“Mandi terus istirahat ya, Ta.” Dante mengusap puncak kepala Cintara. “Gue balik dulu.”
Setelah memastikan Cintara turun dari mobilnya, pria itu kemudian melajukan mobilnya meninggalkan komplek perumahan Cintara. Alih-alih langsung pulang, Dante menyempatkan diri untuk mampir ke rumah orang tuanya.“Mas? Lho, tumben mampir?" Kinnas yang baru saja melihat Dante muncul dari balik pintu rumahnya itu lantas berjalan menghampirinya."Mama kebiasaan deh, nggak pernah ngunci pintu!" gerutu Dante setelah mengecup pipi Kinnas.“Iya, ya? Mama lupa kayaknya, Mas. Tumben ke sini?”Dante berdecak pelan. “Kok dibilang tumben sih, Ma? Aku kan kangen sama Mama. Nggak boleh mampir, ya?" ujarnya beralasan.“Beneran kangen, kan? Atau… pasti ada maunya, nih?” Lalu Dante terkekeh. “Mau dibuatin teh hangat?”“Boleh, Ma.” Dante lantas berjalan mengekori Kinnas ke dapur, lalu menarik salah satu kursi bar stool yang ada di sana. “Rumah kok sepi banget, Ma? Zidny sama Papa ke mana?”“Kenapa? Kangen sama adik kamu, ya?" Dante tersenyum tipis. "Zidny tadi katanya lagi ada tugas kuliah. Makanya dia izin pulang malam. Palingan bentar lagi pulang,” ujar Kinnas memberitahu. “Terus Papa masih ada urusan sama Om Mahesa, sih.”Dante berdecak pelan. "Palingan juga sibuk pacaran, Ma. Zidny kan sekarang lagi deket sama anak hukum, Ma.”Kinnas mengerutkan keningnya sembari mengangsurkan secangkir chamomile tea ke arah Dante. "Tau dari mana kalo dia lagi deket sama cowok, Mas?”“Zidny kan centil, Ma. Makanya—" Namun belum Dante menyelesaikan perkataannya, suara vokal seorang perempuan membuat Kinnas dan Dante menoleh.“Apa nih sebut-sebut nama gue!" hardik perempuan itu cepat."Nah itu anaknya. Dicari sama Mas kamu nih, Dek."“Mama.” Zidny berlari menuju dapur, lalu mencium pipi ibunya. "Nama gue Linuxea Zidny Philadelphia, Mas, bukan Zidny Centil. Tolong digarisbawahi!" kata Zidny tak terima. “Haus juga, Ma. Tapi aku maunya minuman dingin.”Zidny lantas menarik kursi yang ada di sebelah Dante, membuat pria itu tak tahan untuk tidak menyentuh kepala adiknya. Dan detik itu juga Dante memberantaki poninya dengan gemas."Mas! Rambut gue berantakan tahu, nggak!" sembur Zidny sembari menjauhkan kepalanya dari Dante."Habisnya gemes. Lo nggak kangen sama Mas ya, Dek?"Zidny menggeleng. "Big, No! Lo kan, inget rumah kalau pas ada maunya aja. Iya, kan? Bentar lagi juga ngomong ke Mama maunya apa!""Apaan sih, Dek. Sukanya suudzon mulu sama Mas, lho?" ucap Dante sambil terkekeh."Gue punya bakat kayak Papa, Mas. Jadi lo perlu hati-hati, kali aja habis ini gue kepikiran buat ngehack ponsel lo? Bisa habis lo sama gue!""Ya Allah, ampun, Dek. Lo kuliah jurusan apa sih, Dek? Mau tahu banget soal IT? Kebanyakan IT di kantornya Mas itu cowok, lho. Nggak usah aneh-aneh deh, cukup Papa aja yang ahli di bidang IT. Lo mending fokus sama kuliah bisnis lo atau kalau mau lo jadi pramugari?" tawar Dante."Ck! Mentang-mentang sahabatnya pramugari, gue lo saranin pramugari juga?"Dante terkekeh. "Ya cuma itu doang yang terlintas di kepala gue. Emangnya lo mau jadi apa?"Kinnas mengangsurkan segelas orange juice ke arah Zidny. Membuat perempuan itu menoleh dan langsung meneguknya pelan. "Entrepreneur kayak Papa, dong! Biar nggak percuma gue kuliah ngambil jurusan bisnis!""Apaan! Papa aja masih kerja di tempatnya Om Mahesa, kok!" ralat Dante. "Mending lo mulai bantuin Mama tuh, yang ngurusin kafe, deh. Kasian Mama sendirian, Dek."“Dih, Mas. Gue kan sibuk kuliah.”“Bisaan banget ya alasannya?”“Udah, udah. Dek, ke atas dulu, gih. Bersih-bersih atau ganti baju dulu.”Zidny kemudian mendelik ke arah Kinnas. “Dih, Ma. Lagi seru sama Mas Dante juga!” sungut perempuan itu."Masmu nggak bakalan kemana-mana. Udah sana beresin muka kamu yang kucel itu. Terus turun, nanti dilanjut lagi ngobrolnya. Mas biar Mama tahan dulu di sini," ujar Kinnas lagi.“Iya, iya!”Zidny sudah melangkah menjauh meninggalkan dapur saat ponsel Dante bergetar. Pria itu menoleh dengan cepat, lalu ia menerbitkan senyuman. Ada satu pesan balasan dari Cintara.[Dia Cintara Naladhipa: Harus lagi apa banget, ya?][Dia Cintara Naladhipa: sent a photo]"Kenapa sih, senyum-senyum sendiri gitu?"Dante mendongak, lalu terkekeh. "Ini Ma. Cintara kalo lagi iseng kebangetan. Masa wajahnya dicoreng-coreng pake angus gini?"Kinnas lantas melongok ke arah ponsel Dante. "Itu dia lagi pake masker wajah, Mas. Kok dibilang angus, sih? Makanya Mas buruan cari pacar. Biar bisa ngerti kebutuhan cewek zaman sekarang,” saran Kinnas pada putranya."Kenapa harus punya pacar dulu biar bisa ngerti cewek, Ma? Cintara dan Kanaya aja udah bikin pusing tahu, nggak!" keluh Dante sembari terkekeh.“Kenapa pusing? Emang sahabatan bertahun-tahun sama mereka belum bisa bikin kamu ngertiin mereka, ya?”"Nggak gitu juga, Ma. Pokoknya sahabatan sama mereka tuh merepotkan!" keluhnya lagi.“Ada-ada aja sih, Mas.” Kinnas lantas menghela napas. “Habis nganterin Cintara pulang tadi, ya?”“Mama kok tahu, sih?”Kinnas mendecak sebal. "Giliran sama mereka aja diprioritaskan ya, Mas? Mama yang di sini nggak pernah ditengok, tuh!" protes Kinnas.Dante terkekeh. "Astaga, Ma! Masa Mama cemburu sama Cintara, sih? Mereka kan, sahabat Dante dari kecil."Kinnas terkekeh. "Ya tetap aja, Mas. Mama kan juga kangen sama kamu.""Dante juga kangen kok sama Mama. Makanya sekarang kan mampir," belanya kemudian. Dante mengulas senyuman. Tangannya sibuk mencomoti cemilan kue kering yang ada di toples, yang sengaja dibawa Kinnas bersama minumannya tadi."Kamu nggak kepikiran buat ngenalin pacar ke Mama ya, Mas?" celetuk Mama Kinnas tiba-tiba.Dante mendongak dengan keningnya yang mengernyit. "Dante nggak punya pacar, Ma,” ujar Dante."Masa? Clara pernah bilang ke Mama lho, Mas. Kalo kamu sering diapelin sama cewek di kantor.""Astaga, Ma. Jadi Mama nyuruh Clara buat jadi mata-mata Dante, ya?"Kinnas terkekeh. "Nggak gitu, Sayang. Mama kebetulan mampir ke kantor kamu, pengennya sih ngajak makan siang kamu. Tapi waktu itu kamu lagi meeting, terus Mama ketemu sama Clara. Ya udah, deh Mama ngobrol sebentar sama dia.""Ngobrol sebentar tapi yang diomongin udah jauh banget ya, Ma?” Dante mencibir “Kenapa Mama nggak telpon? Kan Dante bisa mempersingkat meeting-nya.”"Mana bisa begitu? Mama cuma penasaran sama pacar kamu aja kok, Mas. Habisnya tiap Mama tanya, kamu nggak pernah jawab.""Dante belum kepikiran, Ma. Ini tumben banget Mama ngomongin pacar. Biasanya juga nggak pernah, kan?"Kinnas mengedikkan bahunya dengan santai. "Mama ngerasa belum rela aja kalo Mas udah gede gini. Kayak baru kemarin Mama membesarkan kamu. Sekarang kamu sukses dari hasil jerih payah kamu sendiri. Nggak ngerti lagi dulu gimana kamu bisa tinggal kelas tiga kali—""Dua kali, Ma," ralat Dante."Iya, dua kali. Kamu bandel banget waktu SMP tahu, nggak?"Dante terkekeh. Tangannya terulur ke depan. Diusapnya punggung tangan Kinnas dengan hangat. "Maaf karena udah bikin repot Mama, ya. Pencapaianku selama ini kan, juga karena keterlibatan Mama. Dan sekarang, bentuk rasa syukurku buat Mama, ya kayak aku membangun Facade Architect sampai sebesar ini, Ma. Maaf karena udah sering banget bandel dulu. Mama pasti lelah mikirin Dante dulu, ya?" ucap pria itu dengan tenang.Kinnas tersenyum kemudian mengusap kepala Dante dengan pelan. "Aduh, Mas. Kenapa ngomong begitu, sih? Bikin Mama pengen nangis tahu, nggak.”“Dante sayang sama Mama.”“Mama juga sayang sama kamu, Mas.”"Oh jadi cuma sama Mas aja nih, Ma? Sama Adek nggak sayang ya, Ma?"Suara Zidny yang tiba-tiba muncul dari balik tangga membuat Kinnas dan Dante langsung menoleh.“Astaga, Dek, cemburuan banget sih kamu?”“Habisan Mama, mentang-mentang Mas Dante di sini. Padahal biasanya juga uyel-uyelannya sama aku!” protes Zidny.Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam saat Dante memutuskan untuk pulang.“Mas yakin nggak mau nginep di sini? Belum ketemu sama Papa juga, kan?”“Maunya gitu, Ma. Cuma materi meeting Dante di apartemen, Ma. Aku janji besok bakalan mampir lagi.”“Bener, ya?”“Iya, Ma. Dante pulang, ya?”Dante kemudian mengecup pipi Kinnas, sebelum akhirnya bergerak mendekati mobilnya. Dan detik itu juga pria itu melajukan mobilnya meninggalkan kediaman orang tuanya.Tepat saat waktu sudah menunjuk angka dua belas malam, Dante tiba di apartemennya. Dengan langkah tenang, pria itu melangkah melewati lobi.Namun baru saja Dante akan melangkah memasuki lift tatapannya sudah lebih dulu terpaku pada seorang perempuan yang sedang mendudukkan dirinya di sofa lobi. Pria itu mendesah pelan kala perempuan berambut pirang dengan high heels setinggi dua belas senti itu kini berjalan menghampirinya.“Lama banget sih, Beb. Aku udah nungguin kamu sejak satu jam yang lalu.”“Kamu ngapain di sini, sih?”“Ngapain lagi? Kangen kamu dong, ah. Udah ditelpon nggak aktif, terus kenapa sih pakai rahasia-rahasiaan segala password unit kamu! Kan aku bisa nunggu kamu di apartemen duluan sambil nyalain aromaterapi misalnya. Biar pas kamu pulang tuh, kamu jadi rileks gitu!" ucap Sissy dengan suara sensual, bermaksud menggoda Dante."Sorry, tadi aku ada urusan dulu dan lupa nge-charge," ucap Dante seadanya.Sissy mendesah pelan. "Ya udah kalau gitu, kamu capek kan? Habis ini aku pijitin, deh! Kangen nggak kamu sama aku?" tanya Sissy sambil bergelayut manja di lengan Dante.Sementara Dante tidak menjawab. Pun tidak menolak ketika Sissy turut melangkah mengikutinya menuju unit milik pria itu.Begitu mereka di apartemen dan belum pintu di belakang tertutup sempurna, gerakan Sissy yang tak kalah cepatnya dengan gerakan pintu di sana membuat Dante lantas terkesiap. Perempuan itu sudah lebih dulu mendorong Dante hingga pria itu tergelepar di sofa dengan wajahnya yang sedikit terkejut.Sissy dengan kegilaannya lantas melucuti dress yang dikenakannya dengan gerakan tergesa, menyisakan pakaian dalamnya. Lalu perempuan itu merangkak naik ke atas tubuh Dante. Dan hanya dalam hitungan detik perempuan itu sudah meraup bibir Dante dengan membabi buta.Ini bukan kali pertamanya Dante dan Sissy saling mencumbu satu sama lain. Hubungannya dengan Sissy bisa dikatakan hubungan terlamanya selama berpacaran. Tadinya Dante ingin menyerah, membiarkan Sissy melakukan apa yang sejak tadi ingin dilakukannya. Namun ketika kepalanya tiba-tiba teringat akan permintaan Cintara tadi siang, dengan gerakan cepat Dante mendorong Sissy menjauh.“Sorry,” gumam pria itu lirih.Dante lantas mendudukkan diri dengan kemejanya yang sedikit terkoyak akibat ulah Sissy barusan. Sementara perempuan itu menatapnya dengan tatapan tak percaya.“What the hell are you doing, Beb?”Kemudian pria itu menoleh ke arah Sissy dengan tatapan bersalah. "Sorry, aku lagi nggak mood, Sy. Lebih baik kamu pulang. Aku capek banget, okay?"***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege