Pov Seno
Dari tadi entah sudah berapa kali aku menguap sambil menatap layar laptop di depanku. Aku benar-benar ngantuk, tadi malam saat tidur di rumah Ibu, berulang kali aku terbangun untuk menggendong Marsel yang menangis berkali-kali. Padahal biasanya aku selalu tidur nyenyak di rumah.
Disaat aku hampir tertidur di atas meja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pak Bimo, atasan ku. Aku terperanjat dan langsung mengusap tombol di layar.
"Ha-halo, Pak!" ucapku terbata.
"Halo Seno! Bagaimana laporan untuk bulan ini? Sudah selesai? Kamu sudah telat dua hari dari tanggal yang ditentukan!"
"Ma-maaf, Pak! Sa-saya belum selesai menyusun laporannya. Tapi saya pastikan besok pagi laporannya saya kirimkan ke email Bapak," ucapku berusaha meyakinkan atasan ku ini. Sudah dua hari ini aku belum juga mengirimkan laporan bulanan yang seharusnya sudah selesai ku kirim.
"Kamu ini bisa kerja apa tidak? Masa buat laporan kayak gitu saja sampai berhari-hari! Rugi saya memberikan kamu bonus kemarin! Cara kerja kamu lelet, cepat selesaikan tugasmu! Kalau kamu tidak mau saya pecat!" Ancam nya padaku.
Belum sempat aku menjawab, Pak Bimo sudah memutus panggilan. Membuatku semakin khawatir. Aku takut jika ancaman yang ia katakan itu sungguh-sungguh. Aku menyandarkan punggung di bibir kursi lalu menjambak rambut frustasi. "Argh! Sialan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mana flashdisk nya ketinggalan di rumah, lagi! Argh!"
Ditengah kebingunganku, tiba-tiba ponselku kembali berdering.
"Argh! Itu pasti Pak Bimo lagi yang nelpon!" batinku tak menghiraukan ponselku yang terus berdering.
Setelah cukup lama berdering aku pun mulai mengambil ponsel yang tergeletak dengan posisi terbalik itu. Mataku berbinar seketika, saat melihat nama yang tertulis di layar benda pipih ini.
"Bella!" ucapku sambil menatap layar yang terus berdering dengan perasaan bahagia.
"Tumben jam segini Bella menelponku? Bukannya semalam ia bilang hari ini ia ada shooting? Apa jangan-jangan dia kangen padaku?" batinku menerka-nerka.
"Hallo, Bell! Ada apa? Tumben nelpon jam segini?" ucapku mengawali pembicaraan.
"Halo, Mas! Kamu dimana? Cepet kesini! Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, hiks hiks" ucap Bella sambil menangis.
"Kamu kenapa, Bell? Apa yang terjadi denganmu?" tanyaku khawatir. Aku benar-benar takut jika sampai terjadi apa-apa dengan Bella.
"Pokoknya kamu kesini sekarang, Mas!"
"Memangnya kamu dimana, Bell?" tanyaku memastikan.
"Aku di resto depan kantor bos aku, Mas! Kamu tau kan tempatnya," jawab Bella. Ia nampak begitu ketakutan.
"Kamu tenang dulu ya, Bell! Jangan panik, lebih baik kamu ceritakan dulu sama Mas, apa yang sudah terjadi padamu?"
"Ini semua gara-gara ulah Dewi, Mas! Hiks hiks," jawab Bella semakin tergugu.
"Dewi?"
"Iya, Mas! Dewi istri kamu! Dia yang membuat aku menangis, dia mukulin aku Mas, sampai wajah dan badan aku lebam semua 'Mas, hiks hiks! Pokoknya sekarang juga kamu kesini, nanti aku jelasin semuanya!" jelas Bella membuatku sedikit bingung. Sepertinya tidak mungkin jika Dewi berani memukul Bella. Lagian kapan mereka bertemu?
"Tapi Bell, kamu tidak berbohong kan? Ma-mana mungkin Dewi berani memukul kamu?" ucapku meyakinkan Bella.
"Udah lah, Mas! Mendingan kamu cepet kesini sekarang! Biar aku jelasin semuanya! Kalau kamu tidak datang dalam 30 menit, aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu lagi!" ucapnya lalu menutup panggilan begitu saja.
Tanpa menunggu lama, aku pun segera menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Aku bergegas menuju parkiran, dan langsung menancap gas, melaju dengan kecepatan tinggi agar aku bisa segera sampai dan bertemu dengan Bella. Urusan laporan kepada Pak Bimo dipikir nanti saja, aku bisa cari alasan jika anakku sedang sakit jadi aku harus segera pulang. Aku yakin Pak Bimo pasti percaya.
Akhirnya, setelah beberapa kali menerobos lampu merah, aku pun sampai di resto yang dituju. Aku segera masuk dan mencari keberadaan Bella.
"Bella! Kamu tidak apa-apa kan?" ucapku setengah berlari menghampiri Bella yang duduk di kursi paling pojok.
"Mas Seno!" ucap Bella, ia langsung berdiri dan memeluk erat tubuhku. Tentu ini membuatku semakin salah tingkah, terlebih dia mengenakan pakaian yang sangat terbuka.
"Mas, sakit, Mas!" ucapnya dengan nada sedih.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Bell?" tanyaku sambil mengajak Bella untuk duduk. Karena jika terlalu lama berpelukan, aku khawatir tidak bisa mengendalikan hasratku.
"Jadi begini, Mas! Saat aku akan shooting, aku melihat Dewi sedang mulung di tempat kerjaku. Dia sedang mengobrak-abrik tong sampah di depan gerbang kantor. Aku panggil dia, dan menyuruh dia untuk berhenti. Tapi Dewi malah marah, dia menjambak dan menampar wajahku, tidak hanya itu Mas, Dewi juga menghina kamu dan Tante Meri!" jelas Bella panjang lebar membuatku seketika naik pitam.
"Kurang ajar si Dewi! Awas aja, aku akan memberi pelajaran padanya! Punya istri hanya jadi benalu! Dasar keturunan pemulung, tetep saja jadi pemulung, bikin malu! Awas saja kau Dewi, aku akan menghajarmu habis-habisan!" ucapku penuh emosi. Rasa kesal ku benar-benar sudah di ubun-ubun.
bersambung.
Baca cerbung Ottor yang lain ya, sambil nunggu update bab terbaru. Di bab ini sedikit dulu, Ottor sambil nulis cerbung 'Vonis mandul season 2' yang belum baca cerbung Vonis mandul season 1, yuk buruan baca. uda tamat di bab 56
Pov SenoAku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu.Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan."Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi.Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku."Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella."Ya uda kalau gitu, t
Aku kembali merapikan brankas ku, kali ini aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Tempat yang tidak akan diketahui siapapun. Aku harus mulai menyusun semua rencanaku dengan matang. Aku yakin, orang licik seperti Mas Seno pasti akan berkelit saat surat perjanjian ini kusodorkan padanya.Aku segera mengambil berkas-berkas perceraian yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, nanti malam aku akan menyerahkan semua berkas ini kepada suaminya Renata.***Sore berganti malam, selesai sholat magrib, aku segera bersiap untuk bertemu Renata. Setelah pulang kerja dia akan kesini untuk menjemputku dan anak-anak. Kami akan mengobrol di sebuah restoran, sekalian menyantap makan malam bersama dengan anak-anak.Kulihat, Mas Seno sedang duduk di ruang TV. Matanya begitu fokus menatap layar laptop yang menyala dihadapannya. Sepertinya ia sedang mengerj
Pov SenoTidak ada pilihan lain, selain membujuk Ibu dan Vivian untuk menjual kalungnya. Aku harus segera ke rumah Ibu untuk bicara dengannya.Dengan kecepatan tinggi, aku pun segera melesat menuju rumah Ibu. Kondisi rumah tampak sepi, sepertinya orang-orang di rumah sudah pada tidur. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya aku berteriak memanggil nama Ibu dan Vivian.Beruntung setelah aku berteriak-teriak, akhirnya Ibu pun bangun dan membukakan pintu untukku."Seno! Ada apa kamu malam-malam datang kesini? Kamu berantem lagi sama si Dewi?" tanya Ibu dengan wajah setengah sadar."Ada hal penting yang ingin Seno bicarakan sama Ibu dan juga Vivian!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Ibu yang mengekor ku setelah kembali menutup pintu."Kenapa gak besok saja kamu kesini? Ini uda malam loh, kamu ini, ganggu Ibu lagi istirahat a
Bella mengelap kamera itu dengan blazer nya. Air mata menetes di pelupuk mata ber softlens biru itu."Jika sampai kamera itu rusak, honor mu saya potong!" teriak pria itu berkacak pinggang.Bella mengangguk, lalu menyeka air mata yang terus membasahi wajah menornya."Sekarang semuanya bubar! Kembali ke pekerjaan masing-masing! Dan kamu, cepet berdiri dan gabung dengan para artis lainnya di dalam!" teriaknya lagi, tangannya merebut kamera dari genggaman Bella."Gawat! Jika sampai Bella tahu, aku ada disini, dia pasti akan mengacaukan semuanya. Bisa saja dia berkata yang tidak-tidak pada semua orang disini. Atau bisa saja Bella mengadu pada Mas Seno dan keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, aku harus bersembunyi dari Bella. Ini belum saatnya dia tau semuanya!" gumamku dalam hati. Segera aku mengambil masker di dalam tas, lalu menutupi wajahnya dengan naskah yang sedang ku pegang.Aku p
Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamarku."Marsel!" teriak Vivian, ia segera bangkit dan berlari menuju kamar.Kemudian ia kembali dengan Marsel dalam gendongannya."Permisi, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Pak satpam yang baru saja datang.Aku segera membuka lebar pintu yang setengah terbuka itu, dan kemudian menyuruh Pak satpam untuk masuk."Silahkan masuk, Pak! Tolong usir mereka dari rumah saya! Mereka berdua ingin membuat keributan di rumah saya!" ucapku dengan pasti. Seketika Ibu bangkit dan hendak menyerangku. Namun, dengan sigap Pak satpam langsung menarik tangan Ibu menjauh dariku."Menantu kurang ajar kamu, Dewi! Mertua sendiri kamu usir! Awas kamu, aku akan laporkan semua ini pada Seno! Biar kamu diusir dari rumah ini!" teriak Ibu. Emosinya semakin menjadi saat Pak satpam menariknya keluar."Awas kamu, Mbak! Aku akan balas
Aku berlari dengan perasaan was-was dan khawatir. Melihat di depan sana sudah banyak orang berkerumun mengelilingi mobil merah yang rusak parah karena membentur pembatas jalan. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan berlari untuk mengambil air, karena terdengar percikan api dari bagian depan mobil. Asap terus keluar dari bagian mesin mobil.Jantungku berdebar, khawatir dengan kondisi Mas Seno. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah dari anak-anak ku. Aku berlari menghampiri mobil yang rusak parah itu. Niat hati ingin membantu orang yang sedang berusaha mengeluarkan Mas Seno dari dalam mobil. Tapi sayang, sepertinya Mas Seno tidak suka jika aku membantunya. Dengan sombong dan angkuhnya, ia mendorongku yang berusaha membantunya. Tidak hanya itu, ia juga menyalahkan aku dengan kejadian yang telah menimpanya ini."Pergi kamu dari sini! Ini semua gara-gara kamu! Dasar istri pembawa sial!" celoteh nya penuh emos
Pov SenoAku terpaku menatap Marsel yang menangis. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mencari susu untuk Marsel, sepertinya ia kehausan. Dari tadi mulutnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu.'Keterlaluan Vivian! Yang benar saja, Masa ia tidak menyiapkan susu untuk anaknya yang akan ia tinggal pergi!' batinku menatap botol susu kosong yang tergeletak diatas meja.Aku kembali membuang nafas kasar, lalu mengambil botol yang tampak kotor ini, kemudian membawanya ke dapur setelah menaruh Marsel di dalam box bayi.Aku segera mencuci botol susu dengan sabun cuci piring yang menggantung di samping wastafel. Lalu mencari keberadaan kotak susu milik Marsel. Setelah lama mencari, akhirnya aku pun menemukan toples berisi susu yang Vivian taruh di dalam kulkas.Aku bingung, berapa
Aku menatap layar dengan senyum mengembang. Melihat Mas Seno dengan wajah pucat pasi saat menerima gugatan cerai dari ku.Aku yakin, dia pasti tidak percaya aku bisa melakukan hal ini. Renata mendapatkan foto ini dari ojek online yang ditugaskan untuk mengirim surat gugatan itu pada Mas Seno.Dan benar saja, sesuai dugaanku.Tak selang lama ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Mas Seno masuk ke benda pipih milikku."Halo Dewi! Apa-apaan kamu ini, hah? Kamu berani mengirimkan gugatan cerai padaku? Uang siapa yang kamu pakai untuk mengurus perceraian kita, hah? Kamu jual diri? Atau jangan-jangan kamu nyolong uangku?" cerocos Mas Seno memfitnahku."Astaghfirullah, Mas! Picik sekali pikiranmu! Hati-hati kalau bicara, Mas!""Alah, gak usah banyak bicara kamu! Kalau buk