Malam ini Mas Byan pulang larut dengan wajah lelahnya. Sebagai istri yang baik, aku sudah mengisi bathtub dengan air hangat. Setelahnya, aku bergidik dengan pemikiranku sendiri. Tunggu saja, Mas, istri yang baik ini akan mengantarkanmu pada gerbang penderitaan yang tak berkesudahan.
Tentu saja aku memiliki maksud terselubung dalam aksiku menyiapkan air itu. Sebungkus tanah kuburan yang diberikan Mbah Gendis sudah kutaburkan di dalamnya dan kuaduk dengan sempurna. Meski tanah, tapi teksturnya yang sudah kering membuat benda itu semakin halus seperti layaknya tepung. Konon katanya, efek dari tanah khusus yang sudah diisi ajian itu berfungsi untuk membolak-balikkan pikiran orang yang dikenainya. Menarik sekali, kan?
"Mas, aku ingin berhenti menjalani program kehamilan," tuturku serius setelah Mas Byan selesai mandi dan duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya.
"Kenapa berhenti?" tanyanya penuh selidik. Selama ini, Mas Byan memang memaksaku untuk menjalani program kehamilan dengan berbagai cara. Mulai dari cara medis sampai cara tradisional. Karena program itu, aku sudah banyak berkorban mulai dari rasa tak nyaman di tubuh hingga kesakitan setiap pijat atau setelah suntik hormon.
"Aku sudah lelah. Aku pasrah, Mas," lirihku menunduk dalam-dalam.
Beberapa hari setelah kunjungan ke praktek Mbah Gendis, aku memang selalu berpura-pura menjadi istri yang baik seperti sarannya. Pagi-pagi aku sudah menyiapkan sarapan, malamnya menyiapkan makan malam dan air hangat meski kadang makanan itu tak disentuhnya sama sekali. Mungkin karena dia sudah makan malam mesra dengan selingkuhannya di luar sana. Aku juga selalu berucap lembut ketika di depannya.
"Memang seharusnya, aku bisa memberikan keturunan untukmu. Tapi pada kenyatannya aku memang bukan istri yang sempurna. Mungkin benar perkataan ibu bahwa aku ini perempuan yang mandul. Maafkan aku, Mas," ucapku penuh penekanan.
Kali ini aku memang serius. Meski aku sudah berhasil hamil tanpa diketahuinya, tapi keputusan untuk bersekutu dengan siluman secara otomatis menjadikanku sebagai wanita yang tidak sempurna dan berbeda dengan wanita normal pada umumnya.
"Sudahlah, tak usah dibahas lagi. Aku mau istirahat. Aku sangat lelah seharian bekerja sejak pagi sampai sore," responnya dengan cuek.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Mas Byan meletakkan ponselnya di samping bantal begitu saja. Jika biasa aku menegurnya dan mengingat akan bahaya radiasi, kali aku membiarkannya saja. Ada hal yang lebih penting dari ini.
"Aku izinkan Mas menikah lagi. Dengan begitu, Mas bisa mendapatkan keturunan seperti yang Mas inginkan selama ini," ucapku lagi.
Aku melihat dengan pasti kedua mata Mas Byan yang semula sudah hampir tertutup kini kembali terbuka. Mungkin dia terkejut mendengar ucapanku.
"Ibu memang tak pernah bosan menyuruhku untuk melakukannya. Tapi apa kamu benar-benar rela, Sayang?" tanyanya penuh selidik.
Dulu aku sangat suka dengan panggilan manis yang keluar dari mulut Mas Byan. Apalagi jika disertai kata-kata yang begitu menyentuh perasaan. Mas Byan yang selalu menenangkanku saat berkali-kali program hamil yang kujalani mengalami kegagalan. Mas Byan juga selalu membelaku ketika ibu memojokkan dan menyebutku wanita mandul.
Tapi itu dulu. Ya, sekali lagi kutegaskan itu dulu, tepatnya sebelum untuk kedua kalinya aku mendapati Mas Byan berhubungan dengan wanita lain di luar sana. Sekarang, aku bahkan geli mendengar panggilan sayang yang keluar dari mulutnya.
"Aku ikhlas dimadu, Mas. Mulai sekarang kamu bisa mencari wanita yang tepat untuk menjadi istri keduamu," jawabku setelah beberapa saat merenung.
"Aku sudah menemukannya." Mas Byan berucap dengan pandangan menerawang. Seakan sedang membayangkan sesuatu yang jauh di sana. Biar kutebak, laki-laki yang berstatus sebagai suamiku itu mungkin sedang membayangkan selingkuhannya.
"Apa?" tanyaku dengan intonasi menyelidik serta tatapan yang mengintimidasi.
"Em, bu-bukan. Lupakan aja," jawabnya kelimpungan.
Kena kamu, Mas. Sebenarnya aku ingin membekuknya saat ini juga. Tetapi aku tidak boleh gagabah. Bisa-bisa fatal akibatnya jika terlalu terburu-buru tanpa berpikir sebab akibatnya terlebih dahulu.
"Terima kasih karena telah memenuhi janji itu. Aku yakin Mas memang benar-benar berubah menjadi suami yang hanya setia padaku," ucapku sembari mencari posisi berbaring yang pas, "selamat malam," lanjutku. Aku memilih untuk mengambil posisi terlentang. Membiarkan Mas Byan yang tampaknya sudah kehilangan rasa kantuk akibat ketertekujutannya dengan percakapan kami sebelumnya. Aku memang sengaja membuatnya merasa bersalah karena walau bagaimana pun juga, rasa cinta dalam hatinya masih ada yang tersisa untukku karena jika tidak, sudah bisa dipastikan Mas Byan akan langsung menceraikanku sejak kemarin-kemarin atau menikah lagi secara terang-terangan sesuai dengan saran serta desakan yang diberikan oleh ibunya selama ini.
Dari gerakan yang aku rasakan, Mas Biyan bangkit dan turun dari ranjang. Aku sedikit membuka mata, mengintip apa yang Mas Biyan lakukan. Suamiku itu memilih mendudukkan diri di kursi yang biasa digunakan untuk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Selama ini Mas Biyan memang selalu mengerjakan pekerjaannya di kamar ini meski sebenarnya rumah ini memiliki dua kamar kosong. Alasannya agar bisa terus menemani dan menjagaku ketika aku tertidur. Sungguh, alasan yang terdengar sangat manis dan sempat membuatku terlena selama ini. Picik sekali, bukan?
Sesak sekali mengingat kenangan-kenangan manis itu. Aku mengubah posisi, memunggungi Mas Biyan yang masih duduk sembari melamun. Entah apa yang dipikirkannya. Bisa jadi pengaruh bubuk tanah kuburan tadi sudah mempengaruhi otaknya hingga menimbulkan perasaan yang tidak tenang.
Biarlah. Kali ini memilih untuk enggan peduli. Tak lupa aku menarik selimut sampai sebatas dada. Memejamkan mata yang perlahan meneteskan cairan beningnya. Tak ada satu pun wanita yang benar-benar memberikan izin pada suaminya untuk menikah lagi, terlebih dengan selingkuhannya.
Aku mengelus perutku yang masih rata dengan hati-hati karena takut ketahuan Mas Byan. Sampai kapan pun aku tak menginginkannya untuk mengakui anakku sebagai anaknya juga meskipun secara biologis, Mas Byan tetaplah ayah kandungnya.
"Pulanglah, minggu depan datang lagi ke sini dengan membawa jawaban. Aku tak menginginkan apapun darimu kecuali anak dalam perutmu itu."
Kata-kata Mbah Gendis selalu terngiang dalam pikiranku. Aku tak rela janin yang susah payah aku perjuangkan ini dimakan begitu saja olehnya. Tetapi aku lebih tak rela lagi jika anakku ini nantinya ikut tersesat ke dalam kubangan ilmu hitam dan menjadi pengikut para siluman
Lalu apa yang harus aku lakukan? Sungguh, aku merasa terjebak dengan keputusanku sendiri yang sebenarnya lebih besar didasari oleh emosi tanpa berpikir jernih. Tapi semuanya sudah kepalang basah. Aku merasa bingung, tentu saja. Tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya karena perjanjian dengan sekutu iblis bukanlah hal yang main-main. Aku tahu, tapi justru aku terjebak sendiri dengan lingkar setan itu tanpa tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana.
Bersambung
Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan khusus untuk Mas Byan. Kemampuan masakku memang tergolong standar, tapi bukan berarti bisa dipandang sebelah mata karena aku tergolong orang yang tak pernah salah dalam meracik dan mencampur bumbu dalam masakan. Tak ada ajian apapun dalam sarapan yang kini sudah tersedia di atas meja itu. Semua murni aku lakukan untuk Mas Byan.Aku tak pernah lupa fakta bahwa Mas Byan begitu menyukai nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit tambahan bumbu instan yang berfungsi untuk meningkat cita rasa. Meski sering aku memasakkan menu yang sama berulang kali, dia tak pernah menolak. Dengan catatan sebelum Mas Byan berselingkuh dengan wanita itu karena sekarang Mas Byan jadi sering mengabaikanku bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang aku siapkan. Miris sekali bukan? Tetapi pagi ini, setelah turun dari lantai dua lengkap dengan pakaian kantoran dan tasnya, Mas Byan menghampiriku. Sesuatu yang tergolong jarang terjadi akhir-akhir ini
Kali ini aku menuju kediaman Mbah Gendis tanpa ditemani oleh siapapun. Untung saja, tadi pagi sebelum Mas Byan sempat bertanya banyak hal terkait perutku yang disebutnya kembung, ponselnya berbunyi. Entah dari gundiknya atau dari orang lain, yang jelas aku tetap bersyukur dan berterima kasih pada orang itu karena bisa membuat Mas Byan bergegas untuk berangkat sebelum sempat melakukan atau mempertanyakan banyak hal. Beginilah ketika harus menyembunyikan sesuatu. Pembawaannya selalu sulit untuk tenang. Untung saja tadi tidak jadi ketahuan.Ketika melewati hutan siluman aroma yang mengguar masih seperti kemarin. Amis dan anyir menjadi satu. Mual yang kurasakan pagi tadi kembali terasa sekarang. Perutku berrgejolak dengan cairan lambung yang sepertinya sudah tak sabar ingin keluar melewati kerongkongan. Karena hal itu, aku memutuskan untuk menghentikan mobil dan mengambil kantung plastik yang sudah tersedia di dalam tas.Aku memuntahkan banyak sekali cairan dari dalam perut. Sampai tenggo
Hari ini aku pergi ke rumah sakit dan mendaftar untuk memeriksakan kandungan. Sesuai yang dikatakan Mbah Gendis bahwa anak ini masih menjadi milikku sampai satu bulan lewat sepuluh hari umurnya setelah lahir ke dunia nanti, maka aku akan memperlakukan kehamilanku seperti kehamilan normal pada umumnya. Meski tanpa bersama dengan Mas Byan."Ibu Salma Nafisa," panggil perawat yang bertugas dari pintu ruangan.Aku masuk dengan sedikit gugup. Bagaimana pun ini adalah kali pertama aku memeriksakan diri semenjak hamil. Sendirian pula."Silakan, Ibu." Suster tadi mengarahkanku untuk duduk di depan dokter yang bertugas saat ini."Ibu Salma Nafisa, umur dua puluh lima tahun, kehamilan pertama?" tanya dokter itu."Iya, benar," jawabku singkat."Saya dokter Fauziah yang akan memeriksa ibu. Mari, Bu," ajaknya sembari berdiri.Aku mengikut saja meski sedikit heran kenapa dokter itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. Ah, mungkin sudah membaca catatan dari resepsionis yang banyak bertanya padaku tadi
"Jadi kapan kira-kira Mas mau menikahi Karin?" tanyaku pada Mas Byan setelah dia mandi dan berganti baju . Hari ini suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya. Jadilah kami bisa bersantai di balkon kamar sembari menikmati senja bersama meski dengan rasa yang berbeda."Kamu benar-benar tak mempermasalahkan itu?" dia malah balik bertanya penuh selidik.Aku mengalihkan pandangan ke depan, pada langit yang sudah diselimuti mega. "Aku tak punya pilihan lain, Mas," lirihku.Sesak sebenarnya saat mengatakan itu. Namun aku tak ingin menampakkan kesedihan di depan Mas Byan. Tak sudi rasanya. Tak butuh juga ditenangkan olehnya yang hanya kepalsuan belaka."Menikahlah dengannya. Aku siap untuk mundur.""Maksudmu?" Mas Byan tampak sedikit terkejut. Pasti dia paham dengan arah pembicaraanku."Seribu banding satu wanita di dunia ini yang mau diduakan, Mas. Termasuk aku. Mas mencintai wanita itu, 'kan? Aku pernah mendengar jika kita mencintai orang lain saat masih memiliki pasangan, maka lepaskan
Demi melancarkan aksi untuk memindahkan lintah siluman dari dalam tubuhku, aku memasukkan sedikit obat pada minuman Mas Byan. Aku memang sengaja menyiapkan makan malam yang lezat untuknya."Aku sudah memasak spesial untuk kamu, Mas. Makanlah denganku malam ini. Aku yakin besok-besok kita tak akan bisa melakukannya berdua lagi," ucapku pada Mas Byan ketika dia baru pulang. Jujur, ada perasaan sedih yang menyeruak saat mengucapkan kalimat itu, tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan begitu apik."Baiklah, aku mandi dulu," sahutnya menyetujui.Aku menunggu di meja makan. Memandang takjub hidangan yang berhasil aku siapkan dengan tangan sendiri. Ada steak daging sapi, tumis jamur, dan minuman soda. Tak lupa juga nasi khas orang Indonesia.Mas Byan turun dan langsung bergabung denganku di meja makan. Aku mengansurkan air putih yang sudah tercampur dengan obat tadi ke depannya. Agar dia tidak curiga, aku juga mengansurkan nasi."Selamat makan," ucapku dengan tersenyum.Dulu Mas Byan akan
Hampir semua kerabat dekat Mas Byan sudah berdatangan, bahkan yang dari luar kota. Berikut ibu mertua dan para iparku yang mulai memadati rumah. Semuanya turut memeriahkan dan menjadi saksi pernikahan kedua Mas Byan. Tampaknya mereka sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Aku berdecak kesal. Sungguh, keluarga yang tak punya hati. Demi apapun, diantara mereka juga banyak yang wanita. Apa para wanita itu sanggup jika harus berada di posisiku saat ini? Ah, entahlah. Jika hati sudah mati, maka tak ada sedikit pun sisa rasa peduli.Hari ini penampilanku begitu berbeda. Aku mengenakan dress panjang dengan belahan sampai lutut dan riasan tipis. Cukup cantik dan tak mungkin kalah dengan wanita yang menjadi gundik Mas Byan itu. Benar kata orang, kebanyakan pelakor tak lebih baik dari istri sah. Hanya saja suami yang tukang selingkuh sudah dibutakan mata kepala dan hatinya.Desas-desus yang kudengar, mereka yang hadir banyak menggunjingku karena belum juga bisa menghasilkan anak. Kata mereka
Akad nikah Mas Byan dan Karin berjalan dengan lancar. Syukurlah tadi aku benar-benar bisa membujuk Aira agar tidak membatalkan pernikahan itu dengan alasan keduanya sudah terlanjur saling mencintai. Jadi kalaupun pernikahan itu dibatalkan, tetap masih ada kemungkinan Mas Byan dan Karin kembali menjalin cinta di belakangku dan itu jauh lebih menyakitkan.Para tamu undangan bergantian menyalami keduanya untuk mengucapkan selamat. Ada juga yang pamitan denganku. Sebagian di antara mereka menatapku dengan iba, entah iba yang mereka tampilkan di wajah itu jujur atau kemunafikan semata. Sebagiannya lagi tetap saja menggunjing dan mengeluarkan kalimat yang melukai perasaan. Berbisik tapi dengan suara yang sedikit keras mengatakan aku mandul atau bahkan tidak bisa memuaskan Mas Byan dari segi keseharian dan ranjang. Sungguh ironis sekali, padahal mereka yang julid itu semuanya berasal dari jenis wanita. Para tamu yang laki-laki cenderung diam saja tanpa ekspresi yang sirat kentara."Lihat Sal
Perseturuan tadi sudah berakhir dengan ibu yang menjadi penengah. Ibu menyuruh Mas Byan mengantarkan Karin ke rumah sakit untuk membuktikan apakah istri kedua suamiku itu benar-benar sedang hamil atau tidak.Namun mengingat hari sudah malam, jadilah ke rumah sakitnya ditunda besok pagi. Malam ini Mas Byan justru kembali tidur di kamar bersamaku. Itupun karena aku memang mengizinkannya.Aku yakin saat ini Mas Byan sedang merasa jijik dan tertipu dengan Karin. Malam pertama yang seharusnya mereka nikmati dengan memadu kasih sampai menjelang pagi justru berakhir dengan perseteruan hebat. Miris sekali.Meski aku dan Mas Byan tidur di atas ranjang yang sama, nyatanya kami berselimut kebekuan yang tak akan mencair. Aku sengaja meletakkan guling di tengah-tengah kami dan mengambil posisi berbaring di tepian ranjang. Aku tak ingin berdekatan dengan Mas Byan, apalagi disentuh. Aku mengizinkannya tidur di kamar ini bersamaku hanya semata-mata untuk memberi pelajaran pada Karin, si perebut laki