Farrel menatap Jessi dan menahan rasa paniknya. Apalagi sekarang Carla terlihat menuntut jawaban.
"Mama tahu sendiri kalau dia yang bertugas khusus membersihkan ruanganku. Abaikan saja dia, Ma. Oh iya, jadi bagaimana dengan Dania?" Farrel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, agar Carla tidak mendesak dirinya dan juga Jessi. Perasaan inilah yang selalu Jessi rasakan. Jika sedang butuh, Farrel selalu menuntutnya untuk dipenuhi apapun kemauannya. Namun, jika hampir ketahuan, maka dirinya hanya akan dianggap seperti perempuan tiada guna. Jessi sadar dengan segala kesepakatan mereka dulu. Namun, perasaan cinta yang Jessi pendam tidak bisa memungkiri hati yang terluka. "Karena pekerjaan saya sudah selesai, saya permisi, Pak!" "Tunggu dulu!" sentak Carla. "Apa kamu lupa dengan tugasmu setiap kali aku datang ke sini." "Saya minta maaf, Bu." Jessi segera melakukan tugasnya. Tanpa perlu bertanya apa yang ingin Carla minum, Jessi sudah sangat paham dengan keinginan Carla. "Kalau Dania cepat pulang, maka rencana pernikahan kalian bisa segera dilangsungkan." Nampan yang terdapat 2 gelas minuman hangat untuk Jessi sajikan pada Farrel dan Carla seketika terjatuh. Jessi sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Apalagi selama ini Farrel tidak pernah memberitahunya bahwa Farrel sudah memiliki calon istri. "Maaf-maaf." Jessi duduk jongkok dan berusaha mengumpulkan pecahan gelas. "Oh Tuhan! Kamu ini bisa kerja atau tidak?" sentak Carla. "Mau kemana kamu?" Carla menahan tangan Farrel yang sepertinya akan mendekati Jessi. Farrel bingung mau menjawab apa. Jujur, hatinya ingin sekali menarik Jessi, karena bisa saja pecahan kaca melukai tangan Jessi. "Awh," keluh Jessi saat tangannya terluka. "Dasar bodoh. Ambil peralatan kebersihan sana," sentak Farrel. Entah apa yang sedang dipikirkan Jessi sebenarnya. Padahal biasanya Jessi bisa berpikir cepat jika sedang salah bertindak. "Baik, Pak. Tolong maafkan saya." Jessi bicara sambil menundukkan wajahnya. Setelah itu dirinya keluar untuk mengambil alat yang diperlukan. Karena kejadian tadi, Jessi jadi tidak bisa mendengar pembicaraan Farrel dan Carla. Pikirannya semakin dipenuhi dengan nama Dania. "Selamat siang, Ibu!" sapa Jessi saat Carla akan melaluinya. Carla berhenti dan memperhatikan Jessi. Membuat wajah Jessi jadi panik sendiri. "Sekali lagi saya minta maaf soal tadi, Bu. Saya janji, lain kali saya akan lebih hati-hati saat bekerja." "Kamu memiliki hubungan dengan anakku?" tanya Carla mulai menyelidiki. Tatapannya bahkan begitu sinis. Jessi terkejut. Membuat mulutnya terkatup untuk beberapa detik. "Tidak, Bu." "Benarkah?" tuntut Carla semakin curiga. Carla memperhatikan wajah Jessi. Jelas kulit Jessi nampak seperti gadis yang menggunakan perawatan. Apalagi saat mata Carla melihat kulit leher dan juga tangan Jessi yang nampak bersih. Bahkan hidung Carla bisa mencium aroma Jessi yang menggunakan parfum mahal. "Mana mungkin saya berbohong sama Ibu." "Sadar dirilah dan sadar akan kenyataan. Jangan berhalusinasi menjadi menantu keluarga Gevariel. Ingatlah, bahwa kamu hanya pegawai rendahan di perusahaan ini." Carla menatap Jessi dari atas hingga ke bawah. "Murahan." Air mata Jessi luruh begitu Carla meninggalkannya. Dirinya tidak pernah berharap untuk masuk ke dalam keluarga Gevariel. Namun, tidak bisa Jessi pungkiri kalau dirinya berharap Farrel juga mencintainya. Sore ini, Jessi pulang ke apartemen sesuai dengan perintah Farrel. Rasa pusingnya belum hilang sejak tadi. Maka sekarang Jessi hanya membersihkan diri dan menggunakan baju normal lalu pergi mempersiapkan menu makanan untuk Farrel. Sepanjang melakukan pekerjaan dapur, pikiran Jessi masih kalut karena memikirkan perempuan yang bernama Dania. "Kamu bulanan?" tanya Farrel yang langsung memeluk Jessi dari belakang. "Ya!" Terpaksa Jessi berbohong karena sedang malas meladeni kemauan Farrel. Jessi berharap Farrel percaya. Karena hanya ini yang bisa Jessi gunakan sebagai alasan. "Ck! Tadi sudah gagal di kantor gara-gara mama datang tiba-tiba. Sekarang harus gagal lagi karena kamu bulanan. Mana harus menunggu 1 minggu lagi." Suara keluhan Farrel membengung karena wajahnya menyusup dileher Jessi. Farrel menghirup aroma wangi yang Jessi gunakan. Sedangkan tangannya menyusup ke dalam kaos untuk menyentuh aset kembar kesukaan Farrel. "Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu, Farrel." Menurut Jessi, dirinya sudah bicara lembut seperti biasanya. Namun, menurut Farrel, Jessi bicara sedikit menyentak. Farrel tidak mengambil hati. 1 tahun kebersamaan mereka bukanlah waktu yang singkat. Farrel sudah paham dengan perubahan mood Jessi saat sedang bulanan. "Emmm, aroma masakanmu begitu nikmat. Beruntungnya aku menemukan kamu. Sudah pintar di atas ranjang, pintar juga membuatkan menu makanan untukku." Biasanya Jessi senang saat Farrel memuji dirinya. Namun, ucapan itu justru membuat hati Jessi semakin terluka. "Aku baru tahu kalau ternyata kamu sudah memiliki calon istri." Jessi berusaha tenang dan ingin tahu semuanya lebih jauh. "Siapa tadi namanya? Dania?" Farrel duduk di tepi meja makan saat Jessi mulai menata menu yang sudah matang. "Namanya Dania Malachy. Dia seorang model di luar negeri. Sejak 3 tahun yang lalu, kami dijodohkan. Jadi sudah 2 tahun ini kami bertunangan." Hati Jessi semakn sakit. Apa yang bisa dirinya harapkan dari hubungan kesepakatan ini. "Padahal kita berhubungan sudah 1 tahun. Tapi aku belum pernah mendengarmu menyebut namanya." "Hubungan kami hanya karna kesepakatan, Jessi. Karena di masa lalu, orang tuaku memiliki hutang budi pribadi dengan orang tuanya. Jadi sekarang aku yang dikorbankan. Untuk bisa memiliki harta warisan orang tuaku, aku harus menikah dengan Dania." Air mata Jessi jatuh. Namun, ia segera mengusap dengan lengan bajunya. "Jadi itu artinya kamu akan segera menikah?" "Rencana 2 belah pihak keluarga seperti itu. Karena memang kontrak kerja Dania tahun ini sudah habis. Sebentar lagi, semua milik orang tuaku akan beralih menjadi milikku." "Jadi mau sampai kapan kita akan seperti ini, Farrel?" Farrel turun dari atas meja dan mendekati Jessi yang masih memunggunginya sambil mencengkram pinggiran wastafel. "Apa maksudmu bertanya seperti itu padaku?" geram Farrel setelah membalik tubuh Jessi. "Kamu kenapa?" Farrel terkejut melihat kedua mata Jessi yang basah. "Kalau kamu sudah menikah, kita tidak bisa seperti ini terus, Farrel. Aku takut ketahuan." "Yang bisa memutuskan hubungan ini adalah aku, Jessi. Aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku bosan." "Kalau kamu sudah menikah, kamu bisa melampiaskan semua keinginanmu pada istrimu, Farrel. Jadi ..." Kedua tangan Farrel memukul tepian wastafel begitu kuat. Membuat Jessi memejamkan mata karena terkejut. "Ada apa denganmu sebenarnya? Bukankah seharusnya kamu senang karena aku tetap mempertahankanmu sehingga kamu masih tetap mendapatkan uang dan segala yang biasanya aku berikan?" "Aku cinta sama kamu, Farrel!" ungkap Jessi yang sudah tidak bisa menahan perasaannya. "What!" "Maka dari itu lepaskan aku dan biarkan aku bekerja sebagai OG saja. Aku memang tidak tahu diri. Tapi jika kita masih bersama, aku jadi merasa kamu duakan. Jadi ..." "Siapa yang mengizinkanmu menaruh perasaan denganku, Jessi?" "Huek."Sudah sejak 3 jam yang lalu Rhona lelap di dalam kamar yang kini sudah menjadi kamar Rhona. Secara khusus Regan persiapkan kamar tersebut agar Rhona betah di rumahnya ini. Sedangkan Regan dan Carla sudah sejak 2 jam yang lalu memasuki kamar mereka. "Cantik," puji Carla menatap wajah lelap Rhona. Setelah memastikan Regan sudah lelap, Carla memilih melihat Rhona. Hati Cara sangat terusik akan kehadiran Rhona. Namun, keangkuhan Carla juga masih ada. Rasa-rasanya Carla masih belum percaya kalau keturunan keluarganya terlahir dari perempuan yang memiliki latar belakang seperi Jessi. Namun, Carla tidak bisa memungkiri kalau Rhona adalah gadis kecil yang pintar. "Siapa yang menduga, wajah tampan anakku ada diversi wajah kecil ini." Meski ragu, pada akhirnya Carla mengusap kepala Rhona secara perlahan. Sesungguhnya Carla takut kalau Rhona sampai terusik akan perbuatannya. "Kami hidup berkecukupan sejak dulu. Sedangkan kamu sejak lahir hidup seadanya. Sungguh miris." Setelah cukup puas Car
"Mama di mana?" tanya Regan setelah Carla menerima panggilan suaranya. "Baru saja Mama selesai arisan. Kenapa, Pa?" "Papa sama Rhona sudah ada di rumah." "Papa suka sekali membawanya ke rumah kita?" Ucapan Carla memang sinis. Tapi langkahnya semakin cepat untuk segera sampai mobil. "Besok Rhona libur sekolah. Jadi Papa ingin menghabiskan banyak waktu dengannya. Kalau Mama tidak mau, ya biar Rhona sama Papa saja." Hati Carla seperti terbakar api cemburu. Ia segera memasuki mobil. "Pak, kita ketoko buah biasanya." "Loh, bukannya kemarin si mbak sudah belanja buah ya, Bu." "Sudah, jangan banyak protes!" Sungut Carla kesal. "Ayo cepat. Aku ingin cepat sampai rumah." 2 jam sudah berlalu. Barulah Carla sampai rumah. Sedangkan supir segera membawa buah belanjaan Carla kedapur. "Ini sama ibu buahnya disuruh segera dibersihkan dan dimasukan ke kulkas," ucap supir. "Buah apa ini?" tanya Art sambil membuka kantong belanjaan. "Buah strowberi? Buah ini kan kesukaan n
[Aku baru dapat kabar dari Rika kalau anaknya masuk rumah sakit. Apa aku boleh menjenguknya?] Hingga beberapa kali Farrel membaca pesan singkat dari Jessi. Membuatnya tidak fokus dengan meeting siang ini. 'Dia pamit denganku? Aku tidak salah membaca kan?' Pipi Farrel sampai merona. Ia bahkan tersenyum dan jadi salah tingkah sendiri. "Rencana yang sudah kita perbaiki hingga 3 kali ini, apakah sekarang Pak Farrel setuju?" Semua orang menatap Farrel. Mereka jadi keheranan sendiri dengan calon pengganti Regan tersebut. Padahal ini proyek besar mereka. Tapi semua orang merasa kalau Farrel tidak fokus. 'Kalau seperti ini terus, aku jadi mengira kalau kamu sudah menerimaku sebagai suamimu, Jessi. Terlalu banyak yang berubah darimu akhir-akhir ini,' batin Farrel. "Pak! Pak Farrel. Pak!" "Iya!" Farrel terkejut karena orang didekatnya memanggil dengan suara begitu keras. "Ada apa?" "Maaf, apakah semuanya perlu saya ulang? Menurut saya ..." "Setuju. Besok ajukan dana p
"Opa hebat," puji Rhona sambil mengacungkan kedua jempolnya. Begitu sampai rumah, Regan mengajak Rhona makan lalu bermain. Entah sudah berapa permainan yang Regan ikuti. Meski dirinya tidak bisa, tapi Regan berusaha untuk mengikuti arahan Rhona. Apapun akan Regan lakukan agar dirinya bisa dekat dengan Rhona. Hingga sekarang Regan dan Rhona baru saja selesai bermain basket. Meskipun Regan sangat menjaga kebugaran tubuh, tapi usia memang tidak bisa bohong. Meski Rhona masih kecil, tapi Rhona seperti tidak kenal lelah. Bermain basket saja Regan hanya ala kadarnya. "Benarkah? Padahal Rhona yang sangat hebat. Sudah sabar dan mau mengajari apa yang tidak bisa Opa lakukan." "Rambut Opa sudah ada yang putih. Opa kan sudah tua. Tapi sejak tadi Opa temani Rhona bermain tanpa merasa lelah. Padahal teman Rhona di kampung, kakeknya tidak ada yang bisa diajak bermain bola begini. Itu artinya Opa hebat." "Karena setiap orang punya kesehatan dan ketahanan tubuhnya masing-masing. Kalau R
"Saya tidak percaya karena Bapak mempromosikan nama saya untuk naik jabatan. Saya sangat-sangat berterima kasih." Selama bertahun-tahun Rika menjadi seorang Office Girl. Meski beberapa teman seangkatan Rika sudah naik jabatan sejak beberapa tahun yang lalu, tapi dipindah tugaskan dikantor cabang, berbeda dengan Rika yang masih tetap begitu-begitu saja. Namun, meski begitu Rika tetap bertahan. Karena setiap tahun gajinya naik. Rika sampai berprasangka gajinya naik karena Farrel selalu merepotkannya dengan segala pertanyaannya tentang Jessi. Untuk karyawan seperti Rika, bukan hal mudah untuk bertemu dengan Farrel, kecuali jika dipanggil. Namun, kali ini Rika memberanikan diri meminta izin untuk menemui Farrel setelah dirinya resmi naik jabatan. "Saya juga berterima kasih padamu, Rika. Maaf, karena beberapa tahun terakhir, saya sudah merepotkanmu." Tidak masalah bagi Rika. Karena repot yang dilakukan Farrel pada akhirnya memberikan hasil yang tidak disangka-sangka. Namun, waja
Karena Farrel sedang di kantor dan Rhona sedang sekolah, Jessi memutuskan untuk membeli kebutuhannya sendiri. "Ini sedikit lebih baik kan?" gumam Jessi sambil memperhatikan beberapa baju tidur dan baju santai lainnya. Setelah mendapatkan beberapa pakaian yang Jessi inginkan, ia berniat segera membayar semuanya. "Eh!" Jessi terkejut dan spontan menyempar tangan seseorang yang menyentuh lengan tangannya tanpa permisi. "Maaf, siapa ya?" tanya Jessi sambil memberikan tatapan tidak suka pada perempuan bertubuh indah dan begitu seksi. "Apa kamu Jessi?" "Maaf, apa kita pernah bertemu?" Jessi terkejut karena perempuan yang dadanya terlihat begitu menonjol itu terlihat sinis menatapnya. "Kita memang tidak pernah bertemu, tapi kamu sudah berhasil menghancurkan hidupku dan rumah tanggaku. Dasar perempuan murahan." "Tolong bicara yang sopan ya. Kita tidak saling kenal tapi bisa-bisanya anda mengatai saya." Jessi jadi geram sendiri. "Namaku Dania." "Dania?" Untuk beberapa
"Emmm, masakan Mama selalu juara," puji Rhona sambil mengacungkan jempolnya. Jessi melirik ke arah Regan dan Carla sebentar. "Terima kasih, Sayang. Sudah, kita makan dulu." "Enakkan Opa masakan mama?" "Enak sekali. Jessi memang suka memasak? Papa suka sama rasa sambalnya." "Bukan yang suka sekali sih, Pa. Hanya kalau memungkinkan, saya usahakan untuk masak." "Kamu tidak memberikan Art untuk istrimu, Farrel?" "Ada, Pa. Hanya saja Art khusus untuk bebersih dan mengurus pakaian saja. Itu juga tidak setiap hari datang ke sini. Papa jangan salah paham ya. Jessi tidak selalu memasak. Kami juga sering beli makanan." "Baguslah. Jangan sampai kamu menikahi perempuan hanya untuk kamu jadikan tukang masak." "Mau yang ini?" tanya Farrel karena menolong Jessi yang tidak sampai mengambil salah satu menu. "Lagi?" "Cukup. Terima kasih." Tindakan Farrel pada Jessi tidak luput dari perhatian Carla. Ia jadi merasa kalau anaknya memang sudah cinta buta pada Jessi. "Sambal ini sepertinya cocok
'Kenapa perasaanku seperti ini?' Begitu Farrel pergi, Jessi segera membereskan belanjaannya. Awalnya Jessi akan mengikuti perintah Farrel untuk memesan makanan. Namun, pada akhirnya Jessi memutuskan untuk memasak beberapa menu. "Kamu masak?" "Eh!" Jessi sampai terkejut. Apalagi sekarang Farrel berdiri dibelakannya. Jarak yang begitu dekat, membuat tubuh mereka bersentuhan. Jika dulu, saat momen seperti ini Farrel akan langsung memeluk Jessi dan mengusik pekerjaan Jessi, hingga terbengkalai. Sekarang, hal itu justru menjadi ingatan yang membayangi benak Jessi. "Iya," lanjut Jessi. Ia gugup tapi berusaha biasa saja. 'Apa yang kamu pikirkan, Jessi?' Jessi berusaha menyadarkan diri sendiri. "Kenapa kamu suka sekali merepotkan diri? Apa yang bisa aku bantu?" Farrel mulai melipat lengan kemejanya. "Aku bingung mau memesan makanan apa. Aku juga tidak tahu makanan kesukaan papamu apa. Lagipula aku tadi sudah janji mau memasakkan sesuatu untuk Rhona. Jadi sekalian saja."
"Yang diajak pergi sama opa itu tadi siapa, Ma?" tanya Rhona. Meski Jessi sudah menarik Rhona agar mereka segera ke atas, tapi Rhona masih menoleh kebelakang. Dan sekarang Rhona terkejut dan menahan rasa kecewa karena Regan pergi tanpa berpamitan padanya. "Opa?" gumam Jessi. Dirinya masih sangat terkejut dengan situasi yang baru saja terjadi. Sampai detik ini, Jessi bahkan belum pernah berkhayal akan bertemu dengan orang tua Farrel. Atau bahkan berharap diterima mertuanya tersebut. Karena Jessi cukup sadar diri. "Padahal opa belum selesai bermain dengan Rhona. Siapa orang tadi, Ma? Kenapa orang tadi sepertinya memarahi papa?" "Itu ..." Jessi bingung mau menjawab apa. Kalau dirinya memberitahu Rhona siapa Carla, Rhona pasti terkejut. Mau sekarang ataupun nanti, Rhona pasti akan tetap terkejut. "Itu oma, Sayang. Omanya Rhona." "Farrel." Jessi tidak percaya kalau Farrel akan langsung berkata jujur. "Oma? Tapi kenapa oma memarahi Papa?" "Oma marah ke Papa karena Papa