Share

10. Terjebak Bersama Mantan

πŸ’πŸ’πŸ’

Salah. Aku tahu apa yang baru saja kuucap memang salah. Namun, hati siapa yang tidak iba? Melihat sosok pria yang pernah bertahta lama di hati berdiri tergetar karena menahan dinginnya hawa. Apalagi dengan wajah pucat dan bibir yang biru, aku yakin banyak hati yang akan tersentuh untuk menolongnya.

 

"Ya, masuklah!"

 

Akhirnya, kupersilahkan Zayn masuk. Senyum tipis seketika terbit dari bibir biru itu. Zayn meletakan bungkusan yang ia bawa di meja ruang tamu. Terlihat dia mengedarkan pandangan, lalu manik hitam nan teduh yang dulu begitu kurindu kini beralih menatapku.

 

"Duduklah! Aku akan ambilkan baju ganti," suruhku canggung. Bahkan mungkin cenderung kaku atau kikuk. Entahlah aku tidak peduli. Karena aku harus menjaga sikap.   

 

Namun, Zayn menggeleng lemah. "Bajuku basah kuyup. Kalo aku duduk kursi ini akan basah semua," tolaknya pengertian.

 

"Kan bisa dielap, Zayn."

 

"Tak apa. Aku berdiri saja," balas Zayn dengan badan yang terus menggigil.

 

Jeda. Kami saling terdiam. Sama-sama canggung pastinya.

 

"Ya sudah, aku ambil baju ganti dulu," putusku kemudian. 

 

Usai mendapat anggukan pelan dari Zayn, aku pun menderap langkah menuju kamar pribadi.

 

"Bila, tunggu!"

 

Di langkah keempat terdengar Zayn berseru memanggil. Aku balik badan untuk kembali menghadapnya.

 

"Di sini ada water heater kan?" Pemuda itu bertanya dengan wajah yang serius. "Aku mau numpang mandi di sini sebentar. Karena aku perlu mengguyur kepala ini dengan air hangat, agar tidak pusing," terang Zayn memberikan alasan.

 

Tidak ada raut kebohongan yang terlukis dari wajah bersih itu. Aku mengenal dia lama. Zayn tidak pernah berdusta.

 

"Ada, tapi aku harus izin sama Kak Sabiru dulu kalo-"

 

"Sebegitu tidak percayakah dirimu padaku sekarang, Bila?" sela Zayn menatapku lekat.

 

"Eh ... bukan begitu, Zayn." Aku mengelak cepat. "Tapi-"

 

"Sekian lama kian berhubungan dulu, pernahkah aku menyakiti atau mencelakai dirimu?"

 

Bibirku kelu untuk menyangkal pertanyaan yang terlontar dari bibir Zayn. Pemuda itu teramat baik dan sangat menghargai seorang wanita. Tidak pantas rasanya jika aku mengabaikan permintaannya.

 

"Baiklah." Akhirnya, aku mengizinkan dengan terpaksa. 

 

Aku mendahului berjalan. Zayn mengikuti. Ketika aku hendak masuk ke kamar pribadi untuk mengambil handuk dan baju ganti, tampak Zayn menyelinap masuk ke kamar Keanu. Mungkin dia ingin menengok keponakannya. Kubiarkan saja.

 

Kaos berkerah dan celana training hitam kepunyaan Kak Sabiru pada lipatan teratas di rak lemari lekas kutarik. Tidak lupa handuk putih juga. Ketika akan melangkah ke luar, aku teringat kalau Zayn juga memerlukan pakaian dalam juga. 

 

Untung postur dan ukuran tubuh dia tidak jauh berbeda dengan Kak Sabiru, hanya lebih tinggi beberapa centi saja. Jadi aku yakin baju beserta dalam Kak Sabiru akan muat di pakainya.

 

Ketika aku masuk ke kamar Keanu, Zayn terlihat tengah memandangi sang keponakan. Pemuda itu meniupi telapak tangannya yang basah. Lantas tampak dia mengulurkan jemari yang mungkin sudah kering itu untuk mengusap pipi Keanu. 

 

Baju basah Zayn membuat lantai kamar ini sedikit menjadi licin. Hati-hati aku berjalan mendekat.

 

"Andai aku ayah kandungmu." Terdengar Zayn bergumam. Jemarinya masih saja mengusap pipi Keanu yang terlelap damai. 

 

Aku sendiri hanya bisa menghirup oksigen pelan mendengar itu. Zayn masih saja berharap. Aku tahu hubungannya dengan Elma hanya sekadar pelarian. Kasihan gadis itu. Kembali aku mendesah resah.

 

"Zayn." Aku memanggil. Pemuda itu langsung menghadapku. "Ini." Kuangsurkan baju ganti beserta handuk.

 

"Makasih," balasnya pelan disertai senyuman samar.

 

"Kamar mandi samping dapur, ya." Aku memberi tahu.

 

Zayn menganguk. Pemuda itu lekas ke luar untuk menunaikan niatnya. Aku sendiri gegas merogoh ponsel di saku rok. Bagaimanapun juga aku harus memberi tahu kepada Kak Sabiru mengenai keberadaan Zayn di rumah ini. 

 

Sayangnya cuaca buruk ini membuat sinyal tidak stabil. Suara Kak Sabiru terdengar putus-putus saat menerima panggilanku. Tidak putus asa aku mencoba ke luar. Mencari sinyal di luar sepertinya ide yang bagus.

 

Ternyata tidak jauh berbeda. Di teras pun sinyal juga susah. Bahkan terdengar Kak Sabiru me-reject panggilan dariku.

 

"Aduuh ... bagaimana ini?"

 

Walau mengeluh, tetapi aku bersabar dengan terus menghubungi nomor Kak Sabiru. Sayangnya usahaku tidak membuahkan hasil. 

 

"Kirim pesan saja." Aku berbicara sendiri.

 

JEDERRR!

 

Aku tersentak kaget saat mendengar bunyi guntur yang begitu menggelegar. Jantung ini pun berdebar rancak. Bahkan ponsel yang tengah dipegang ini terlepas saking kagetnya. 

 

Kupungut layar tipis dengan chasing berwarna putih itu. Seketika hati menjadi kesal karena ponsel ini mendadak mati akibat terjatuh tadi.

 

JEDERRR

 

Kembali terdengar guntur bergema. Kilat menyambar seolah ada keris yang tengah menyabet langit. Siapa saja yang melihat pasti terselip rasa takut. Begitu juga dengan diriku. 

 

Samar-samar terdengar suara tangis dari Keanu. Ahhhh ... bayi itu pasti terkejut mendengar bunyi sekeras tadi. Makin lama suara tangis itu terdengar kian kencang.

 

"Iya, Nak. Tunggu!"

 

Gegas kupercepat langkah menuju kamar Keanu. Bayi itu terus saja terdengar menangis kencang. Membuatku terpaksa sedikit berlari. Dan sepertinya nasib buruk memang sedang berpihak kepadaku. Lantai yang sedikit basah akibat tetesan baju Zayn tadi membuat aku terpeleset jatuh.

 

"Arghhhh!"

 

Aku mengerang lara. Rasanya sungguh sakit luar biasa. Pinggang ini benar-benar seperti mau patah. 

 

"Bila!"

 

Zayn datang mendekat. Pemuda dengan rambut basah itu gegas menolongku.

 

"Kamu gak papa?" tanya dia peduli. Walau kepala menggeleng, tetapi bibirku merintih sakit. "Sini aku bantu!"

 

Aku hanya bisa terdiam pasrah, saat Zayn merangkul. Penuh perhatian pemuda itu membantuku berdiri bangkit, lalu berjalan hati-hati menuntunku duduk di tepi ranjang.

 

BRAKKKK!

 

Aku dan Zayn terlonjak kaget saat pintu kamar Keanu berdebam keras. Angin hujan yang bertiup kencang menyelinap masuk melalui jendela kamar yang terlupa kututup.

 

"Oh .... tidak!" Aku mendesah takut.

 

"Kenapa, Bil?" tanya Zayn tidak paham.

 

"Pintu itu engselnya rusak. Kadang bisa terkunci sendiri," jawabku kian resah. Zayn mengangguk paham. Pemuda itu hendak membuka pintu, tetapi kutahan. "Tolong bawa Keanu ke pangkuanku dulu," pintaku parau. Bibir bawah kugigit pelan guna mengalihkan rasa nyeri dan panas pada pinggang ini.

 

Zayn yang tanggap lekas membopong sang ponakan yang telah berurai air mata. Sebelum menyerahkannya padaku, pemuda itu menyempatkan diri mencium pipi Keanu.

 

"Uhhhh ...  sayangnya bunda. Sini!"

 

Lekas kupeluk sayang bayi menggemaskan ini. Mengabaikan rasa sakit, aku berdiri untuk menimang Keanu.

 

Zayn sendiri meneruskan langkah yang tertunda tadi. Pemuda itu tampak menyiapkan badan. Kini dia mengambil ancang-ancang. Setelah dirasa tenaganya telah cukup terkumpul, Zayn mendobrak pintu kamar ini.

 

Gagal. Pemuda itu tidak pantang menyerah. Berkali-kali Zayn mendobrak pintu itu dengan kekuatan terbaiknya. Namun, pintu setingggi dua meter yang terbuat dari kayu jati itu tetap kokoh berdiri.

 

Zayn menghentikan aksinya. Pemuda itu memegangi dadanya yang turun naik tidak beraturan. Dia tersengal. Aku yakin dia pasti sangat lelah menaklukkan pintu itu.

 

"Jangan, Zayn!" larangku ketika dia kembali berusaha mendobrak pintu itu. "Tenagamu akan habis dengan percuma," lanjutku iba.

 

"Tapi, aku tidak ingin ketika berdua terjebak di kamar ini berdua," tukas Zayn bertahan. Dirinya kembali mengambil ancang-ancang.

 

"Coba hubungi seseorang untuk menolong kita." Aku memberi saran.

 

"Gak bisa, hape sengaja aku tinggal di mobil tadi," sesal Zayn dengan bahu yang kian menurun, "aku pikir tidak akan lama di sini dan tidak mau juga hapeku kena hujan karena lupa tidak membawa payung," lanjutnya kian bermuram durja.

 

Aku sendiri juga kian merasa gundah gulana. Tidak mungkin kami terus-terusan berdua di kamar ini. Aku belum siap menerima fitnah. Terlebih jika di depan Kak Sabiru.

 

Hening. Aku dan Zayn sama-sama terhanyut diam. Namun, aku yakin otak Zayn juga tengah berupaya keras mencari jalan ke luar untuk kami. Tiba-tiba mataku tertuju pada jendela kamar yang terlapisi teralis ini.  

 

"Coba lewat jendela ini, Zayn," saranku seraya menunjuk jendela. 

 

Zayn menganguk patuh. Kini pemuda itu berjalan melewatiku dan berhenti tepat di depan jendela. Dirinya terlihat memasok oksigen banyak-banyak untuk menghimpun kekuatan. Dirasa cukup, kembali Zayn menggunakan seluruh tenaganya yang tersisa untuk mematahkan teralis itu.

 

"Su-su-sah, Bil." Zayn berucap dengan payah. 

 

Pemuda itu kembali tersengal. Wajah bersihnya kian pias. Pastinya dia amat letih. 

 

Kini tangan itu terulur ke luar jendela. Kesepuluh jemarinya menampung air hujan. Zayn meminum air langit itu untuk mengusir dahaganya. 

 

Aku yang melihat itu hanya bisa mendengkus lelah dan iba. Kamar ini tidak tersedia dispenser. Kasihan ... Zayn.

 

Keanu sendiri masih juga belum berhenti menangis. Bahkan tangisannya kian kencang. Ayunanku tidak cukup mempan membuatnya terlena.

 

"Kenapa bayimu nangis terus, Bil?" tanya Zayn menunjukkan kepedulian. Pemuda itu mendekat. Tangan ikut terulur mengusap putraku.

 

"Dia lapar. Saatnya dia minum ASI," jawabku jujur.

 

"Ya sudah ... susui saja Keanu. Kasihan kan dia menangis terus?"

 

"Iya, tapi ...." Aku bingung bagaimana harus bicara.

 

"Karena ada aku?" tanya Zayn tanggap sembari menunjuk hidung sendiri. Aku mengangguk jujur. "Oke. Aku gak akan lihat," janji Zayn sembari balik badan. Pemuda itu kembali menghadap jendela.

 

Kesempatan yang sedari tadi ditunggu ini tidak kusia-siakan. Gegas kususui Keanu. Keanu yang mungkin terlampau lapar itu langsung menyedot putingku dengan begitu kuat.

 

"Aduuuh!" Aku sampai terpekik kecil dibuatnya.

 

"Kenapa, Bil?" Zayn refleks menengok.

 

Sigap kututup sebagian dada yang terbuka ini dengan posisi menyerong. 

Pertanyaan dari Zayn pun kuabaikan. Pikiranku fokus memberikan kenyamanan pada Keanu dengan terus memberinya ASI.

 

Dirasa cukup kenyang Keanu melepaskan isapannya. Tampak bayi imut ini tertawa-tawa senang. Aku sendiri lantas kembali menutup kancing blouse. 

 

"Sudah!" Aku memberi tahu. 

 

Tampak Zayn membalik badan. Kini pemuda itu melambat langkah mendekatiku. Selang menit berikutnya, dia membopong Keanu dari pangkuanku. Pemuda itu mengayun-ayunkan bayi itu seraya mengajaknya berbicara. Membuat Keanu tertawa-tawa lucu.

 

"Kamu bahagia menikah dengan Biru?" tanya Zayn menyerahkan Keanu kembali padaku.

 

"Ya," jawabku mantap seraya menerima Keanu. Kuciumi bayi lucu ini. "Kamu sendiri bahagia bukan bersama Elma? Kapan kalian menghalalkan hubungan?" cecarku penasaran.

 

"Sampai saat ini hatiku belum tertaut padanya. Jadi entah kapan aku akan menikahinya," jujur Zayn gusar.

 

"Zayn ... jangan seperti itu!" Kutatap manik hitam itu. "Elma itu gadis yang baik. Kalian sangat serasi," lanjutku mengingatkan.

 

"Sayangnya sampai saat ini namamu masih terpatri kuat di hatiku, Bila." 

 

"Gak! Itu gak benar, Zayn!" larangku menggeleng tegas. "Aku kini kakak iparmu. Berhentilah memikirkan aku!"

 

"Sayangnya itu terlampau sulit, Bila," balas Zayn tersenyum getir.

 

"Bilaaa! Apa kamu ada di dalam?"

 

Aku dan Zayn menoleh bersamaan ke arah pintu. Itu suara Kak Sabiru. Terdengar pula ketukan pintu yang bertalu-talu. Aku melangkah cepat ke depan pintu itu.

 

"Kak Sabir, aku terperangkap di kamar ini," jawabku dengan sedikit berteriak. "Pintunya terkunci sendiri, Kak."

 

"Oke. Kakak akan minta bantuan." Terdengar kaki melangkah menjauh. 

 

Selama menunggu Kak Sabiru meminta bantuan, aku dan Zayn saling membisu. Sembari memeluk Keanu bibirku merapal doa. Berharap Kak Sabiru tidak akan marah melihat keberadaan Zayn di kamar ini.

 

"Bila, kakak datang!"

 

Aku dan Zayn kembali menengok pintu.

 

"Siap?" Terdengar Kak Sabiru bertanya dari luar. Mungkin ke orang yang dimintai pertolongan. "Oke ... satu ... dua ... tiga!"

 

Pintu kayu tampak tergetar. Terdengar pula teriakan beberapa orang yang mencoba mendobrak pintu. Setelah beberapa lama mencoba, akhirnya Kak Sabiru berhasil juga membobol pertahanan pintu kokoh ini. Pintu bercat cokelat ini roboh di lantai.

 

"Bilaaa!"

 

Kak Sabiru berseru. Pria itu lekas menghampiriku. Namun, seketika wajahnya membeku dingin begitu melihat wajah Zayn yang berdiri di belakangku.

 

"Ka-kamu ada di sini?" tanya Kak Sabiru dengan wajah yang terlihat syok. Zayn sendiri hanya terbungkam diam. "Ngapain kamu masuk ke kamar kami?" Kak Sabiru kembali bertanya dengan muka yang kian keruh. Bahkan matanya mulai memerah. Bertanda dia mulai tersulut emosi.

 

"Aku bisa jelaskan, Kak," sambarku saat Kak Sabiru terus saja menatap tajam ke arah Zayn.

 

"Bang ... kita permisi, ya," pamit Tara mengajak temannya pergi. Ternyata Kak Sabiru memanggil pemuda itu bersama seorang kawan untuk membantunya.

 

"Oke. Aku permisi, Bila." Zayn pun pamit undur diri. Pemuda itu tidak mengindahkan pertanyaan dari Kak Sabiru. Dengan tenang Zayn melangkah melewati Kak Sabiru yang masih menatap tidak suka padanya.

 

"Tunggu!" cegat Kak Sabiru lantang. Zayn menghentikan langkah. Masih bersikap tenang dia menghadap Kak Sabiru kembali. "Kenapa kamu masih menemui Nabila? Kamu tahu kan dia sekarang sudah sah menjadi istriku?"

 

"Ya, istri yang kamu curi dariku."

 

Tak kusangka Zayn akan melontarkan kalimat seperti itu dengan entengnya. Kak Sabiru yang terlihat sekuat tenaga meredam emosinya mendadak membulatkan mata.

 

"Kak, kita bicara pelan-pelan, yuk!" ajakku seraya menggandeng tangan kekar itu. "Akan kujelaskan kenapa Zayn bisa ada di kamar ini."

 

"Kakak kecewa padamu, Bila," ungkap Kak Sabiru serak. 

 

Sorot matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Aku sendiri terhenyak mendengarkan itu. Dan semakin terkesiap kaget saat pria itu menepis kasar pegangan tanganku. Tanpa bicara Kak Sabiru berlalu meninggalkan aku yang mematung gundah.

 

Next

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status