Share

3. Aku Ingin Berhenti

Malam ini Mas Byan pulang larut dengan wajah lelahnya. Sebagai istri yang baik, aku sudah mengisi bathtub dengan air hangat. Setelahnya, aku bergidik dengan pemikiranku sendiri. Tunggu saja, Mas, istri yang baik ini akan mengantarkanmu pada gerbang penderitaan yang tak berkesudahan.

Tentu saja aku memiliki maksud terselubung dalam aksiku menyiapkan air itu. Sebungkus tanah kuburan yang diberikan Mbah Gendis sudah kutaburkan di dalamnya dan kuaduk dengan sempurna. Meski tanah, tapi teksturnya yang sudah kering membuat benda itu semakin halus seperti layaknya tepung. Konon katanya, efek dari tanah khusus yang sudah diisi ajian itu berfungsi untuk membolak-balikkan pikiran orang yang dikenainya. Menarik sekali, kan?

"Mas, aku ingin berhenti menjalani program kehamilan," tuturku serius setelah Mas Byan selesai mandi dan duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya.

"Kenapa berhenti?" tanyanya penuh selidik. Selama ini, Mas Byan memang memaksaku untuk menjalani program kehamilan dengan berbagai cara. Mulai dari cara medis sampai cara tradisional. Karena program itu, aku sudah banyak berkorban mulai dari rasa tak nyaman di tubuh hingga kesakitan setiap pijat atau setelah suntik hormon.

"Aku sudah lelah. Aku pasrah, Mas," lirihku menunduk dalam-dalam.

Beberapa hari setelah kunjungan ke praktek Mbah Gendis, aku memang selalu berpura-pura menjadi istri yang baik seperti sarannya. Pagi-pagi aku sudah menyiapkan sarapan, malamnya menyiapkan makan malam dan air hangat meski kadang makanan itu tak disentuhnya sama sekali. Mungkin karena dia sudah makan malam mesra dengan selingkuhannya di luar sana. Aku juga selalu berucap lembut ketika di depannya.

"Memang seharusnya, aku bisa memberikan keturunan untukmu. Tapi pada kenyatannya aku memang bukan istri yang sempurna. Mungkin benar perkataan ibu bahwa aku ini perempuan yang mandul. Maafkan aku, Mas," ucapku penuh penekanan.

Kali ini aku memang serius. Meski aku sudah berhasil hamil tanpa diketahuinya, tapi keputusan untuk bersekutu dengan siluman secara otomatis menjadikanku sebagai wanita yang tidak sempurna dan berbeda dengan wanita normal pada umumnya.

"Sudahlah, tak usah dibahas lagi. Aku mau istirahat. Aku sangat lelah seharian bekerja sejak pagi sampai sore," responnya dengan cuek.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Mas Byan meletakkan ponselnya di samping bantal begitu saja. Jika biasa aku menegurnya dan mengingat akan bahaya radiasi, kali aku membiarkannya saja. Ada hal yang lebih penting dari ini.

"Aku izinkan Mas menikah lagi. Dengan begitu, Mas bisa mendapatkan keturunan seperti yang Mas inginkan selama ini," ucapku lagi.

Aku melihat dengan pasti kedua mata Mas Byan yang semula sudah hampir tertutup kini kembali terbuka. Mungkin dia terkejut mendengar ucapanku.

"Ibu memang tak pernah bosan menyuruhku untuk melakukannya. Tapi apa kamu benar-benar rela, Sayang?" tanyanya penuh selidik.

Dulu aku sangat suka dengan panggilan manis yang keluar dari mulut Mas Byan. Apalagi jika disertai kata-kata yang begitu menyentuh perasaan. Mas Byan yang selalu menenangkanku saat berkali-kali program hamil yang kujalani mengalami kegagalan. Mas Byan juga selalu membelaku ketika ibu memojokkan dan menyebutku wanita mandul.

Tapi itu dulu. Ya, sekali lagi kutegaskan itu dulu, tepatnya sebelum untuk kedua kalinya aku mendapati Mas Byan berhubungan dengan wanita lain di luar sana. Sekarang, aku bahkan geli mendengar panggilan sayang yang keluar dari mulutnya.

"Aku ikhlas dimadu, Mas. Mulai sekarang kamu bisa mencari wanita yang tepat untuk menjadi istri keduamu," jawabku setelah beberapa saat merenung.

"Aku sudah menemukannya." Mas Byan berucap dengan pandangan menerawang. Seakan sedang membayangkan sesuatu yang jauh di sana. Biar kutebak, laki-laki yang berstatus sebagai suamiku itu mungkin sedang membayangkan selingkuhannya.

"Apa?" tanyaku dengan intonasi menyelidik serta tatapan yang mengintimidasi.

"Em, bu-bukan. Lupakan aja," jawabnya kelimpungan.

Kena kamu, Mas. Sebenarnya aku ingin membekuknya saat ini juga. Tetapi aku tidak boleh gagabah. Bisa-bisa fatal akibatnya jika terlalu terburu-buru tanpa berpikir sebab akibatnya terlebih dahulu.

"Terima kasih karena telah memenuhi janji itu. Aku yakin Mas memang benar-benar berubah menjadi suami yang hanya setia padaku," ucapku sembari mencari posisi berbaring yang pas, "selamat malam," lanjutku. Aku memilih untuk mengambil posisi terlentang. Membiarkan Mas Byan yang tampaknya sudah kehilangan rasa kantuk akibat ketertekujutannya dengan percakapan kami sebelumnya. Aku memang sengaja membuatnya merasa bersalah karena walau bagaimana pun juga, rasa cinta dalam hatinya masih ada yang tersisa untukku karena jika tidak, sudah bisa dipastikan Mas Byan akan langsung menceraikanku sejak kemarin-kemarin atau menikah lagi secara terang-terangan sesuai dengan saran serta desakan yang diberikan oleh ibunya selama ini.

Dari gerakan yang aku rasakan, Mas Biyan bangkit dan turun dari ranjang. Aku sedikit membuka mata, mengintip apa yang Mas Biyan lakukan. Suamiku itu memilih mendudukkan diri di kursi yang biasa digunakan untuk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Selama ini Mas Biyan memang selalu mengerjakan pekerjaannya di kamar ini meski sebenarnya rumah ini memiliki dua kamar kosong. Alasannya agar bisa terus menemani dan menjagaku ketika aku tertidur. Sungguh, alasan yang terdengar sangat manis dan sempat membuatku terlena selama ini. Picik sekali, bukan?

Sesak sekali mengingat kenangan-kenangan manis itu. Aku mengubah posisi, memunggungi Mas Biyan yang masih duduk sembari melamun. Entah apa yang dipikirkannya. Bisa jadi pengaruh bubuk tanah kuburan tadi sudah mempengaruhi otaknya hingga menimbulkan perasaan yang tidak tenang.

Biarlah. Kali ini memilih untuk enggan peduli. Tak lupa aku menarik selimut sampai sebatas dada. Memejamkan mata yang perlahan meneteskan cairan beningnya. Tak ada satu pun wanita yang benar-benar memberikan izin pada suaminya untuk menikah lagi, terlebih dengan selingkuhannya.

Aku mengelus perutku yang masih rata dengan hati-hati karena takut ketahuan Mas Byan. Sampai kapan pun aku tak menginginkannya untuk mengakui anakku sebagai anaknya juga meskipun secara biologis, Mas Byan tetaplah ayah kandungnya.

"Pulanglah, minggu depan datang lagi ke sini dengan membawa jawaban. Aku tak menginginkan apapun darimu kecuali anak dalam perutmu itu."

Kata-kata Mbah Gendis selalu terngiang dalam pikiranku. Aku tak rela janin yang susah payah aku perjuangkan ini dimakan begitu saja olehnya. Tetapi aku lebih tak rela lagi jika anakku ini nantinya ikut tersesat ke dalam kubangan ilmu hitam dan menjadi pengikut para siluman 

Lalu apa yang harus aku lakukan? Sungguh, aku merasa terjebak dengan keputusanku sendiri yang sebenarnya lebih besar didasari oleh emosi tanpa berpikir jernih. Tapi semuanya sudah kepalang basah. Aku merasa bingung, tentu saja. Tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya karena perjanjian dengan sekutu iblis bukanlah hal yang main-main. Aku tahu, tapi justru aku terjebak sendiri dengan lingkar setan itu tanpa tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status