"Zaman sekarang, banyak orang yang memakai jalan seperti kita. Aman dari penyidikan tanpa jejak sedikitpun. Aku juga dulu sepertimu, ragu-ragu. Tapi aku sadar tak ada jalan lain. Aku hanya wanita miskin yang diselingkuhi oleh suamiku sendiri. Berkat jalan ini, suamiku mendapatkan balasan setimpal. Seluruh miliknya menjadi milikku dan anak-anak."
Aku mengangguk setuju dengan pendapat Mbak Iren. Sama sepertinya, aku pun merasa tak ada jalan lain yang bisa kutempuh untuk memberi pelajaran pada Mas Byan dan gundiknya.
Sembari terus meyakinkan diri, aku tetap mengemudikan mobilku untuk lanjut ke depan. Sudah kepalang basah sampai di sini. Mas Byan juga tak akan pulang malam ini. Itu yang dia katakan. Aku memang sengaja memastikan dulu sebelum berangkat menemui Mbak Iren tadi. Untungnya, satpam rumah juga mudah saja kubohongi. Meski hanya ibu rumah tangga yang disambi dengan berjualan online, aku memang sering keluar untuk menemui pembeli yang meminta barang dengan sistem bayar di tempat.
"Berhenti di sini. Kita sudah sampai."
Aku menghentikan mobil dan menatap sekeliling. Di depan memang ada rumah panggung. Meski terbuat dari papan dan hanya memakai penerangan obor, bagian depan rumah itu tampak memiliki arsitektur modern.
Aku turun dari mobil, mengikuti langkah Mbak Iren yang sudah turun terlebih dahulu. Aku akui, ornamen bagian depan rumah itu begitu menakjubkan dengan ukiran-ukiran aneka hewan melata.
"Ayo," ucap Mbak Iren sembari menarikku untuk menaiki tangga.
Mbak Iren kemudian mengetuk pintu dan tak lama kemudian muncul gadis kecil yang aku perkiraan sekitar usia sepuluh tahunan.
"Mbah masih ritual. Masuk saja," katanya mempersilakan.
Mbak Iren menarikku untuk masuk dan tak ada yang bisa kulakukan selain menurut, mengikuti langkah kakinya yang tak terlalu panjang.
"Aaa!" teriakku saat baru saja menginjakkan kaki di rumah itu. Bagaimana tidak, di lantai rumah itu banyak sekai hewan melata yang berkeliaran. Cacing-cacing yang mengeliat meski tak ada tanah, kaki seribu, kelabang, kalajengking, dan entah apa lagi yang lain. Jangan lupakan ular-ular yang melingkar di setiap tiang.
"Selamat datang. Jangan takut. Mereka semua peliharaanku," ucap seorang wanita berkebaya cokelat yang tampak belum terlalu tua. Mungkin sekitar empat puluhan tahun.
Keterkejutanku bertambah saat tiba-tiba hewan-hewan itu menyingkirkan. Kecuali ular-ular yang masih setia di tiang.
"Apa yang membuatmu datang ke sini, Wanita Muda? Apa suamimu menduakanmu?" tanya wanita berkebaya tadi yang kuyakini sebagai Mbah Gendis sesaat setelah mempersilakan kami duduk di kursi rotan yang tersedia.
"I-iya, Mbah," jawabku gugup.
"Setiap wanita yang dibawa Iren ke sini pasti memiliki masalah yang sama denganmu." Wanita itu menatap penuh makna ke arahku, "tapi baru kali ini aku didatangi oleh wanita yang sedang hamil."
"Apa? Jadi kamu lagi hamil? Kenapa tak mengatakannya padaku?" tanya Mbak Iren lirih. Lebih tepatnya berbisik.
Aku mengalihkan pandangan ke arah Mbak Iren. Wajahnya tampak panik.
"Menarik." Tawa Mbah Gendis menggema. Terdengar menyeramkan.
"Ini gawat, Salma," kata Mbak Iren lagi.
Jujur, ucapan itu sukses membuat perasaanku menjadi semakin tidak enak.
"Kamu sudi mengandung anak dari pengkhianat itu?" tanya Mbah Gendis. Kali ini terdengar sinis.
Aku mengelus perut, tempat di mana janin itu bersemayam. Walau bagaimanapun, dia tetap anakku yang tak bersalah.
"Kau tahu, resiko apa yang kau terima ketika datang ke tempatku? Aku rasa Iren sudah memberitahumu."
Aku mengangguk. Paham dengan siapa aku berurusan saat ini. Ah, bahkan mungkin seumur hidupku.
"Aku menginginkan anakmu!" ucap Mbah Gendis penuh penekanan.
"Apa tidak bisa tumbal yang lain saja?" tanyaku pelan.
"Sebenarnya apa yang kamu mau? Suamimu mati perlahan?" Mbah Gendis malah balik bertanya.
Aku tercengang. Belum pernah terpikir secara khusus apa yang kuinginkan terjadi pada Mas Byan. Aku hanya ingin dia menderita. Tetapi aku tak sejahat itu juga untuk membunuhnya.
"Aku ingin dia menyerahkan seluruh kekayaannya padaku dan dia jatuh miskin." Akhirnya itu yang tersampaikan lewat mulutku.
"Gampang. Serahkan saja padaku. Lalu bagaimana dengan wanita yang merebut suamimu itu?"
"Terserah Mbah saja mau diapakan wanita itu." Aku memang tak terlalu peduli dengan wanita itu. Menurutku, dalam hal ini Mas Byan mengambil peran paling besar dalam menorehkan luka di hatiku.
"Ada fotonya?"
"Ada. Sebentar," balasku sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sekilas aku sempat melihat tak ada satu pun balok sinyal di sana.
Aku menyerahkan ponsel yang menampilkan gambar kiriman Anya tadi pagi. Membiarkan Mbah Gendis mengamati foto itu sembari mulutnya berkomat-kamit membaca mantra.
Suasana begitu suram ketika tak ada sedikitpun obrolan. Terdengar suara mendesis dari ular-ular yang masih setia melingkar di tiang. Belum lagi suara anjing yang menggonggong di luar sana menambah keseraman yang ada.
Mbah Gendis mengambil dupa dari bawah meja di depan kami, kemudian membakar kemenyan. Anehnya, bau harus yang ditimbulkan hanya sebentar. Berganti dengan aroma anyir yang mirip seperti di jalanan tadi.
Lagi-lagi aku merasakan mual yang tak tertahan. Mbak Iren yang mungkin menyadari gelagatku langsung membantu menuntunku keluar setelah membungkuk pada Mbah Gendis.
Sesaat setelah kakiku memijak tanah, aku langsung membungkuk dan memuntahkan isi perut yang hanya berupa cairan kuning pahit.
"Kalau aku tahu kau sedang hamil, aku tak akan membawamu ke sini," ucap Mbak Iren memecah keheningan.
"Memangnya kenapa?" tanyaku penuh rasa penasaran.
"Sebelumnya maafkan aku. Aku terlibat perjanjian menjadi anak buah Mbah Gendis untuk menyesatkan orang-orang. Membuat kalian lupa pada Tuhan dan menjebak kalian untuk menjadi pengabdi siluman. Sejak dulu, Mbah Gendis memiliki ritual memakan janin yang belum bernyawa untuk menambah kekuatannya. Beberapa diantara mereka yang datang ke sini harus mencarikan janin itu untuknya. Tapi setahuku memang tak pernah ada wanita hamil muda yang datang padanya. Jika pun ada dan jujur padaku sejak awal, maka aku akan menolak membawa mereka ke sini." Mbak Iren menjawab dengan sangat serius.
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" aku benar-benar bingung dan merasa terjebak dalam situasi ini.
"Entahlah. Tanyakan saja sama Mbah Gendis."
Mbak Iren menuntuntu untuk kembali menemui Mbah Gendis. Menurutku, bukan hanya Mbah Gendis saja yang penuh misteri, tetapi Mbah Iren pun sama. Kadang ucapannya seperti dia menunjukkan kebaikan, kadang malah sebaliknya.
Kemenyan yang tadi dinyalakan oleh Mbah Gendis sudah habis tak bersisa. Bahkan bau anyirnya pun turut menghilang. Pun dengan ular-ular tadi.
"Dalam penerawanganku, wanita itu juga menggunakan kekuatan gaib untuk merebut suamimu. Semacam ajian semar mesem yang membuat suamimu tergila-gila padanya. Lantas, apa kamu tetap memasrahkan urusan wanita itu padaku?" Mbah Gendis menyambutku dan Mbak Iren yang baru terduduk di kursi dengan pertanyaan yang cukup mengejutkan. Aku tak menyangka wanita itu memakai jalan pintas.
"Aku ingin wanita itu lebih menderita daripada Mas Byan. Bahkan sampai ajal menjemput," ucapku berapi-api. Tentu saja kemarahanku pada wanita itu semakin menggebu-gebu.
"Kita tak boleh gegabah. Aku harus menelisik lebih dalam siapa dukun yang membantu selingkuhan suamimu itu. Dalam dunia perdukunan perang batin adalah hal yang lumrah. Tapi dalam hal ini, aku membutuhkan janinmu. Jika kau tak mengizinkanku memakannya, maka kau harus merelakan kekuatanku tersalurkan padanya. Ketika lahir nanti, dia akan menjadi pengikutku yang sakti dan setia."
Mendengar penuturan itu, seketika napasku terkecat. Buah simalakama sedang ada di depanku sekarang.
Bersambung
Malam ini Mas Byan pulang larut dengan wajah lelahnya. Sebagai istri yang baik, aku sudah mengisi bathtub dengan air hangat. Setelahnya, aku bergidik dengan pemikiranku sendiri. Tunggu saja, Mas, istri yang baik ini akan mengantarkanmu pada gerbang penderitaan yang tak berkesudahan.Tentu saja aku memiliki maksud terselubung dalam aksiku menyiapkan air itu. Sebungkus tanah kuburan yang diberikan Mbah Gendis sudah kutaburkan di dalamnya dan kuaduk dengan sempurna. Meski tanah, tapi teksturnya yang sudah kering membuat benda itu semakin halus seperti layaknya tepung. Konon katanya, efek dari tanah khusus yang sudah diisi ajian itu berfungsi untuk membolak-balikkan pikiran orang yang dikenainya. Menarik sekali, kan?"Mas, aku ingin berhenti menjalani program kehamilan," tuturku serius setelah Mas Byan selesai mandi dan duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya."Kenapa berhenti?" tanyanya penuh selidik. Selama ini, Mas Byan memang memaksaku untuk menjalani program kehamilan denga
Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan khusus untuk Mas Byan. Kemampuan masakku memang tergolong standar, tapi bukan berarti bisa dipandang sebelah mata karena aku tergolong orang yang tak pernah salah dalam meracik dan mencampur bumbu dalam masakan. Tak ada ajian apapun dalam sarapan yang kini sudah tersedia di atas meja itu. Semua murni aku lakukan untuk Mas Byan.Aku tak pernah lupa fakta bahwa Mas Byan begitu menyukai nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit tambahan bumbu instan yang berfungsi untuk meningkat cita rasa. Meski sering aku memasakkan menu yang sama berulang kali, dia tak pernah menolak. Dengan catatan sebelum Mas Byan berselingkuh dengan wanita itu karena sekarang Mas Byan jadi sering mengabaikanku bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang aku siapkan. Miris sekali bukan? Tetapi pagi ini, setelah turun dari lantai dua lengkap dengan pakaian kantoran dan tasnya, Mas Byan menghampiriku. Sesuatu yang tergolong jarang terjadi akhir-akhir ini
Kali ini aku menuju kediaman Mbah Gendis tanpa ditemani oleh siapapun. Untung saja, tadi pagi sebelum Mas Byan sempat bertanya banyak hal terkait perutku yang disebutnya kembung, ponselnya berbunyi. Entah dari gundiknya atau dari orang lain, yang jelas aku tetap bersyukur dan berterima kasih pada orang itu karena bisa membuat Mas Byan bergegas untuk berangkat sebelum sempat melakukan atau mempertanyakan banyak hal. Beginilah ketika harus menyembunyikan sesuatu. Pembawaannya selalu sulit untuk tenang. Untung saja tadi tidak jadi ketahuan.Ketika melewati hutan siluman aroma yang mengguar masih seperti kemarin. Amis dan anyir menjadi satu. Mual yang kurasakan pagi tadi kembali terasa sekarang. Perutku berrgejolak dengan cairan lambung yang sepertinya sudah tak sabar ingin keluar melewati kerongkongan. Karena hal itu, aku memutuskan untuk menghentikan mobil dan mengambil kantung plastik yang sudah tersedia di dalam tas.Aku memuntahkan banyak sekali cairan dari dalam perut. Sampai tenggo
Hari ini aku pergi ke rumah sakit dan mendaftar untuk memeriksakan kandungan. Sesuai yang dikatakan Mbah Gendis bahwa anak ini masih menjadi milikku sampai satu bulan lewat sepuluh hari umurnya setelah lahir ke dunia nanti, maka aku akan memperlakukan kehamilanku seperti kehamilan normal pada umumnya. Meski tanpa bersama dengan Mas Byan."Ibu Salma Nafisa," panggil perawat yang bertugas dari pintu ruangan.Aku masuk dengan sedikit gugup. Bagaimana pun ini adalah kali pertama aku memeriksakan diri semenjak hamil. Sendirian pula."Silakan, Ibu." Suster tadi mengarahkanku untuk duduk di depan dokter yang bertugas saat ini."Ibu Salma Nafisa, umur dua puluh lima tahun, kehamilan pertama?" tanya dokter itu."Iya, benar," jawabku singkat."Saya dokter Fauziah yang akan memeriksa ibu. Mari, Bu," ajaknya sembari berdiri.Aku mengikut saja meski sedikit heran kenapa dokter itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. Ah, mungkin sudah membaca catatan dari resepsionis yang banyak bertanya padaku tadi
"Jadi kapan kira-kira Mas mau menikahi Karin?" tanyaku pada Mas Byan setelah dia mandi dan berganti baju . Hari ini suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya. Jadilah kami bisa bersantai di balkon kamar sembari menikmati senja bersama meski dengan rasa yang berbeda."Kamu benar-benar tak mempermasalahkan itu?" dia malah balik bertanya penuh selidik.Aku mengalihkan pandangan ke depan, pada langit yang sudah diselimuti mega. "Aku tak punya pilihan lain, Mas," lirihku.Sesak sebenarnya saat mengatakan itu. Namun aku tak ingin menampakkan kesedihan di depan Mas Byan. Tak sudi rasanya. Tak butuh juga ditenangkan olehnya yang hanya kepalsuan belaka."Menikahlah dengannya. Aku siap untuk mundur.""Maksudmu?" Mas Byan tampak sedikit terkejut. Pasti dia paham dengan arah pembicaraanku."Seribu banding satu wanita di dunia ini yang mau diduakan, Mas. Termasuk aku. Mas mencintai wanita itu, 'kan? Aku pernah mendengar jika kita mencintai orang lain saat masih memiliki pasangan, maka lepaskan
Demi melancarkan aksi untuk memindahkan lintah siluman dari dalam tubuhku, aku memasukkan sedikit obat pada minuman Mas Byan. Aku memang sengaja menyiapkan makan malam yang lezat untuknya."Aku sudah memasak spesial untuk kamu, Mas. Makanlah denganku malam ini. Aku yakin besok-besok kita tak akan bisa melakukannya berdua lagi," ucapku pada Mas Byan ketika dia baru pulang. Jujur, ada perasaan sedih yang menyeruak saat mengucapkan kalimat itu, tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan begitu apik."Baiklah, aku mandi dulu," sahutnya menyetujui.Aku menunggu di meja makan. Memandang takjub hidangan yang berhasil aku siapkan dengan tangan sendiri. Ada steak daging sapi, tumis jamur, dan minuman soda. Tak lupa juga nasi khas orang Indonesia.Mas Byan turun dan langsung bergabung denganku di meja makan. Aku mengansurkan air putih yang sudah tercampur dengan obat tadi ke depannya. Agar dia tidak curiga, aku juga mengansurkan nasi."Selamat makan," ucapku dengan tersenyum.Dulu Mas Byan akan
Hampir semua kerabat dekat Mas Byan sudah berdatangan, bahkan yang dari luar kota. Berikut ibu mertua dan para iparku yang mulai memadati rumah. Semuanya turut memeriahkan dan menjadi saksi pernikahan kedua Mas Byan. Tampaknya mereka sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Aku berdecak kesal. Sungguh, keluarga yang tak punya hati. Demi apapun, diantara mereka juga banyak yang wanita. Apa para wanita itu sanggup jika harus berada di posisiku saat ini? Ah, entahlah. Jika hati sudah mati, maka tak ada sedikit pun sisa rasa peduli.Hari ini penampilanku begitu berbeda. Aku mengenakan dress panjang dengan belahan sampai lutut dan riasan tipis. Cukup cantik dan tak mungkin kalah dengan wanita yang menjadi gundik Mas Byan itu. Benar kata orang, kebanyakan pelakor tak lebih baik dari istri sah. Hanya saja suami yang tukang selingkuh sudah dibutakan mata kepala dan hatinya.Desas-desus yang kudengar, mereka yang hadir banyak menggunjingku karena belum juga bisa menghasilkan anak. Kata mereka
Akad nikah Mas Byan dan Karin berjalan dengan lancar. Syukurlah tadi aku benar-benar bisa membujuk Aira agar tidak membatalkan pernikahan itu dengan alasan keduanya sudah terlanjur saling mencintai. Jadi kalaupun pernikahan itu dibatalkan, tetap masih ada kemungkinan Mas Byan dan Karin kembali menjalin cinta di belakangku dan itu jauh lebih menyakitkan.Para tamu undangan bergantian menyalami keduanya untuk mengucapkan selamat. Ada juga yang pamitan denganku. Sebagian di antara mereka menatapku dengan iba, entah iba yang mereka tampilkan di wajah itu jujur atau kemunafikan semata. Sebagiannya lagi tetap saja menggunjing dan mengeluarkan kalimat yang melukai perasaan. Berbisik tapi dengan suara yang sedikit keras mengatakan aku mandul atau bahkan tidak bisa memuaskan Mas Byan dari segi keseharian dan ranjang. Sungguh ironis sekali, padahal mereka yang julid itu semuanya berasal dari jenis wanita. Para tamu yang laki-laki cenderung diam saja tanpa ekspresi yang sirat kentara."Lihat Sal