Share

5. Ritual Pertama

Kali ini aku menuju kediaman Mbah Gendis tanpa ditemani oleh siapapun. Untung saja, tadi pagi sebelum Mas Byan sempat bertanya banyak hal terkait perutku yang disebutnya kembung, ponselnya berbunyi. Entah dari gundiknya atau dari orang lain, yang jelas aku tetap bersyukur dan berterima kasih pada orang itu karena bisa membuat Mas Byan bergegas untuk berangkat sebelum sempat melakukan atau mempertanyakan banyak hal. Beginilah ketika harus menyembunyikan sesuatu. Pembawaannya selalu sulit untuk tenang. Untung saja tadi tidak jadi ketahuan.

Ketika melewati hutan siluman aroma yang mengguar masih seperti kemarin. Amis dan anyir menjadi satu. Mual yang kurasakan pagi tadi kembali terasa sekarang. Perutku berrgejolak dengan cairan lambung yang sepertinya sudah tak sabar ingin keluar melewati kerongkongan. Karena hal itu, aku memutuskan untuk menghentikan mobil dan mengambil kantung plastik yang sudah tersedia di dalam tas.

Aku memuntahkan banyak sekali cairan dari dalam perut. Sampai tenggorokanku terasa perih dan mulutku luar biasa pahit. Untuk meminimalisir mual yang terus terasa, aku mengoleskan minyak angin ke tengkuk, leher dan perut.

Saat mengusap perutku yang jika diraba terasa seperti perut yang kembung, air mataku kembali menetes. Memikirkan nasib anakku yang harus diserahkan pada Mbah Gendis. Aku tak punya pilihan lain. Sungguh, anak ini tak memiliki kesalahan apapun. Bahkan kehadirannya di rahimku juga bukanlah hal salah karena aku sendiri yang menginginkan bahkan mengusahakannya.

Tok tok.

Suara ketukan pada jendela mobil mengagetkanku. Aku menoleh, tapi tak mendapati siapapun. Pastilah salah satu makhluk yang menghuni hutan siluman ini. Mata batinku memang belum terbuka meski sudah menyetujui untuk bekerja sama dengan mereka. Kata Mbah Gendis, setelah menjalani beberapa kali ritual barulah aku bisa melihat wujud mereka yang mungkin saja akan sangat menakutkan jika terlihat secara nyata. Tak lama berselang, aku segera membereskan kekacauan akibat aktivitas muntahku. Menata perasaan yang sering mellow tiba-tiba dan kembali menjalankan kendaraan.

Sesampainya di tempat Mbah Gendis, aku langsung mengetuk pintu. Kali ini, Mbah Gendis sendiri yang menyambutku lengkap dengan senyuman khasnya yang terlihat menakutkan dengan giginya yang sudah menghilang sebagian.

"Selamat datang kembali, Wanita Muda," sapanya sumringah. Mengalahkan resepsionis kantor Mas Byan yang senantiasa ramah ketika menyambutku. Mungkin hanya pura-pura demi ingin naik jabatan atau apa, aku tak terlalu peduli dan sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.

Aku hanya tersenyum dan mengikuti Mbah Gendis untuk duduk di kursi tamu. Kali ini tak ada hewan apapun seperti kemarin. Jadi suasana rumah ini terasa normal layaknya rumah-rumah biasa di pedesaan dengan suasana adem yang begitu khas. Meski saat dirasakan dengan mendalam, aura mistisnya tetap terasa dengan begitu kental.

"Peliharaanku memang tak mau menampakkan diri di siang hari. Di siang hari seperti ini mereka memilih untuk tidur dan baru akan keluar saat matahari terbenam," ucap Mbah Gendis seakan bisa membaca pikiranku. Mungkin memang benar-benar bisa mengingat dirinya adalah seorang dukun sakti.

"Aku sudah menelisik, ternyata kemampuan dukun yang membantu selingkuhan suamimu hanya seujung kuku kelingkingku. Dia memakai mantra yang ditiup dalam air. Air itulah yang diminum oleh suamimu," jelasnya kemudian dengan raut yang jauh lebih serius.

Aku manggut-manggut. Bagiku tidak penting juga. Biarlah itu menjadi urusan Mbah Gendis. Toh, sejak awal sebelum adanya mantra yang mengenainya, Mas Byan juga sudah menaruh rasa pada perempuan itu. Bahkan sebelumnya pernah hampir selingkuh juga dengan perempuan yang dipilih ibu. Memang dasarnya tukang selingkuh. Benar kata orang-orang, selingkuh itu adalah suatu penyakit yang bisa kambuh kapan saja jika tidak bisa menjaga diri dengan baik.

"Aku tidak tertarik untuk memiliki Mas Byan sepenuhnya lagi. Aku hanya ingin dia jatuh miskin dan menderita. Sementara untuk perempuan itu, aku ingin dia dicampakkan oleh Mas Byan dan mati secara perlahan," ungkapku berapi-api, "Ah, aku juga ingin memberi pelajaran gaib pada ibu mertuaku," lanjutku mengingat dalam hal ini, wanita yang melahirkan suamiku itu juga ikut terlibat. Sungguh, aku kesal sekali saat mengingat fakta yang satu itu.

"Bukan hal yang sulit. Lalu bagaimana dengan permintaanku?" tanya Mbah Gendis dengan antusias.

"Aku memilih melahirkannya," jawabku yakin.

Aku memang sudah memikirkannya dengan matang. Daripada janinnya yang dipaksa gugur dari kandunganku dan dimakan oleh Mbah Gendis, lebih baik aku menjaganya sampai masa melahirkan tiba sembari mencari cara agar nantinya anak ini tidak diambil oleh dukun itu.

"Boleh saja. Tapi tepati janjimu dan jangan bermain-main denganku," balas Mbah Gendis. Nada bicara dan ekspresinya menyiratkan ancaman yang serius.

"Aku akan selalu mengingatnya," tekanku.

Mbah Gendis tersenyum misterius. Aku bahkan tak bisa menebak arti dari senyuman itu.

"Berarti anak ini tetap milikku sampai dia lahir, kan?" tanyaku memastikan.

"Ya, tapi pastikan dia terjaga dengan baik. Aku memberimu kesempatan selama empat puluh hari untuk menimangnya ketika dia sudah lahir nanti."

Aku mengangguk sepakat.

"Sekarang kita mulai ritualnya. Ikut aku."

Mbah Gendis bangkit dari duduknya, kemudian berjalan semakin masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya ikut saja sembari sesekali menoleh ke kanan-kiri. Arsitektur rumah ini memang unik. Mungkin kalau ada yang mengekspos ke sosial media, rumah ini bisa terkenal dan viral di jagat maya. Namun meski begitu, semakin ke dalam, suasana mistisnya semakin terasa karena meski waktu masih tengah hari, tapi kondisi di sini gelap. Semua jendela ditutup dan tak ada satu pun penerang ruangan yang dihidupkan.

"Berbaringlah di situ," tunjuk Mbah Gendis pada sebuah ranjang tua yang bahkan aku tak yakin apakah itu masih bisa menahan berat badan orang yang berbaring di atasnya atau tidak.

"Tak perlu khawatir. Aku tak akan mencelakaimu dan bayimu," ucapnya saat sadar aku tak kunjung bergerak.

Aku menurut dan mencoba mengenyahkan rasa takut dalam benakku. Bukankah sejak awal keputusanku ini sudah bulat dan aku siap menanggung semua resikonya?

Meski sudah tua dan hanya beralaskan tikar pandan dan bantal lusuh, ternyata berbaring di ranjang ini lumayan terasa nyaman juga.

Mbah Gendis duduk di dekatku, kemudian meletakkan telapak tangan bagian perutku tanpa menyibakkan pakaian yang kukenakan. Aku memperhatikannya yang tampak merapalkan mantra-mantra.

"Ah, sakit!" pekikku saat tiba-tiba perutku terasa seperti ditusuk. Tapi anehnya, sakit yang kurasakan hanya sesaat dan sekarang tak ada rasa sakit sama sekali.

"Aku memagarinya. Jadi tak ada makhluk halus yang bisa mengganggu atau mengusiknya dan mencegah janin ini keguguran."

"Apa itu tak menyakiti anakku?" tanyaku khawatir.

"Tentu tidak. Paling-paling selama tiga hari ke depan kau akan sering sakit perut," jawab Mbah Gendis tanpa beban.

"Apa tidak bisa dihindari? Aku takut Mas Byan curiga. Bahkan saat muntah-muntah karena kehamilanku pun, aku menghindarinya."

"Tenang, nanti aku akan berikan padamu mantra khusus yang bisa kau baca saat perutmu terasa sakit. Dengan begitu, rasa sakitnya akan segera menghilang dan tak menyiksamu. Tapi mantra itu hanya boleh kau baca saat ada sumimu saja. Kalau tidak ada, kau harus menahan sakitnya. Aku juga akan membuatkamu ramuan yang bisa mengatasi rasa mual selama hamil."

"Baik, Mbah."

"Kau tenang saja. Sebelum usia kandunganmu tiga bulan, suamimu itu sudah terdepak dari rumahnya sendiri."

Tawa Mbah Gendis menggelegar. Mirip seperti tawa dukun-dukun yang sering kulihat di televisi.

"Hari ini cukup itu saja. Datanglah tujuh hari lagi. Kau harus berendam di kolam siluman."

Kolam siluman? Apa di sana banyak ular jadi-jadian, lintah, dan katak? Hi, membayangkannya saja aku sudah bergidik. Antara ngeri dan jijik bercampur menjadi satu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status