun dari mobil, dan bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi sayang, rumah dalam keadaan terkunci. Aku terus berteriak memanggil namanya. Namun sama sekali tidak ada jawaban. Kemana perginya wanita kampung itu? 

Aku berusaha menelponnya, tapi tidak diangkat. Kurang ajar! Berani-beraninya dia mengabaikan panggilan ku. 

Sudah hampir satu jam aku berdiri di teras rumah, tapi Dewi belum juga datang. Sialnya aku tidak membawa kunci cadangan, jadi aku tidak bisa masuk ke dalam rumah. Pintu belakang pun dikunci dari dalam. Hingga aku tidak bisa membukanya. Awas kau Dewi, habis kau setelah ini! Batinku geram. 

******

Pov Dewi

Setelah menandatangani kontrak dengan Pak Anwar, aku pun bergegas pulang ke rumah Bi Narsih. 

Sesampainya di rumah Bi Narsih, ku lihat anak-anak sedang asik bermain di kolam dengan Mang Yayan. 

"Assalamualaikum!" ucapku memberi salam. 

"Waalaikumsalam!" Jawab mereka bersamaan. 

"Ibu! Hore Ibu datang! Bu, sini Bu! Kita lagi mancing ikan!" Teriak Nayla berlari menghampiriku. 

"Nay sama Kakak lagi apa?" tanyaku merunduk sejajar dengan Nayla. 

"Nay lagi mancing ikan sama Kakek!" ucap Nayla girang. Ia memperlihatkan lidi yang sudah diikat tali padaku. 

"Apa kabar, Mang!" tanyaku pada Mang Yayan. Lalu mencium tangannya takzim. 

"Kabar baik, Neng! Ayo masuk, kita ngobrol di dalam saja!" ucapnya padaku. Aku pun masuk lebih dulu, dan ia pun menyusulku setelah mengajak anak-anak mencuci tangan. 

Kami pun ngobrol bersama, sambil menikmati singkong goreng dan teh manis yang disediakan oleh Bi Narsih. Mereka adalah keluarga satu-satunya yang kupunya. Setelah ini, aku pasti akan banyak membutuhkan bantuan mereka. Karena bagaimanapun, mereka sudah seperti orang tuaku sendiri. Jika waktunya sudah tepat, aku akan menceritakan semua pada mereka. 

Setelah hampir satu jam mengobrol, aku pun memutuskan untuk segera pulang. Karena Nahla harus segera istirahat dan minum obat. 

"Ayo Nay, kita pulang!" ajakku pada Nayla yang dari tadi menolak untuk pulang. Sedangkan Nahla sudah bersiap dan bersalaman dengan Kakek dan Neneknya. 

Setelah lama membujuk Nayla, akhirnya ia pun mau diajak pulang. Taxi online yang ku pesan sudah menunggu di depan rumah Bi Narsih. Tak lupa aku membawa setengah karung singkong yang diberi oleh Bi Narsih. 

Mang Yayan membantu memasukan singkong ini ke dalam bagasi taxi online. 

"Makasih ya, Mang! Pake repot-repot segala bawain oleh-oleh untuk Dewi," ucapku berterimakasih pada Mang Yayan yang baru selesai memasukkan karung ke dalam mobil. 

"Kamu ini ngomong apa sih, Wi! Cuma singkong gini doang ko di bilang repot-repot! Ya sudah kamu hati-hati yah! Sering-sering main kesini, agar Bibi mu itu ada temen, dia sering kesepian kalau Mamang dan Tisna sibuk di ladang!" 

"Iya, Mang! Dewi pasti akan sering main kesini," ucapku pasti. 

Aku pun akhirnya masuk ke dalam mobil taxi mengikuti kedua anakku, setelah memberikan amplop berisi uang untuk Bi Narsih, uang itu bisa ia pakai untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Walaupun awalnya ia menolak, tapi setelah aku membujuknya, ia pun mau menerimanya. 

*****

Dalam perjalanan pulang, Nayla dan Nahla tertidur di mobil, mereka tampak begitu pulas. Bahkan aku mendengar Nayla mendengkur. Sepertinya mereka berdua kecapean setelah bermain bersama Mang Yayan. 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, karena terjebak kemacetan. Akhirnya kami pun tiba di rumah. Aku melihat mobil Mas Seno sudah terparkir di halaman. "Tumben Mas Seno sudah pulang jam segini!" batinku bertanya-tanya. 

Aku langsung turun dari mobil menggendong Nayla dan menuntun Nahla yang terpaksa harus aku bangunkan dari tidurnya. Sedangkan sopir taxi online itu langsung pulang setelah membantuku menurunkan karung yang beri singkong dan menaruhnya di teras. 

Dan baru saja aku melangkahkan kakiku ke teras, tiba-tiba..."byurr!" Seluruh bajuku dan Nayla basah kuyup terkena guyuran air. Nayla terperanjat bangun, ia begitu terkejut. Seluruh wajah dan badannya basah. Beruntung Nahla berjalan lebih dulu di depan ku, hingga ia tidak terkena siraman air. 

"Kurang ajar! Dari mana saja kau Dewi!" Teriak Mas Seno sambil membanting ember di tangannya, matanya nyalang, menatapku penuh kebencian. 

"Keterlaluan kamu, Mas! Tega sekali kamu menyiram kami seperti ini," ucapku lalu menurunkan Nayla dari gendongan ku, setelah aku berhasil mengelap wajahnya dengan tangan. 

"Itu belum seberapa dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan pada Bella!" ucapnya berkacak pinggang. 

"Lancang sekali kau jadi istri! Suami kerja banting tulang, kau malah pergi seenaknya tanpa pamit! Dari mana saja kamu Dewi?" kali ini suara teriakannya semakin kencang.

"Apa tidak bisa kamu bicara baik-baik,Mas! Tidak perlu dengan cara seperti ini! Lagian, sejak kapan kamu peduli kemana kami pergi, Mas! " jawabku menatap lekat wajahnya yang dipenuhi amarah. 

"Dasar pemulung gak tau diri! Apa yang kau lakukan pada Bella? Jawab! Apa yang telah kau lakukan pada Bella di kantornya?" teriak Mas Seno semakin emosi. Deru nafasnya terdengar memburu. Wajahnya memerah dibakar amarah. Membuat anak-anak memelukku ketakutan. 

"Rupanya, sepupumu itu telah mengadu padamu, Mas! Apa yang Bella katakan padamu, hingga kamu se murka ini padaku, Mas?" tanyaku yang masih berdiri memegang kedua anakku yang menggelayut di kaki ketakutan. 

"Kurang ajar! Ditanya malah balik nanya! Apa urat malu mu sudah putus Dewi? Untuk apa kau mulung di kantor tempat Bella bekerja, hah? Jadi itu sampah hasil mulung yang kau bawa pulang?" ucapnya sambil menunjuk karung berisi singkong yang kubawa dari rumah Bi Narsih. 

"Jangan seenaknya kamu bicara,Mas! Aku tidak mulung! Dan di dalam karung itu bukan sampah! Jadi, jangan sembarangan kau bicara! Jika kamu mau ngajak ribut, jangan di luar! Tidak enak dilihat oleh tetangga!" ucapku segera membuka kunci dan berlalu meninggalkan Mas Seno yang masih emosi. 

"Hey Dewi! Langcang sekali kau ini! Suami sedang bicara malah pergi begitu saja!" teriak Mas Seno. Ia pun berjalan mengekor ku. 

"Dewi!" Teriaknya lagi. Aku pun menghentikan langkahku.

Aku segera menyuruh Nahla dan Nayla masuk ke dalam kamar. Aku tidak ingin mereka melihat pertengkaran ku dengan Ayahnya.

"Ada apa lagi, Mas? Apa masih belum puas kau menyiramku? Apa yang ingin kau katakan, katakanlah sekarang! Aku tidak punya banyak waktu untuk berdebat denganmu!" ucapku melipat kedua tangan di dada.

"Sudah mulai berani kau menantangku, hah! Dasar kurang ajar!" Seketika tangannya mengayun ke udara. Namun, dengan cepat aku bisa menghindar dari pukulannya. 

"Jika kamu berani menamparku, aku tidak segan-segan mengusirmu dari rumah ini, Mas!"

"Awas aja kau Dewi! Aku akan menceraikanmu! Kau pikir kau ini siapa? Dasar anak pemulung, Siap-siap kau jadi janda!" ucapnya mengancamku. 

"Tidak perlu repot-repot, Mas! Memang sudah lama aku ingin bercerai dengan mu! Aku sudah mempersiapkannya semua berkas-berkasnya. Kau tunggu saja, gugatan cerai yang akan kukirimkan padamu!" jawabku penuh percaya diri. Tentu saja aku sudah mempersiapkannya semuanya semenjak ia tidak pernah lagi menafkahi ku. Dulu aku tidak bisa bertindak karena terkendala biaya, tapi sekarang disaat aku sudah memiliki uang, aku akan segera menggugat nya ke pengadilan agama. Aku sudah muak hidup dengan laki-laki yang hanya mementingkan keluarganya, tapi menelantarkan anak dan istrinya. 

"Istri tidak tahu diri, kampungan! Sudah untung ada yang mau nikahin! Dasar anak pemulung!" Hardik nya kesal. Sepertinya dia tidak suka dengan apa yang aku katakan. 

"Terserah kamu mau ngomong apa, Mas! Yang jelas sebentar lagi kamu harus segera angkat kaki dari rumah ini!" Gumamku dalam hati, aku pun berlalu meninggalkannya. 

Aku masuk ke dalam kamar anak-anak dan menguncinya dari dalam. Setelah mengeringkan badanku dan Nayla. Aku segera menghubungi Renata. Temanku semasa SMA. Dia yang selalu meminjamkan aku uang disaat Mas Seno tidak memberikan nafkah. 

"Halo, Re! Aku butuh bantuanmu!" ucapku to the point. 

"Bantuan apa?" tanya Rena penasaran. 

"Suamimu seorang pengacara, kan? Bisakah dia membantuku mempercepat proses perceraian ku dengan Mas Seno? Aku akan menggugat cerai Mas Seno!" ucapku membuat Renata terkejut. Pasalnya dari dulu Renata menyuruhku untuk bercerai dengan Mas Seno. Tapi aku selalu menolaknya dengan alasan anak-anak.

"Aku tidak salah dengar kan, Wi? Kamu beneran mau bercerai dengan suamimu?" tanya Rena memastikan. 

"Iya, Ren! Aku serius! Aku akan bercerai dengannya! Aku sudah muak dengan tingkahnya!" 

"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kau bukakan pintu hati sahabatku ini!" ucap Renata bersyukur. Sepertinya ia begitu senang mendengar kabar dari ku. 

"Kalau begitu, kapan kita bisa bertemu, Ren?" 

"Nanti malam saja, Wi! Nanti malam kita bertemu!" 

"Baiklah, Terimakasih ya, Ren! sampai bertemu nanti malam!" ucapku sebelum memutus panggilan. 

**

Aku membuka brankas rahasia yang ku taruh di kolong ranjang anak-anak. Sebuah surat perjanjian yang ditandatangani oleh almarhum Abah dan juga Mas Seno. Disana tertulis, jika Mas Seno meminjam uang sebesar 50 juta, beserta sertifikat sawah milik Abah untuk ia gadaikan tanpa sepengetahuanku. Beruntung, sebelum Abah meninggal ia memberikan surat perjanjian ini padaku. Kalau tidak, aku yakin Mas Seno tidak akan membayar hutangnya pada almarhum Abah yang selalu ia hina. Dan sekarang, aku akan menagih nya! Kamu harus membayar semua hutang-hutangmu, Mas! 

"Bersiaplah, Mas! Permainan akan segera dimulai!" 

Comments (21)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
baru mau balas setelah punya anak 2.
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
pemulung tp punya sawah dan sapi..hebat dong...trus punya uang 50 juta jg...hehe
goodnovel comment avatar
Baharudin Haris
capek deh ini malah ngluruk paling sedikit 300 kata emang dapet bonus apa?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status