Share

11. Pertikaian

"Kak!"

Aku memanggil Kak Sabiru. Pria itu tidak menghiraukan. Dirinya tetap lunglai berjalan menuju kamar tidur kami. Aku sendiri lekas menaruh Keanu ke dalam boks dan memberinya mainan. Kasihan ... bayi itu harus bermain sendiri saat kedua orang tuanya terlibat cekcok.

"Tolong dengar penjelasan aku dulu, Kak," pintaku dengan sorot pengharapan. Tanganku menghalangi Kak Sabiru yang hendak meraih gagang pintu.

Kak Sabiru menggeleng lemah. Terlihat jelas dari sorot matanya jika pria itu memendam kekecewaan yang teramat. "Baru tadi pagi kamu berjanji dan sore ini kudapati kamu mengingkarinya, Bila," ujarnya getir. Lagi Kak Sabiru menggeleng lemah disertai senyuman miris.

"Makanya dengarkan aku bicara dulu," tukasku cepat. "Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya!"

"Tidak perlu." Kak Sabiru menggeleng tegas. "Kalian berduaan di dalam kamar. Hanya berdua dan kalian pernah saling mencinta."

"Kamu tidak perlu ketakutan seperti itu, Biru!" sergah Zayn datang mendekat. "Aku berbeda dengan kamu. Aku bukan tipe pria yang suka merebut hak milik orang lain," tandasnya seraya menatap dingin pada Kak Sabiru.

"Maksud kamu apa?" Kak Sabiru balas menatap dingin.

Dua bersaudara itu saling bersitatap tajam. Aroma persaingan tercetak jelas pada kedua wajah itu. Sebagai objek dari persaingan mereka aku hanya bisa mendesah resah.

"Aku adalah pria bermoral yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita," tutur Zayn tenang. "Jadi ... walaupun aku seharian berduaan dengan Nabila, tapi tidak ada secuil pun pikiran kotor yang bersarang di otakku. Berbeda dengan dirimu yang-"

"Zayn! Sudahlah!" sambarku cepat seraya mendekati pemuda itu. "Sebaiknya sekarang kamu pulang!"  Aku mengusir pemuda itu dengan sedikit mendorong kasar.

Aku tahu jika Zayn ingin membela. Namun, aku tidak mau permasalahan ini kian runyam jika dia turut berbicara. Bahkan ketegangan antara kami akan tetap membara jika dia tidak sekelasnya angkat kaki dari sini.

"Teruskan bicaramu!" tantang Kak Sabiru pada Zayn.

Zayn tersenyum mengejek. "Ya ... aku bukan pria biadab yang tega merenggut kesucian seorang gadis seperti kamu! Terlebih itu ipar sendiri!" umpat Zayn lantang.

BUGGH

Mataku terbuka lebar saat melihat Kak Sabiru dengan berang meninju muka Zayn. Bogeman mendadak itu tepat mengenai bibir Zayn. Ada darah yang menetes pada bibir yang robek itu. 

Zayn mengusapnya dengan kasar. Pemuda itu lalu meludah keras. Air liur bercampur darah itu tepat jatuh di hadapan Kak Sabiru.

"Kamu pikir cuma kamu yang berhak marah?" geram Kak Sabiru masih mengepalkan tangan. "Dulu kamu boleh sepuasnya membuat perhitungan denganku, saat Nabila belum sepenuhnya menyerahkan hati. Tapi sekarang tidak bisa!" Kak Sabiru melarang dengan tatapan elangnya. "Nabila sudah sepenuhnya milikku, jadi jangan pernah kamu menggodanya kembali,"  pungkasnya garang.

"Persetan!" gertak Zayn tidak mau kalah. Pemuda itu ingin balas menyerang.

"Hentikaaan!" jeritku lantang sekaligus sedih. Kedua pria sedarah itu menoleh bersamaan ke arahku.

"Hei ... ada apa ini?"

Tiba-tiba dari luar masuk Dokter Tama dan Kiara. Di belakangnya ada Tante Santi ikut menyusul.

"Biru? Zayn? Ada apa dengan kalian? tegur Dokter Tama menatap bergantian dua kakak beradik itu dengan heran. Mata Dokter Tama tertuju pada bibir Zayn yang robek.

"Ya ampun ... ini pada bersitegang karena apa sih?" Suara Tante Santi ikut menggelegar. "Ini pasti gara-gara Nabila bawa masuk pria lain, Biru jadi marah. Bener gak?" tebak Tante Santi sok yakin.

Aku, Kak Sabiru, dan Zayn tidak menyahut. Tebakan Tante Santi memang benar. Pertikaian ini terjadi karena kesalahanku telah membawa Zayn masuk.

"Kalo ada permasalahan sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bukan main pukul seperti ini," saran Dokter Tama bijak.

"Kalo tante jadi Biru juga pasti marah kok," sela Tante Santi julid, "pasalnya tante lihat mobil dia parkir lama di halamanmu lumayan lama loh, Bir," lanjut Tante Santi sambil menunjuk Zayn. Wanita itu seolah menyiramkan bensin pada kobaran emosi di hatinya Kak Sabiru.

"Tante ... Zayn lama di sini karena kami terjebak di kamar Keanu yang engselnya rusak." Aku memberi tahu.

"Aduuuh! Jadi kalian berduaan di dalam kamar? Astaghfirullah!" Tante Santi menutup mulutnya dengan dramatis.

Dalam hati aku merutuk kenapa bisa keceplosan seperti tadi. Posisiku di mata Tante Santi dan keluarga pasti kian buruk sekali.

Kini semua orang yang ada di rumah ini memandang curiga padaku dan juga pada Zayn. Kecuali Kak Sabiru. Pria itu akan selalu membuang muka jika tanpa sadar mata kami bertemu pandang. Dan itu sungguh menyakitkan hati.

"Tolong tinggalkan rumah ini segera! Aku butuh beristirahat." Akhirnya, Kak Sabiru memungkas masalah ini.

Mendengar itu Zayn langsung menatapku. Sinaran matanya mengisyaratkan pamitnya dia. Pemuda itu lantas melangkah pergi mendapati diamnya aku.

Kiara sendiri lekas menarik lengan sang bunda untuk ikut beranjak pergi. Walau wanita yang masih terlihat modis dengan cat rambut cokelatnya itu sempat menolak, tetapi tarikan kuat dari Kiara membuatnya tidak mampu melawan.

Dokter Tama sendiri justru mendekati suamiku. "Aku tahu kamu marah atau mungkin kecewa saat ini. Tapi, aku berharap marahmu tidak akan sampai menyakiti hati Nabila," ujar Dokter Tama terdengar serius.

Kak Sabiru hanya menanggapi omongan Dokter Tama dengan senyuman kecut.

"Ingat! Bagaimana perjuanganmu dulu saat menaklukkan hati Bila, Biru." Dokter Tama kembali mengingatkan.

"Ya, aku tahu itu, Tam," sahut Kak Sabiru tampak mulai tenang. "Sekarang tolong pergilah!"

"Oke."

Dokter Tama menganguk paham. Pria itu tersenyum dan menepuk pundak Kak Sabiru perlahan. Tepukan persahabatan dari seorang teman yang mendukung.

"Kak," panggilku selepas semua orang pergi.

Kak Sabiru menghadapku dengan raut penuh kemalasan. "Kakak lelah. Kakak mau beristirahat," ujarnya sayu. Dirinya lantas masuk kamar usai cakap seperti itu. Aku sendiri agak terhenyak saat mendengar suara pintu yang terkunci.

Sesak. Dada ini terasa begitu sempit. Aku butuh pasokan oksigen yang banyak. Setelah menghirup udara dalam-dalam, aku masuk ke kamar Keanu.

Bayiku masih tampak asyik bermain sendiri. Keanu menggigiti mainan empuk miliknya. Kupandangi bayi itu dengan hati yang penuh penyesalan.

Kejadian ini tidak akan pernah terjadi jika aku tidak mengizinkan Zayn masuk ke mari. Salah. Ya ... aku terima jika Kak Sabiru marah.

*

Sampai malam menjelang pria itu tidak ke luar juga dari dalam bilik. Berulang kali kuketuk pintu kamar, tidak ada sahutan darinya. Kak Sabiru juga tidak menyentuh makan malam yang kusiapkan. Aku bahkan harus tertidur di kamar Keanu.

Pagi hari pun Kak Sabiru belum menunjukkan gelagat baiknya. Dirinya menolak saat aku hendak memasangkan dasi.

Pria itu juga melewati begitu saja sarapan yang telah kupersiapkan.

"Kak!"

"Aku akan sarapan di kantor. Ini sudah siang," sela Kak Sabiru cepat memberi alasan. Pria itu melenggang begitu saja tanpa memedulikan aku yang telah menunggunya untuk sarapan pagi bersama.

Malam hari pun sama. Kak Sabiru selalu pulang dengan melewatkan makan malam yang telah susah payah kubuat. Tidak ada sapaan darinya apa lagi candaan. Dingin. Hanya itu yang kurasa.

Sakit? Tentu saja aku sakit diperlakukan seperti ini. Namun, aku sadar dengan kesalahan yang telah kuperbuat. Sehingga jalan satu-satunya untuk mengakhiri perang dingin ini adalah dengan meminta maaf.

*

Malam itu, saat usai bermain catur dengan Tara, Kak Sabiru masuk kamar. Dirinya terlihat lumayan kaget melihat aku duduk menunggunya di ranjang.

"Kenapa belum tidur?" tegurnya datar seolah tidak perlu dijawab. "Tidurlah! Ini sudah malam!" Pria itu lekas merebahkan tubuh dan menarik selimut setinggi leher. Lalu mulai tidur dengan memunggungi aku seperti hari-hari kemarin.

Aku merangkak naik ke pembaringan. Ikut menyelinap masuk ke dalam selimut tebal putih miliknya.  Menyampingkan ego, aku memeluk pria itu dari belakang.

"Aku kangen kamu, Kak," ucapku jujur. Kepala ini kusandarkan pada punggung kokoh itu. "Aku tahu aku salah, tapi tolong jangan hukum aku dengan cara seperti ini," pintaku parau.

Mungkin karena mendengar suaraku yang tergetar karena menahan tangis, Kak Sabiru membalikkan badan. Pria itu menatapku lekat.

"Tolong jawab dengan jujur satu pertanyaanku ini, Bila!" pintanya sendu.

"Apa?" tanyaku seraya menghapus embun-embun yang mulai memburamkan mata ini.

"Jujur! Pernah gak kamu mencintai aku?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" balasku menatap intens matanya. "Tidak cukupkah perhatianku selama ini?"

"Bukan cuma perhatian yang kubutuhkan, tetapi kesetiaan juga."

"Kamu bicara seperti itu seolah-olah aku baru saja tertangkap basah habis selingkuh," sergahku kesal. Aku bangkit untuk duduk. "Aku tegaskan sekali lagi, aku dan Zayn tidak sengaja terjebak di kamar Keanu. Kamu tahu sendiri kan kalo engsel -"

"Kenapa kamu tidak meminta izin dulu kalo mau mempersilahkan Zayn masuk?" Kak Sabiru ikut bangkit duduk.

"Sudah, Kak!" tukasku frustasi. "Sinyal waktu itu jelek. Suaramu putus-putus. Bahkan kamu me-reject panggilanku," terangku sedetail mungkin.

"Aku sedang ikut meeting waktu itu, makanya aku reject."

"Ya sudah kalo begitu! Apa aku masih salah?!" sergahku lepas kendali.

Kak Sabiru sendiri terkesima mendengar nada tinggi yang ke luar dari mulutku. Tanpa berbicara lagi. Pria itu turun dari ranjang dan berlalu.

"Hey! Aku belum selesai bicara!"

Teriakanku tidak digubrisnya. Pria itu tetap melangkah pergi meninggalkan aku yang kini penuh kedongkolan menatapnya. Perlahan bibir ini mencebik. Pertahankanku jebol. Tanpa bisa dicegah air mata ini luruh begitu saja tanpa suara.

*

Semalaman aku menangis dalam diam sehingga terlambat bangun tidur. Untungnya sedang berhalangan sehingga tidak mengapa melewati waktu subuh. Kebetulan juga ini weekend sehingga aku tidak perlu terburu-buru menyiapkan sarapan pagi. Walau buat makanan juga percuma karena Kak Sabiru masih belum menyentuh olahanku.

Mengabaikan rasa pusing karena kurang tidur, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Aku butuh air segar untuk menyejukkan hati dan pikiran. Setelah merasa cukup bersih dan segar aku ke luar kamar mandi.

Kediaman ini tampak begitu lenggang. Sepertinya Kak Sabiru telah meninggalkan rumah. Hatiku kian mencelos saat mendapati boks Keanu kosong. Ke mana perginya ayah dan anak itu sepagi ini?

Rasa penasaran mendorongku untuk ke luar rumah. Di teras kudapati Nasya tengah duduk berduaan dengan Tara. Kedua sejoli itu tampak  bercanda-canda mengajak Keanu main.

"Kamu kapan ke sini, Sya?" tanyaku serilik.

"Eh ... Kak Bila udah bangun." Nasya berujar riang. "Udah dari sejam yang lalu. Dari Kakak masih ngorok," lanjutnya cuek.

Aku sendiri mencebik mendengar itu. "Oya ... lihat Bang Sabir pergi gak?"

"Pergi dengan kakak aku, Mbak." Tara yang menjawab.

"Apaaa?!" Mataku terbelalak. "Maksud kamu Kiara?"

"Kakak aku kan emang cuma satu. Kak Kiara itu," timpal Tara mengulum senyum.

"Mereka ... mereka pergi ke mana?" tanyaku penasaran dan yang pastinya tidak rela.

"Katanya mau main futsal. Bang Tama sih ngajakin tadi."

"Oh ada Tama?"

Aku bersyukur lega mendengarnya. Bahkan kurasakan bibir ini berkedut kecil. Rasa kesal seketika lenyap mendengar ada nama kakak Elma di antara Kak Sabiru dan Kiara.

"Ya udah ... Kakak bikin sarapan dulu, ya. Kamu tolong jaga Keanu dulu," pintaku pada Nasya.

"Oke," sahut Nasya centil. Gadis itu kembali mengajak Keanu main. Tampak pula Tara ikut menciumi bayi kecilku.

Pertikaian semalam harus segera terselesaikan. Walaupun tidak sepenuhnya salah, tapi apa salahnya jika aku mengalah. Demi keutuhan rumah tangga ego memang harus dijaga. Kalau sama-sama gengsi meminta maaf, tidak akan ada penyelesaian. Begitu nasihat Ibu ketika melepas aku ke rumah ini dulu.

Pengalaman juga menempaku menjadi sedikit lebih dewasa. Sekarang sudah sedikit bersabar juga. Jika dulu Kak Sabiru yang selalu mengejar, tidak mengapa kini aku berbalik yang memperjuangkan.

Ketika tengah sibuk mengolah rawon kesukaan Kak Sabiru, ponsel yang kutaruh di meja dapur bergetar. Karena terus saja bergetar dan berdering, mau tak mau harus kuangkat juga.

"Hallo ... Assalamualaikum," sapaku begitu layar pilih itu menempel di telinga.

"Selamat pagi. Maaf apa benar ini dengan Ibu Nabila istri dari Bapak Sabiru?"  tanya seorang wanita di seberang ponsel.

"Ya betul saya sendiri," jawabku ramah. Tiba-tiba ada rasa tidak enak menyergap hati.

"Maaf Ibu, mau mengabarkan kalo suami ibu bersama kedua temannya mengalami kecelakaan."

"Apaaah?"

Bibirku kelu mendengar itu. Terasa seperti ada sebuah belati tajam yang menghujam jantung ini dengan begitu kuat. Aku syok. Bahkan karena saking terkejutnya ponsel di tangan terlepas begitu saja.

Next

Jangan lupa subscribe untuk update bab ya. ❤️ dan 🌟 5 juga saya butuhkan. Komen kalian juga vitamin bagi saya untuk membuat lanjutan. Terima kasih 🙏

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status