Kali ini aku menuju kediaman Mbah Gendis tanpa ditemani oleh siapapun. Untung saja, tadi pagi sebelum Mas Byan sempat bertanya banyak hal terkait perutku yang disebutnya kembung, ponselnya berbunyi. Entah dari gundiknya atau dari orang lain, yang jelas aku tetap bersyukur dan berterima kasih pada orang itu karena bisa membuat Mas Byan bergegas untuk berangkat sebelum sempat melakukan atau mempertanyakan banyak hal. Beginilah ketika harus menyembunyikan sesuatu. Pembawaannya selalu sulit untuk tenang. Untung saja tadi tidak jadi ketahuan.
Ketika melewati hutan siluman aroma yang mengguar masih seperti kemarin. Amis dan anyir menjadi satu. Mual yang kurasakan pagi tadi kembali terasa sekarang. Perutku berrgejolak dengan cairan lambung yang sepertinya sudah tak sabar ingin keluar melewati kerongkongan. Karena hal itu, aku memutuskan untuk menghentikan mobil dan mengambil kantung plastik yang sudah tersedia di dalam tas.
Aku memuntahkan banyak sekali cairan dari dalam perut. Sampai tenggorokanku terasa perih dan mulutku luar biasa pahit. Untuk meminimalisir mual yang terus terasa, aku mengoleskan minyak angin ke tengkuk, leher dan perut.
Saat mengusap perutku yang jika diraba terasa seperti perut yang kembung, air mataku kembali menetes. Memikirkan nasib anakku yang harus diserahkan pada Mbah Gendis. Aku tak punya pilihan lain. Sungguh, anak ini tak memiliki kesalahan apapun. Bahkan kehadirannya di rahimku juga bukanlah hal salah karena aku sendiri yang menginginkan bahkan mengusahakannya.
Tok tok.
Suara ketukan pada jendela mobil mengagetkanku. Aku menoleh, tapi tak mendapati siapapun. Pastilah salah satu makhluk yang menghuni hutan siluman ini. Mata batinku memang belum terbuka meski sudah menyetujui untuk bekerja sama dengan mereka. Kata Mbah Gendis, setelah menjalani beberapa kali ritual barulah aku bisa melihat wujud mereka yang mungkin saja akan sangat menakutkan jika terlihat secara nyata. Tak lama berselang, aku segera membereskan kekacauan akibat aktivitas muntahku. Menata perasaan yang sering mellow tiba-tiba dan kembali menjalankan kendaraan.
Sesampainya di tempat Mbah Gendis, aku langsung mengetuk pintu. Kali ini, Mbah Gendis sendiri yang menyambutku lengkap dengan senyuman khasnya yang terlihat menakutkan dengan giginya yang sudah menghilang sebagian.
"Selamat datang kembali, Wanita Muda," sapanya sumringah. Mengalahkan resepsionis kantor Mas Byan yang senantiasa ramah ketika menyambutku. Mungkin hanya pura-pura demi ingin naik jabatan atau apa, aku tak terlalu peduli dan sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.
Aku hanya tersenyum dan mengikuti Mbah Gendis untuk duduk di kursi tamu. Kali ini tak ada hewan apapun seperti kemarin. Jadi suasana rumah ini terasa normal layaknya rumah-rumah biasa di pedesaan dengan suasana adem yang begitu khas. Meski saat dirasakan dengan mendalam, aura mistisnya tetap terasa dengan begitu kental.
"Peliharaanku memang tak mau menampakkan diri di siang hari. Di siang hari seperti ini mereka memilih untuk tidur dan baru akan keluar saat matahari terbenam," ucap Mbah Gendis seakan bisa membaca pikiranku. Mungkin memang benar-benar bisa mengingat dirinya adalah seorang dukun sakti.
"Aku sudah menelisik, ternyata kemampuan dukun yang membantu selingkuhan suamimu hanya seujung kuku kelingkingku. Dia memakai mantra yang ditiup dalam air. Air itulah yang diminum oleh suamimu," jelasnya kemudian dengan raut yang jauh lebih serius.
Aku manggut-manggut. Bagiku tidak penting juga. Biarlah itu menjadi urusan Mbah Gendis. Toh, sejak awal sebelum adanya mantra yang mengenainya, Mas Byan juga sudah menaruh rasa pada perempuan itu. Bahkan sebelumnya pernah hampir selingkuh juga dengan perempuan yang dipilih ibu. Memang dasarnya tukang selingkuh. Benar kata orang-orang, selingkuh itu adalah suatu penyakit yang bisa kambuh kapan saja jika tidak bisa menjaga diri dengan baik.
"Aku tidak tertarik untuk memiliki Mas Byan sepenuhnya lagi. Aku hanya ingin dia jatuh miskin dan menderita. Sementara untuk perempuan itu, aku ingin dia dicampakkan oleh Mas Byan dan mati secara perlahan," ungkapku berapi-api, "Ah, aku juga ingin memberi pelajaran gaib pada ibu mertuaku," lanjutku mengingat dalam hal ini, wanita yang melahirkan suamiku itu juga ikut terlibat. Sungguh, aku kesal sekali saat mengingat fakta yang satu itu.
"Bukan hal yang sulit. Lalu bagaimana dengan permintaanku?" tanya Mbah Gendis dengan antusias.
"Aku memilih melahirkannya," jawabku yakin.
Aku memang sudah memikirkannya dengan matang. Daripada janinnya yang dipaksa gugur dari kandunganku dan dimakan oleh Mbah Gendis, lebih baik aku menjaganya sampai masa melahirkan tiba sembari mencari cara agar nantinya anak ini tidak diambil oleh dukun itu.
"Boleh saja. Tapi tepati janjimu dan jangan bermain-main denganku," balas Mbah Gendis. Nada bicara dan ekspresinya menyiratkan ancaman yang serius.
"Aku akan selalu mengingatnya," tekanku.
Mbah Gendis tersenyum misterius. Aku bahkan tak bisa menebak arti dari senyuman itu.
"Berarti anak ini tetap milikku sampai dia lahir, kan?" tanyaku memastikan.
"Ya, tapi pastikan dia terjaga dengan baik. Aku memberimu kesempatan selama empat puluh hari untuk menimangnya ketika dia sudah lahir nanti."
Aku mengangguk sepakat.
"Sekarang kita mulai ritualnya. Ikut aku."
Mbah Gendis bangkit dari duduknya, kemudian berjalan semakin masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya ikut saja sembari sesekali menoleh ke kanan-kiri. Arsitektur rumah ini memang unik. Mungkin kalau ada yang mengekspos ke sosial media, rumah ini bisa terkenal dan viral di jagat maya. Namun meski begitu, semakin ke dalam, suasana mistisnya semakin terasa karena meski waktu masih tengah hari, tapi kondisi di sini gelap. Semua jendela ditutup dan tak ada satu pun penerang ruangan yang dihidupkan.
"Berbaringlah di situ," tunjuk Mbah Gendis pada sebuah ranjang tua yang bahkan aku tak yakin apakah itu masih bisa menahan berat badan orang yang berbaring di atasnya atau tidak.
"Tak perlu khawatir. Aku tak akan mencelakaimu dan bayimu," ucapnya saat sadar aku tak kunjung bergerak.
Aku menurut dan mencoba mengenyahkan rasa takut dalam benakku. Bukankah sejak awal keputusanku ini sudah bulat dan aku siap menanggung semua resikonya?
Meski sudah tua dan hanya beralaskan tikar pandan dan bantal lusuh, ternyata berbaring di ranjang ini lumayan terasa nyaman juga.
Mbah Gendis duduk di dekatku, kemudian meletakkan telapak tangan bagian perutku tanpa menyibakkan pakaian yang kukenakan. Aku memperhatikannya yang tampak merapalkan mantra-mantra.
"Ah, sakit!" pekikku saat tiba-tiba perutku terasa seperti ditusuk. Tapi anehnya, sakit yang kurasakan hanya sesaat dan sekarang tak ada rasa sakit sama sekali.
"Aku memagarinya. Jadi tak ada makhluk halus yang bisa mengganggu atau mengusiknya dan mencegah janin ini keguguran."
"Apa itu tak menyakiti anakku?" tanyaku khawatir.
"Tentu tidak. Paling-paling selama tiga hari ke depan kau akan sering sakit perut," jawab Mbah Gendis tanpa beban.
"Apa tidak bisa dihindari? Aku takut Mas Byan curiga. Bahkan saat muntah-muntah karena kehamilanku pun, aku menghindarinya."
"Tenang, nanti aku akan berikan padamu mantra khusus yang bisa kau baca saat perutmu terasa sakit. Dengan begitu, rasa sakitnya akan segera menghilang dan tak menyiksamu. Tapi mantra itu hanya boleh kau baca saat ada sumimu saja. Kalau tidak ada, kau harus menahan sakitnya. Aku juga akan membuatkamu ramuan yang bisa mengatasi rasa mual selama hamil."
"Baik, Mbah."
"Kau tenang saja. Sebelum usia kandunganmu tiga bulan, suamimu itu sudah terdepak dari rumahnya sendiri."
Tawa Mbah Gendis menggelegar. Mirip seperti tawa dukun-dukun yang sering kulihat di televisi.
"Hari ini cukup itu saja. Datanglah tujuh hari lagi. Kau harus berendam di kolam siluman."
Kolam siluman? Apa di sana banyak ular jadi-jadian, lintah, dan katak? Hi, membayangkannya saja aku sudah bergidik. Antara ngeri dan jijik bercampur menjadi satu.
Hari ini aku pergi ke rumah sakit dan mendaftar untuk memeriksakan kandungan. Sesuai yang dikatakan Mbah Gendis bahwa anak ini masih menjadi milikku sampai satu bulan lewat sepuluh hari umurnya setelah lahir ke dunia nanti, maka aku akan memperlakukan kehamilanku seperti kehamilan normal pada umumnya. Meski tanpa bersama dengan Mas Byan."Ibu Salma Nafisa," panggil perawat yang bertugas dari pintu ruangan.Aku masuk dengan sedikit gugup. Bagaimana pun ini adalah kali pertama aku memeriksakan diri semenjak hamil. Sendirian pula."Silakan, Ibu." Suster tadi mengarahkanku untuk duduk di depan dokter yang bertugas saat ini."Ibu Salma Nafisa, umur dua puluh lima tahun, kehamilan pertama?" tanya dokter itu."Iya, benar," jawabku singkat."Saya dokter Fauziah yang akan memeriksa ibu. Mari, Bu," ajaknya sembari berdiri.Aku mengikut saja meski sedikit heran kenapa dokter itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. Ah, mungkin sudah membaca catatan dari resepsionis yang banyak bertanya padaku tadi
"Jadi kapan kira-kira Mas mau menikahi Karin?" tanyaku pada Mas Byan setelah dia mandi dan berganti baju . Hari ini suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya. Jadilah kami bisa bersantai di balkon kamar sembari menikmati senja bersama meski dengan rasa yang berbeda."Kamu benar-benar tak mempermasalahkan itu?" dia malah balik bertanya penuh selidik.Aku mengalihkan pandangan ke depan, pada langit yang sudah diselimuti mega. "Aku tak punya pilihan lain, Mas," lirihku.Sesak sebenarnya saat mengatakan itu. Namun aku tak ingin menampakkan kesedihan di depan Mas Byan. Tak sudi rasanya. Tak butuh juga ditenangkan olehnya yang hanya kepalsuan belaka."Menikahlah dengannya. Aku siap untuk mundur.""Maksudmu?" Mas Byan tampak sedikit terkejut. Pasti dia paham dengan arah pembicaraanku."Seribu banding satu wanita di dunia ini yang mau diduakan, Mas. Termasuk aku. Mas mencintai wanita itu, 'kan? Aku pernah mendengar jika kita mencintai orang lain saat masih memiliki pasangan, maka lepaskan
Demi melancarkan aksi untuk memindahkan lintah siluman dari dalam tubuhku, aku memasukkan sedikit obat pada minuman Mas Byan. Aku memang sengaja menyiapkan makan malam yang lezat untuknya."Aku sudah memasak spesial untuk kamu, Mas. Makanlah denganku malam ini. Aku yakin besok-besok kita tak akan bisa melakukannya berdua lagi," ucapku pada Mas Byan ketika dia baru pulang. Jujur, ada perasaan sedih yang menyeruak saat mengucapkan kalimat itu, tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan begitu apik."Baiklah, aku mandi dulu," sahutnya menyetujui.Aku menunggu di meja makan. Memandang takjub hidangan yang berhasil aku siapkan dengan tangan sendiri. Ada steak daging sapi, tumis jamur, dan minuman soda. Tak lupa juga nasi khas orang Indonesia.Mas Byan turun dan langsung bergabung denganku di meja makan. Aku mengansurkan air putih yang sudah tercampur dengan obat tadi ke depannya. Agar dia tidak curiga, aku juga mengansurkan nasi."Selamat makan," ucapku dengan tersenyum.Dulu Mas Byan akan
Hampir semua kerabat dekat Mas Byan sudah berdatangan, bahkan yang dari luar kota. Berikut ibu mertua dan para iparku yang mulai memadati rumah. Semuanya turut memeriahkan dan menjadi saksi pernikahan kedua Mas Byan. Tampaknya mereka sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Aku berdecak kesal. Sungguh, keluarga yang tak punya hati. Demi apapun, diantara mereka juga banyak yang wanita. Apa para wanita itu sanggup jika harus berada di posisiku saat ini? Ah, entahlah. Jika hati sudah mati, maka tak ada sedikit pun sisa rasa peduli.Hari ini penampilanku begitu berbeda. Aku mengenakan dress panjang dengan belahan sampai lutut dan riasan tipis. Cukup cantik dan tak mungkin kalah dengan wanita yang menjadi gundik Mas Byan itu. Benar kata orang, kebanyakan pelakor tak lebih baik dari istri sah. Hanya saja suami yang tukang selingkuh sudah dibutakan mata kepala dan hatinya.Desas-desus yang kudengar, mereka yang hadir banyak menggunjingku karena belum juga bisa menghasilkan anak. Kata mereka
Akad nikah Mas Byan dan Karin berjalan dengan lancar. Syukurlah tadi aku benar-benar bisa membujuk Aira agar tidak membatalkan pernikahan itu dengan alasan keduanya sudah terlanjur saling mencintai. Jadi kalaupun pernikahan itu dibatalkan, tetap masih ada kemungkinan Mas Byan dan Karin kembali menjalin cinta di belakangku dan itu jauh lebih menyakitkan.Para tamu undangan bergantian menyalami keduanya untuk mengucapkan selamat. Ada juga yang pamitan denganku. Sebagian di antara mereka menatapku dengan iba, entah iba yang mereka tampilkan di wajah itu jujur atau kemunafikan semata. Sebagiannya lagi tetap saja menggunjing dan mengeluarkan kalimat yang melukai perasaan. Berbisik tapi dengan suara yang sedikit keras mengatakan aku mandul atau bahkan tidak bisa memuaskan Mas Byan dari segi keseharian dan ranjang. Sungguh ironis sekali, padahal mereka yang julid itu semuanya berasal dari jenis wanita. Para tamu yang laki-laki cenderung diam saja tanpa ekspresi yang sirat kentara."Lihat Sal
Perseturuan tadi sudah berakhir dengan ibu yang menjadi penengah. Ibu menyuruh Mas Byan mengantarkan Karin ke rumah sakit untuk membuktikan apakah istri kedua suamiku itu benar-benar sedang hamil atau tidak.Namun mengingat hari sudah malam, jadilah ke rumah sakitnya ditunda besok pagi. Malam ini Mas Byan justru kembali tidur di kamar bersamaku. Itupun karena aku memang mengizinkannya.Aku yakin saat ini Mas Byan sedang merasa jijik dan tertipu dengan Karin. Malam pertama yang seharusnya mereka nikmati dengan memadu kasih sampai menjelang pagi justru berakhir dengan perseteruan hebat. Miris sekali.Meski aku dan Mas Byan tidur di atas ranjang yang sama, nyatanya kami berselimut kebekuan yang tak akan mencair. Aku sengaja meletakkan guling di tengah-tengah kami dan mengambil posisi berbaring di tepian ranjang. Aku tak ingin berdekatan dengan Mas Byan, apalagi disentuh. Aku mengizinkannya tidur di kamar ini bersamaku hanya semata-mata untuk memberi pelajaran pada Karin, si perebut laki
Baru kali ini aku memasuki kawasan hutan siluman saat benar-benar malam. Rasanya menguji nyali sekali. Untungnya aku sudah tahu mantra khusus yang harus dibaca saat baru memasuki kawasan ini agar para siluman mengenali bahwa manusia yang lewat saat ini adalah sekutu Mbah Gendis yang otomatis menjadi sekutu mereka juga. Jadi mereka tak mau benar-benar mengganggu. Meski sesekali mereka iseng mengetuk jendela mobil atau bermain di atas, tapi itu semua tak jadi masalah.Menurut penuturan Mbah Gendis, hanya beberapa manusia terpilih yang ditakdirkan untuk bisa melihat wujud mereka. Salah satunya adalah Mbak Iren. Namun aku tak bisa masuk ke dalam golongan itu karena suatu alasan yang aku sendiri tak mengetahui secara pasti apa alasannya. Bisa jadi karena aku masih sedikit penakut dan tidak memiliki mental yang kuat.Sesampainya di pekarangan Mbah Gendis, aku melihat ada beberapa orang. Apakah itu manusia?Aku pernah mendengar jika hantu dan sejenisnya menampakkan wujud, maka hanya hantu sa
Nyatanya, ucapan Lasmi dan Fredy terus membayangiku. Hari ini adalah hari yang dimaksud oleh Lasmi agar aku mau menemuinya. Namun aku masih ragu untuk melangkah. Aku banyak dibayangi oleh ketakutan yang tak berujung. Bagaimana jika Lasmi malah semakin mempersulit jalan hidupku?Waktu yang dijanjikan hanya tinggal beberapa jam lagi. Namun pagi ini aku memilih kembali ke kantor hukum untuk mengambil berkas pemindah tanganan seluruh aset Mas Byan ke tanganku. Semuanya harus diurus secepatnya sampai beres karena jujur aku sudah tidak tahan lagi untuk melampiaskan semuanya dan mengusir mereka "Ini surat-suratnya sudah selesai, Ibu Salma. Kalau berkas itu hilang dicuri dan sebagainya, Ibu tinggal membuat laporan kehilangan dan datang ke sini untuk mengambil salinannnya," ucap pegawai kantor hukum yang membantuku mewujudkan salah satu rencana indah pembalasan untuk perselingkuhan suamiku."Surat ini terjamin kekuatannya, kan, Pak?" tanyaku memastikan."Kami berani menjaminnya, Ibu. Tidak sa