Share

Teluh Untuk Membalas Perselingkuhan Suamiku
Teluh Untuk Membalas Perselingkuhan Suamiku
Penulis: Lina Arifa

1. Nekad Menemui Dukun Saat Hamil

"Sal, tadi aku lihat suamimu di toko perhiasan tempat kerjaku sama cewek."

Pesan singkat yang dikirim oleh Anya, teman kerjaku dulu sebelum menikah dengan Mas Byan cukup mengejutkanku. Tak hanya dereten huruf, pesan itu juga disertai foto-foto yang membuat dadaku terasa amat sangat sesak.

Dalam foto itu, Mas Byan tampak menatap wanita di sebelahnya dengan penuh cinta. Sama seperti tatapan yang selalu diberikannya padaku selama ini. Dalam foto lainnya, Mas Byan memegang jemari wanita itu sembari memasangkan sebuah cincin.

Sebenarnya sudah sejak lama aku mencurigai Mas Byan. Berawal dari bau parfum lembut yang seharusnya dipakai wanita pada jas suamiku itu, kemudian sikapnya yang enggan meminta haknya untuk menggauliku, dan kebiasaannya yang lebih mementingkan bermain ponsel daripada memerhatikanku. Akhir-akhir ini, Mas Byan juga sering sekali pulang larut dengan alasan lembur. Bahkan sudah dua hari ini dia tidak pulang dengan alasan peninjauan proyek di luar daerah.

Aku tertawa keras. Menertawakan diri sendiri sampai tawa itu berubah menjadi air mata. Ini kali kedua Mas Byan bermain api di belakangku. Pertama, saat usia pernikahan kami menginjak satu tahun. Saat itu alasannya karena dipaksa oleh ibunya dengan alasan klise. Demi mendapatkan keturunan. Setahuku Mas Byan hanya bertemu sekali dengan wanita itu di rumah ibunya. Aku tahu itu karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ibu keceplosan seminggu setelah kejadian itu. Tepatnya saat aku bertandang ke sana.

"Maafkan Mas, Salma. Mas mau menemuinya karena desakan ibu. Mas hilaf. Tolong beri Mas kesempatan sekali lagi. Mas janji akan menjadikanmu wanita satu-satunya meski kamu tak bisa memberikan anak sekalipun," janjinya saat itu.

Ternyata janji hanya tinggal janji. Di pernikahan kami yang sudah berjalan lebih dari dua tahun ini, Mas Byan kembali berkhianat. Kali ini dengan pengkhianat yang lebih besar. Padahal, saat ini aku sedang mengandung darah daging Mas Byan dan dia belum sempat mengetahuinya.

Aku mengusap air mata dengan kasar. Air mataku terlalu berharga untuk laki-laki tukang selingkuh seperti Mas Byan. Sekarang aku harus fokus mencari cara untuk menghancurkannya secara perlahan dan menyakitkan.

Aku sadar bukan wanita yang berpengaruh. Kehidupanku hampir seluruhnya ditopang oleh Mas Byan. Keseharianku hanya mengurus rumah dan menyambi berbisnis online dengan pendapatan yang tak seberapa.

Dengan kondisiku yang seperti ini, cara apa yang bisa kulakukan?

Aku buru-buru mengambil ponsel yang kubiarkan tergeletak begitu saja di sampingku. Aku baru ingat, pernah bergabung dengan grup kumpulan istri korban perselingkuhan di salah satu aplikasi.

Aku melihat isi dalam grup itu dan mendapati banyak sekali respon mereka yang diselingkuhi. Mulai dari aksi bar-bar hingga main cantik lewat jalan gaib.

Kedua mataku berbinar. Sepertinya aku sudah menemukan cara yang terbaik. Segera aku mengirim inbox pada seseorang yang memberikan rekomendasi mensiasati suami yang selingkuh dengan cara yang tak biasa, yaitu dengan ajian khusus.

"Mbak, maaf sebelumnya. Apa boleh saya meminta alamat praktek Mbah Gendis?" 

Tak lama ada balasan yang masuk.

"Dengan senang hati. Saya juga bersedia mengantar. Kalau mbaknya serius, saya tunggu di cafe Cemara jam lima sore."

----

Katakanlah aku nekad. Nyatanya memang seperti itu. Buktinya sekarang, aku benar-benar nekat mengemudikan mobilku mengikuti petunjuk Mbak Iren yang duduk di kursi sebelah kemudi. Ya, Mbak Iren adalah orang yang aku inbox tadi pagi karena ketertarikanku memakai cara yang direkomendasikannya.

"Apa masih jauh?" tanyaku memecah keheningan.

"Sebentar lagi," jawab Mbak Iren tanpa memandang ke arahku.

Kurang lebih lima belas menit sudah mobilku melewati jalanan berbatu. Memasuki perkampungan yang di sebelah kanan-kiri jalannya ditumbuhi pohon karet yang berbaris rapi. Bulu kudukku merinding. Meski dulunya aku berasal dari kampung yang jauh dari keramaian, tetapi seingatku tak sesepi kampung ini.

"Jika paranormal yang lewat sini, pasti akan melihat jika di depan sana ada pesta." Mbak Iren tiba-tiba berucap.

"Maksudnya?" aku bertanya heran. Pasalnya, di depan kami saat ini tidak ada apa-apa. Masih jalanan seperti sebelumnya. Bahkan tak ada tanda-tanda manusia lain di sini selain kami.

"Tundukkan kepalamu."

Bagaimana mungkin aku menuruti kata-kata Mbak Iren, sementara posisiku saat ini sedang menyetir.

"Cepat!" serunya, "jalanan di depan kita masih lurus. Tak perlu takut celaka. Justru kita akan celaka kalau tak mau menundukkan kepala. Percayalah padaku."

Aku memilih untuk menurut. Takut juga mendengar kata-katanya. Belum lagi Mbak Iren tiba-tiba menautkan jemarinya pada jemari tanganku yang semula memegang kemudi. Saat itu juga, aku mendengar suara musik tradisional yang mengalun merdu.

"Tetaplah menunduk. Kamu bisa mendengarnya karena sedang memegang tanganku."

Tentu saja bulu kudukku semakin meremang. Bagaimana tidak, mobilku ini harusnya kedap suara. Kaca dan sela-sela pintunya didesain begitu rapat saat tertutup. Tapi suara musik di luar terdengar begitu jelas. Pun tembangnya yang terdengar mendayu. Belum lagi bau amis dan anyir yang tiba-tiba tercium. Semakin lama baunya semakin menjadi.

Aku merasakan perutku bergejolak karena bau-bauan itu. Mualnya mengalahkan morning sicknes yang sering aku alami pada pagi hari.

Hoek.

Mulutku mengeluarkan cairan muntahan begitu saja. Tanpa aba-aba dan tanpa persiapan sebelumnya. Perutku semakin mual dan sakit. Aku yakin, bahkan jika dalam kondisi normal pun, aku tak akan tahan dengan bau ini. Apalagi sedang hamil seperti sekarang.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Mbak Iren. Dari nadanya, kentara dia sedang cemas.

"Aku tidak kuat sama baunya, Mbak," keluhku jujur sembari membersihkan mulut dari bekas muntahan dengan tissue yang kuambil dari dasboard. Sementara yang sudah terlanjur mengotori bagian bawah aku biarkan saja dulu.

"Sekarang sudah hilang. Di sana tadi mereka sedang berpesta. Mereka memang melakukannya setiap selapan. Bau amis yang kita rasakan tadi adalah hidangan mereka dari tumbal-tumbal atau sesajen yang didapatkan oleh Mbah Gendis."

Aku tidak terlalu terkejut mendengarnya karena keberanianku datang ke tempat ini memang sudah menjadi pilihan dengan beberapa macam pertimbangan sebelumnya. Aku juga sudah tahu jika dalam dunia perdukunan, tumbal dan sesajen itu adalah hal yang biasa terjadi.

"Kalau untuk tumbal tergantung orang dan kasusnya. Tak perlu dirisaukan. Satu hal yang harus kamu ketahui, siapapun yang sudah masuk ke hutan siluman ini dia tak akan bisa keluar sebelum membuat perjanjian dengan Mbah Gendis dan menuruti perintahnya. Bahkan akan ketergantungan dengan perjanjian itu seumur hidup." Mbak Iren terkekeh di akhir kalimatnya. Terdengar licik dan berbeda dari sebelumnya.

Tubuhku bergetar seketika. Demi apapun, saat ini aku tidak sendiri. Jikapun aku sanggup menerima semua ini, bagaimana dengan calon anakku yang umurnya bahkan baru dua bulan di dalam kandungan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status