Share

2. Janin Sebagai Tumbalnya

"Zaman sekarang, banyak orang yang memakai jalan seperti kita. Aman dari penyidikan tanpa jejak sedikitpun. Aku juga dulu sepertimu, ragu-ragu. Tapi aku sadar tak ada jalan lain. Aku hanya wanita miskin yang diselingkuhi oleh suamiku sendiri. Berkat jalan ini, suamiku mendapatkan balasan setimpal. Seluruh miliknya menjadi milikku dan anak-anak."

Aku mengangguk setuju dengan pendapat Mbak Iren. Sama sepertinya, aku pun merasa tak ada jalan lain yang bisa kutempuh untuk memberi pelajaran pada Mas Byan dan gundiknya.

Sembari terus meyakinkan diri, aku tetap mengemudikan mobilku untuk lanjut ke depan. Sudah kepalang basah sampai di sini. Mas Byan juga tak akan pulang malam ini. Itu yang dia katakan. Aku memang sengaja memastikan dulu sebelum berangkat menemui Mbak Iren tadi. Untungnya, satpam rumah juga mudah saja kubohongi. Meski hanya ibu rumah tangga yang disambi dengan berjualan online, aku memang sering keluar untuk menemui pembeli yang meminta barang dengan sistem bayar di tempat.

"Berhenti di sini. Kita sudah sampai."

Aku menghentikan mobil dan menatap sekeliling. Di depan memang ada rumah panggung. Meski terbuat dari papan dan hanya memakai penerangan obor, bagian depan rumah itu tampak memiliki arsitektur modern.

Aku turun dari mobil, mengikuti langkah Mbak Iren yang sudah turun terlebih dahulu. Aku akui, ornamen bagian depan rumah itu begitu menakjubkan dengan ukiran-ukiran aneka hewan melata.

"Ayo," ucap Mbak Iren sembari menarikku untuk menaiki tangga.

Mbak Iren kemudian mengetuk pintu dan tak lama kemudian muncul gadis kecil yang aku perkiraan sekitar usia sepuluh tahunan.

"Mbah masih ritual. Masuk saja," katanya mempersilakan.

Mbak Iren menarikku untuk masuk dan tak ada yang bisa kulakukan selain menurut, mengikuti langkah kakinya yang tak terlalu panjang.

"Aaa!" teriakku saat baru saja menginjakkan kaki di rumah itu. Bagaimana tidak, di lantai rumah itu banyak sekai hewan melata yang berkeliaran. Cacing-cacing yang mengeliat meski tak ada tanah, kaki seribu, kelabang, kalajengking, dan entah apa lagi yang lain. Jangan lupakan ular-ular yang melingkar di setiap tiang.

"Selamat datang. Jangan takut. Mereka semua peliharaanku," ucap seorang wanita berkebaya cokelat yang tampak belum terlalu tua. Mungkin sekitar empat puluhan tahun.

Keterkejutanku bertambah saat tiba-tiba hewan-hewan itu menyingkirkan. Kecuali ular-ular yang masih setia di tiang.

"Apa yang membuatmu datang ke sini, Wanita Muda? Apa suamimu menduakanmu?" tanya wanita berkebaya tadi yang kuyakini sebagai Mbah Gendis sesaat setelah mempersilakan kami duduk di kursi rotan yang tersedia.

"I-iya, Mbah," jawabku gugup.

"Setiap wanita yang dibawa Iren ke sini pasti memiliki masalah yang sama denganmu." Wanita itu menatap penuh makna ke arahku, "tapi baru kali ini aku didatangi oleh wanita yang sedang hamil."

"Apa? Jadi kamu lagi hamil? Kenapa tak mengatakannya padaku?" tanya Mbak Iren lirih. Lebih tepatnya berbisik.

Aku mengalihkan pandangan ke arah Mbak Iren. Wajahnya tampak panik.

"Menarik." Tawa Mbah Gendis menggema. Terdengar menyeramkan.

"Ini gawat, Salma," kata Mbak Iren lagi.

Jujur, ucapan itu sukses membuat perasaanku menjadi semakin tidak enak.

"Kamu sudi mengandung anak dari pengkhianat itu?" tanya Mbah Gendis. Kali ini terdengar sinis.

Aku mengelus perut, tempat di mana janin itu bersemayam. Walau bagaimanapun, dia tetap anakku yang tak bersalah.

"Kau tahu, resiko apa yang kau terima ketika datang ke tempatku? Aku rasa Iren sudah memberitahumu."

Aku mengangguk. Paham dengan siapa aku berurusan saat ini. Ah, bahkan mungkin seumur hidupku.

"Aku menginginkan anakmu!" ucap Mbah Gendis penuh penekanan.

"Apa tidak bisa tumbal yang lain saja?" tanyaku pelan.

"Sebenarnya apa yang kamu mau? Suamimu mati perlahan?" Mbah Gendis malah balik bertanya.

Aku tercengang. Belum pernah terpikir secara khusus apa yang kuinginkan terjadi pada Mas Byan. Aku hanya ingin dia menderita. Tetapi aku tak sejahat itu juga untuk membunuhnya.

"Aku ingin dia menyerahkan seluruh kekayaannya padaku dan dia jatuh miskin." Akhirnya itu yang tersampaikan lewat mulutku.

"Gampang. Serahkan saja padaku. Lalu bagaimana dengan wanita yang merebut suamimu itu?"

"Terserah Mbah saja mau diapakan wanita itu." Aku memang tak terlalu peduli dengan wanita itu. Menurutku, dalam hal ini Mas Byan mengambil peran paling besar dalam menorehkan luka di hatiku.

"Ada fotonya?"

"Ada. Sebentar," balasku sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sekilas aku sempat melihat tak ada satu pun balok sinyal di sana.

Aku menyerahkan ponsel yang menampilkan gambar kiriman Anya tadi pagi. Membiarkan Mbah Gendis mengamati foto itu sembari mulutnya berkomat-kamit membaca mantra.

Suasana begitu suram ketika tak ada sedikitpun obrolan. Terdengar suara mendesis dari ular-ular yang masih setia melingkar di tiang. Belum lagi suara anjing yang menggonggong di luar sana menambah keseraman yang ada.

Mbah Gendis mengambil dupa dari bawah meja di depan kami, kemudian membakar kemenyan. Anehnya, bau harus yang ditimbulkan hanya sebentar. Berganti dengan aroma anyir yang mirip seperti di jalanan tadi.

Lagi-lagi aku merasakan mual yang tak tertahan. Mbak Iren yang mungkin menyadari gelagatku langsung membantu menuntunku keluar setelah membungkuk pada Mbah Gendis.

Sesaat setelah kakiku memijak tanah, aku langsung membungkuk dan memuntahkan isi perut yang hanya berupa cairan kuning pahit.

"Kalau aku tahu kau sedang hamil, aku tak akan membawamu ke sini," ucap Mbak Iren memecah keheningan.

"Memangnya kenapa?" tanyaku penuh rasa penasaran.

"Sebelumnya maafkan aku. Aku terlibat perjanjian menjadi anak buah Mbah Gendis untuk menyesatkan orang-orang. Membuat kalian lupa pada Tuhan dan menjebak kalian untuk menjadi pengabdi siluman. Sejak dulu, Mbah Gendis memiliki ritual memakan janin yang belum bernyawa untuk menambah kekuatannya. Beberapa diantara mereka yang datang ke sini harus mencarikan janin itu untuknya. Tapi setahuku memang tak pernah ada wanita hamil muda yang datang padanya. Jika pun ada dan jujur padaku sejak awal, maka aku akan menolak membawa mereka ke sini." Mbak Iren menjawab dengan sangat serius.

"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" aku benar-benar bingung dan merasa terjebak dalam situasi ini.

"Entahlah. Tanyakan saja sama Mbah Gendis."

Mbak Iren menuntuntu untuk kembali menemui Mbah Gendis. Menurutku, bukan hanya Mbah Gendis saja yang penuh misteri, tetapi Mbah Iren pun sama. Kadang ucapannya seperti dia menunjukkan kebaikan, kadang malah sebaliknya.

Kemenyan yang tadi dinyalakan oleh Mbah Gendis sudah habis tak bersisa. Bahkan bau anyirnya pun turut menghilang. Pun dengan ular-ular tadi.

"Dalam penerawanganku, wanita itu juga menggunakan kekuatan gaib untuk merebut suamimu. Semacam ajian semar mesem yang membuat suamimu tergila-gila padanya. Lantas, apa kamu tetap memasrahkan urusan wanita itu padaku?" Mbah Gendis menyambutku dan Mbak Iren yang baru terduduk di kursi dengan pertanyaan yang cukup mengejutkan. Aku tak menyangka wanita itu memakai jalan pintas.

"Aku ingin wanita itu lebih menderita daripada Mas Byan. Bahkan sampai ajal menjemput," ucapku berapi-api. Tentu saja kemarahanku pada wanita itu semakin menggebu-gebu.

"Kita tak boleh gegabah. Aku harus menelisik lebih dalam siapa dukun yang membantu selingkuhan suamimu itu. Dalam dunia perdukunan perang batin adalah hal yang lumrah. Tapi dalam hal ini, aku membutuhkan janinmu. Jika kau tak mengizinkanku memakannya, maka kau harus merelakan kekuatanku tersalurkan padanya. Ketika lahir nanti, dia akan menjadi pengikutku yang sakti dan setia."

Mendengar penuturan itu, seketika napasku terkecat. Buah simalakama sedang ada di depanku sekarang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status