Aku pulang ke toko dengan langkah gontai. Masih terngiang dengan jelas di telinga perkataan Kyai Ahmad terkait resiko dari kerjasamaku dengan Mbah Gendis. Kyai Ahmad mengatakan, bisa saja aku lepas dari Mbah Gendis, namun aku harus mengalami apa yang dialami oleh orang yang menjadi korbanku. Dalam hal ini Karin.Ya, itu yang membuatku gundah sekarang. Aku menyaksikan sendiri betapa sakitnya Karin itu tidak main-main. Mending dia memiliki Mas Byan yang selalu siap siaga di sampingnya. Sementara aku, hanya sendiri di sini.Aku mengambil mukenah dari dalam lemari setelah sebelumnya mengambil wudu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali membentangkan sajadah. Melakukan ibadah wajib dan bersujud dalam keheningan. Mencoba berkomunikasi dengan Allah lewat rangkaian doa. Tanpa terasa bulir bening mulai mengalir melemati kedua sudut mata. Membasahi pipi. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kali melaksanakan ibadah salat. Entah sudah berapa lama sampai-sampai bacaan demi bacaannya
"Sal, tadi aku lihat suamimu di toko perhiasan tempat kerjaku sama cewek."Pesan singkat yang dikirim oleh Anya, teman kerjaku dulu sebelum menikah dengan Mas Byan cukup mengejutkanku. Tak hanya dereten huruf, pesan itu juga disertai foto-foto yang membuat dadaku terasa amat sangat sesak.Dalam foto itu, Mas Byan tampak menatap wanita di sebelahnya dengan penuh cinta. Sama seperti tatapan yang selalu diberikannya padaku selama ini. Dalam foto lainnya, Mas Byan memegang jemari wanita itu sembari memasangkan sebuah cincin.Sebenarnya sudah sejak lama aku mencurigai Mas Byan. Berawal dari bau parfum lembut yang seharusnya dipakai wanita pada jas suamiku itu, kemudian sikapnya yang enggan meminta haknya untuk menggauliku, dan kebiasaannya yang lebih mementingkan bermain ponsel daripada memerhatikanku. Akhir-akhir ini, Mas Byan juga sering sekali pulang larut dengan alasan lembur. Bahkan sudah dua hari ini dia tidak pulang dengan alasan peninjauan proyek di luar daerah.Aku tertawa keras.
"Zaman sekarang, banyak orang yang memakai jalan seperti kita. Aman dari penyidikan tanpa jejak sedikitpun. Aku juga dulu sepertimu, ragu-ragu. Tapi aku sadar tak ada jalan lain. Aku hanya wanita miskin yang diselingkuhi oleh suamiku sendiri. Berkat jalan ini, suamiku mendapatkan balasan setimpal. Seluruh miliknya menjadi milikku dan anak-anak."Aku mengangguk setuju dengan pendapat Mbak Iren. Sama sepertinya, aku pun merasa tak ada jalan lain yang bisa kutempuh untuk memberi pelajaran pada Mas Byan dan gundiknya.Sembari terus meyakinkan diri, aku tetap mengemudikan mobilku untuk lanjut ke depan. Sudah kepalang basah sampai di sini. Mas Byan juga tak akan pulang malam ini. Itu yang dia katakan. Aku memang sengaja memastikan dulu sebelum berangkat menemui Mbak Iren tadi. Untungnya, satpam rumah juga mudah saja kubohongi. Meski hanya ibu rumah tangga yang disambi dengan berjualan online, aku memang sering keluar untuk menemui pembeli yang meminta barang dengan sistem bayar di tempat."
Malam ini Mas Byan pulang larut dengan wajah lelahnya. Sebagai istri yang baik, aku sudah mengisi bathtub dengan air hangat. Setelahnya, aku bergidik dengan pemikiranku sendiri. Tunggu saja, Mas, istri yang baik ini akan mengantarkanmu pada gerbang penderitaan yang tak berkesudahan.Tentu saja aku memiliki maksud terselubung dalam aksiku menyiapkan air itu. Sebungkus tanah kuburan yang diberikan Mbah Gendis sudah kutaburkan di dalamnya dan kuaduk dengan sempurna. Meski tanah, tapi teksturnya yang sudah kering membuat benda itu semakin halus seperti layaknya tepung. Konon katanya, efek dari tanah khusus yang sudah diisi ajian itu berfungsi untuk membolak-balikkan pikiran orang yang dikenainya. Menarik sekali, kan?"Mas, aku ingin berhenti menjalani program kehamilan," tuturku serius setelah Mas Byan selesai mandi dan duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya."Kenapa berhenti?" tanyanya penuh selidik. Selama ini, Mas Byan memang memaksaku untuk menjalani program kehamilan denga
Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan khusus untuk Mas Byan. Kemampuan masakku memang tergolong standar, tapi bukan berarti bisa dipandang sebelah mata karena aku tergolong orang yang tak pernah salah dalam meracik dan mencampur bumbu dalam masakan. Tak ada ajian apapun dalam sarapan yang kini sudah tersedia di atas meja itu. Semua murni aku lakukan untuk Mas Byan.Aku tak pernah lupa fakta bahwa Mas Byan begitu menyukai nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit tambahan bumbu instan yang berfungsi untuk meningkat cita rasa. Meski sering aku memasakkan menu yang sama berulang kali, dia tak pernah menolak. Dengan catatan sebelum Mas Byan berselingkuh dengan wanita itu karena sekarang Mas Byan jadi sering mengabaikanku bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang aku siapkan. Miris sekali bukan? Tetapi pagi ini, setelah turun dari lantai dua lengkap dengan pakaian kantoran dan tasnya, Mas Byan menghampiriku. Sesuatu yang tergolong jarang terjadi akhir-akhir ini
Kali ini aku menuju kediaman Mbah Gendis tanpa ditemani oleh siapapun. Untung saja, tadi pagi sebelum Mas Byan sempat bertanya banyak hal terkait perutku yang disebutnya kembung, ponselnya berbunyi. Entah dari gundiknya atau dari orang lain, yang jelas aku tetap bersyukur dan berterima kasih pada orang itu karena bisa membuat Mas Byan bergegas untuk berangkat sebelum sempat melakukan atau mempertanyakan banyak hal. Beginilah ketika harus menyembunyikan sesuatu. Pembawaannya selalu sulit untuk tenang. Untung saja tadi tidak jadi ketahuan.Ketika melewati hutan siluman aroma yang mengguar masih seperti kemarin. Amis dan anyir menjadi satu. Mual yang kurasakan pagi tadi kembali terasa sekarang. Perutku berrgejolak dengan cairan lambung yang sepertinya sudah tak sabar ingin keluar melewati kerongkongan. Karena hal itu, aku memutuskan untuk menghentikan mobil dan mengambil kantung plastik yang sudah tersedia di dalam tas.Aku memuntahkan banyak sekali cairan dari dalam perut. Sampai tenggo
Hari ini aku pergi ke rumah sakit dan mendaftar untuk memeriksakan kandungan. Sesuai yang dikatakan Mbah Gendis bahwa anak ini masih menjadi milikku sampai satu bulan lewat sepuluh hari umurnya setelah lahir ke dunia nanti, maka aku akan memperlakukan kehamilanku seperti kehamilan normal pada umumnya. Meski tanpa bersama dengan Mas Byan."Ibu Salma Nafisa," panggil perawat yang bertugas dari pintu ruangan.Aku masuk dengan sedikit gugup. Bagaimana pun ini adalah kali pertama aku memeriksakan diri semenjak hamil. Sendirian pula."Silakan, Ibu." Suster tadi mengarahkanku untuk duduk di depan dokter yang bertugas saat ini."Ibu Salma Nafisa, umur dua puluh lima tahun, kehamilan pertama?" tanya dokter itu."Iya, benar," jawabku singkat."Saya dokter Fauziah yang akan memeriksa ibu. Mari, Bu," ajaknya sembari berdiri.Aku mengikut saja meski sedikit heran kenapa dokter itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. Ah, mungkin sudah membaca catatan dari resepsionis yang banyak bertanya padaku tadi
"Jadi kapan kira-kira Mas mau menikahi Karin?" tanyaku pada Mas Byan setelah dia mandi dan berganti baju . Hari ini suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya. Jadilah kami bisa bersantai di balkon kamar sembari menikmati senja bersama meski dengan rasa yang berbeda."Kamu benar-benar tak mempermasalahkan itu?" dia malah balik bertanya penuh selidik.Aku mengalihkan pandangan ke depan, pada langit yang sudah diselimuti mega. "Aku tak punya pilihan lain, Mas," lirihku.Sesak sebenarnya saat mengatakan itu. Namun aku tak ingin menampakkan kesedihan di depan Mas Byan. Tak sudi rasanya. Tak butuh juga ditenangkan olehnya yang hanya kepalsuan belaka."Menikahlah dengannya. Aku siap untuk mundur.""Maksudmu?" Mas Byan tampak sedikit terkejut. Pasti dia paham dengan arah pembicaraanku."Seribu banding satu wanita di dunia ini yang mau diduakan, Mas. Termasuk aku. Mas mencintai wanita itu, 'kan? Aku pernah mendengar jika kita mencintai orang lain saat masih memiliki pasangan, maka lepaskan