Share

6. Karin

Hari ini aku pergi ke rumah sakit dan mendaftar untuk memeriksakan kandungan. Sesuai yang dikatakan Mbah Gendis bahwa anak ini masih menjadi milikku sampai satu bulan lewat sepuluh hari umurnya setelah lahir ke dunia nanti, maka aku akan memperlakukan kehamilanku seperti kehamilan normal pada umumnya. Meski tanpa bersama dengan Mas Byan.

"Ibu Salma Nafisa," panggil perawat yang bertugas dari pintu ruangan.

Aku masuk dengan sedikit gugup. Bagaimana pun ini adalah kali pertama aku memeriksakan diri semenjak hamil. Sendirian pula.

"Silakan, Ibu." Suster tadi mengarahkanku untuk duduk di depan dokter yang bertugas saat ini.

"Ibu Salma Nafisa, umur dua puluh lima tahun, kehamilan pertama?" tanya dokter itu.

"Iya, benar," jawabku singkat.

"Saya dokter Fauziah yang akan memeriksa ibu. Mari, Bu," ajaknya sembari berdiri.

Aku mengikut saja meski sedikit heran kenapa dokter itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. Ah, mungkin sudah membaca catatan dari resepsionis yang banyak bertanya padaku tadi.

Aku mulai berbaring dan dokter Fauziah juga langsung menanganiku. Membuka baju yang menutupi perut dan mengoleskan jel yang terasa dingin.

"Sebelumnya sudah pernah ke bidan? HPHT hari ini sudah minggu ke delapan ya, Bu?" tanyanya sembari fokus menatap layar.

"I-iya," jawabku kaku. Pasalnya, aku berbohong. Belum pernah kehamilanku ini diperiksa sebelumnya, bahkan oleh bidan sekalipun. Aku tahu hamil pun dari testpack, gejala yang aku rasakan, dan HPHT juga aku hitung sendiri dari hari pertama terakhir haid. Sejak awal menikah, aku memang rajin sekali mencatat tanggal haid.

"Kalau hari pertama haid terakhir sudah delapan minggu, normalnya kehamilan sudah memasuki minggu ke enam. Tapi ini belum nampak kantung kehamilannya." Dokter Fauziah tampak mengeryitkan dahi.

Apa jangan-jangan ini ada hubungannya sama pagar gaib Mbah Gendis?

"Kita belum bisa mendeteksi secara pasti, Bu. Usahakan nanti datang ke sini dua minggu lagi," putus dokter Fauziah final.

Pemeriksaan berakhir begitu saja tanpa hasil yang memuaskan. Dokter Fauziah hanya menyarankan untuk menjaga pola makan, hindari setres, dan beberapa hal lain yang sebenarnya sudah aku ketahui dari internet. Hanya saja, satu saran terbaik yang harus aku ikuti. Rutin mengkonsumsi susu ibu hamil. Aku akan membeli dan meminumnya, tapi harus sembunyi-sembunyi dari Mas Byan.

Selesai urusan di rumah sakit, aku memutuskan untuk mampir ke kantor Mas Byan. Tiba-tiba saja pingin sekali bertemu. Mungkin inilah yang dinamakan dengan ngidam.

Jadilah aku menuju ke sana meski harus menempuh perjalanan yang sedikit jauh karena tidak searah dengan rumah sakit tempatku memeriksakan kandungan tadi.

"Bapak Byan sedang berada di dalam ruangannya, Bu," ucap resepsionis yang kutanyai saat aku baru datang membuatku bergegas memasuki lift yang akan mengantarkanku sampai ke lantai lima. Tempat ruangan para manajer, termasuk ruangan Mas Byan.

Sudah lama aku tidak ke sini. Mungkin terakhir kali sebulan yang lalu. Memang tak ada perubahan sama sekali. Arsitektur kantor perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan ringan ini tetap begini-begini saja bahkan sejak pertama kali aku datang ke tempat ini satu setengah tahun yang lalu.

Aku masuk ke ruangan Mas Byan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Namun yang kudapati hanya ruangan kosong. Ke mana Mas Byan?

Biarlah dulu, sebaiknya aku menunggu saja di dalam. Toh selama ini aku juga sering melakukannya. Apalagi sekarang aku sedang ingin buang air kecil. Jadilah sekalian aku memakai kamar mandinya.

Aku ingat, pertama kalinya Mas Byan mengajakku ke sini, jabatannya masih staf pemasaran. Ruangan kerjanya masih berbagi dengan staf yang lain. Hanya dipisahkan dengan sekat minimalis seperti warnet. Beberapa kali Mas Byan mengeluh. Tekanan kerja yang didapatkannya tak sesuai dengan gaji yang diterima. Sangat berbeda dengan sekarang.

Baru saja selesai menuntaskan aktivitas buang air kecilku, aku mendengar suara senda gurau dari luar. Seperti suara Mas Byan. Ya, memangnya siapa lagi?

Aku memutuskan untuk keluar dan mendapati Mas Byan bersama wanita yang sama persis seperti yang dikirim fotonya oleh Anya tempo hari. Oh, rupanya begini kelakuan mereka?

"Salma? Kok kamu di sini?" Raut wajah Mas Byan tampak terkejut sekali melihat kemunculanku. Wajahnya pucat pasi dan ekspresinya seperti melihat hantu.

"Lagi pingin aja. Mas nggak suka?" tanyaku seakan menantang.

"Bu-bukan begitu. Ta-tapi kenapa tiba-tiba?"

"Biasanya kan juga tiba-tiba, Mas. Kayak baru pertama kalinya aja," jawabku sembari terkekeh geli.

Aku mengalihkan pandangan pada wanita di sebelah Mas Byan. Anehnya, dia tampak biasa saja. Tak ada sedikitpun ekpresi takut di wajahnya. Oke, aku akan mengikuti permainan gundi Mas Byan itu.

"Ini siapa? Rekan kerja kamu, Mas? Kok kalian tampaknya akrab sekali?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"I-ini teman. Ya, teman." Lagi-lagi Mas Byan menjawab dengan gagap. Mas, Mas, kamu tidak berbakat untuk bersandiwara.

"Calon teman hidup ya?" tanyaku mengintimidasi.

"Maksud kamu?" Mas Byan balik bertanya. Bukan menantang, tapi justru yang kulihat sekarang, suamiku itu merasa takut dan tak nyaman.

Aku mengendikkan bahu dan mengalihkan tatapanku sepenuhnya pada wanita itu.

"Kenalkan, saya Salma. Istri pertama Mas Byan," ucapku ringan."

"Karin," balasnya singkat.

"Nama yang bagus. Kamu calon adik maduku, kan? Tak usah khawatir, tugasmu hanya menghasilkan anak," balasku sembari tersenyum semanis mungkin.

Saat itu juga ekspresinya berubah gelagapan. Begitu juga dengan Mas Byan yang wajahnya semakin pucat. Padahal ini baru keterkejutan yang pertama untuk mereka karena aku akan membuat kejutan-kejutan yang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status