“WHAT! Lo gila, Nay?"
Suara teriakan Cintara sontak membuat orang-orang di sekitar mereka lantas menoleh ke arah mereka. Dengan tatapan tajamnya, Cintara ingin sekali memaki Kanaya detik itu juga.Mereka baru saja landing di Jakarta usai melakukan penerbangan dari Bali. Keduanya memilih untuk menikmati kopi di kedai favorit seperti yang selalu dilakukan mereka sebelum bergegas untuk pulang.“Suara lo, Ta! Bisa-bisa kita diusir sama yang punya kafe tahu, nggak!”“Bodo amat! Lo gila, ya? Beneran lo obral gue?”Kanaya meringis tanpa rasa bersalah. “Lo bisa biasa nggak ekspresinya? Gue udah bilang sama lo waktu di Despresso Coffee tempo lalu, ya. Ya gue sebagai sahabat, pengennya bantu, Ta. Eh, betulan kecantol juga, dong.”Cintara meraup wajahnya dengan gusar, menatap heran pada Kanaya. “Terus? Gue mesti ngapain? Awas aja kalau sampai foto gue disalahgunakan sama orang, ya! Gue tuntut Diamond Group sampai bangkrut!”Kanaya mencebikkan bibir. Perempuan itu lantas menyodorkan ponselnya ke arah Cintara. “Nih, orangnya. Namanya Romeo, Ta. Ganteng, kan?”Cintara melongokkan kepalanya ke layar, lalu menghela napas panjang. “Terus gue mesti gimana?”“Lo cuma ketemu sama Romeo doang, Ta. Nanti tempatnya di mana, bakalan diatur sama Hellove, kok. Jadi, lo tinggal duduk manis, nunggu kabar gue, dan kencan deh.”“Kapan emangnya?”“Nanti malam.”Cintara seketika membelalak. “NANTI MALAM? Lo jangan gila deh, Nay.”Kanaya merengut. “Gue serius, Ta. Nih, lihat jadwalnya. Malam ini pukul tujuh malam. Tempatnya bakalan terupdate otomatis kalau gue udah klik oke.”“Udah lo klik?”Kanaya meringis kecil. “Udah, barusan.”Cintara hanya bisa melongo melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. “Hih ribet banget sih lo, Nay! Untung lo sahabat gue! Kalau bukan udah gue jual lo di loakan sana!”“Dih, status gue udah not available, Ta. Lo tuh yang maunya gue jual.”“Well, gue—” Namun belum Cintara melanjutkan ucapannya, getaran ponsel milik perempuan itu sudah lebih dulu mengalihkan perhatian mereka.“Siapa, Ta?”“Dante. Tumben amat ini orang telepon gue jam segini?” ujar Cintara dengan heran.Perempuan itu lantas meraih ponsel miliknya. Ia menggeser layar lalu melekatkan benda pipih itu ke telinganya. “Ya, Te? Ada apa?” tanya Cintara saat itu.“Lo di mana, Ta?”“Masih di Despresso Coffee, nih. Di dalam bandara. Kenapa?”“Nggak mau pulang?”“Ya mau. Tapi nggak sekarang. Kenapa sih? Udah kangen banget ya, sama gue?” celetuk Cintara dengan enteng.Dante terkekeh pelan di seberang sana. “Iya. Gue udah ada di pintu kedatangan, nih!”Mata Cintara melebar sempurna sembari menegakkan posisi duduknya. “Ngapain?”“Jemput lo lah, ngapain lagi emangnya?”Cintara sangat yakin jika ia sama sekali tidak meminta Dante untuk menjemputnya. “Emang gue ada bilang ya, buat dijemput sama lo?”“Bisa nggak sih, nggak usah banyak tanya?” potong Dante dengan cepat. “Gue tunggu, ya?”Lalu tanpa menunggu jawaban dari Cintara, sambungan teleponnya sudah diputus oleh Dante. Dan Cintara hanya bisa melongo dengan tatapan lurus ke arah Kanaya.“Dante? Jemput lo?”Cintara mengangguk bingung. “Tingkah anak itu lama-lama nyeremin ya, Nay? Udah kayak jailangkung tau nggak, sih? Kayaknya emang salah banget deh, gue ngajak kawin dia.”Seketika tawa Kanaya pecah saat itu juga. “Emangnya dia udah nerima tawaran lo?”Cintara mengangguk ragu. “Hm. Cuma… ya gitu, dia minta nggak gratis katanya,” ujar perempuan itu lirih. “Bodo, ah. Gue cabut, ya? Dante udah nunggu, nih! Mau sekalian barengan nggak?”“Nggak deh. Gue bawa mobil sendiri, kok. Yang penting jangan lupa aja nanti malam.”“Oh ya, jangan sampai soal kencan buta ini Dante tahu ya, Nay? Gue nggak mau dengerin dia ngomel-ngomel nggak jelas. Pokoknya awas aja kalau sampai dia tahu!”Kanaya mendengus pelan. “Iya-iya bawel. Sana gih! Kasian Dante nungguin lama.”“Ya udah gue duluan, Nay!” Cintara membungkuk, mengecup pipi Kanaya dengan lembut, lalu bergegas meninggalkan sahabatnya begitu saja.Dengan langkah pelan, Cintara berjalan meninggalkan Despresso Coffee detik itu juga. Perempuan itu sibuk dengan ponselnya, namun saat ia menyadari ada seseorang menatap mesum ke arahnya, Cintara mendelik tajam.“Apa lo lihat-lihat!” salak perempuan itu ketus saat ada seorang pria menatap mesum ke arahnya.Pria yang tadinya menatap Cintara, lantas mengangguk sungkan saat menyadari keberadaan Dante. “Ya ampun, Ta. Lo pramugari lho,” sahut Dante saat melihat aksi Cintara.“Yang bilang gue tukang becak juga siapa?” kelakar Cintara tak kalah ketusnya.Dante lantas mengambil alih koper milik Cintara lalu menggandeng tangan perempuan itu tanpa mengatakan apa-apa. Dan sikapnya itu seketika membuat dentuman jantung Cintara melonjak dengan cepat.“Lo kenapa sih, Te?” tanya Cintara heran dengan sikap Dante yang akhir-akhir ini aneh terhadapnya."Kenapa?""Sikap lo nggak kayak biasanya tahu, nggak! Lo habis ngelakuin kesalahan, ya?"Dante tersenyum kecil. Mereka tiba di parkiran. "Udah yuk, masuk!" Pria itu lantas membukakan pintu mobil untuk Cintara, membiarkan perempuan itu masuk lebih dulu. Baru kemudian Dante berlari memutar menuju kursi kemudinya.“Lo nggak lagi mens, kan? Belum jadwalnya kayaknya, deh,” tanya Dante sembari memasang seat belt-nya.“Kenapa emangnya?”Dante mulai melajukan mobilnya. “Habisnya ngomel-ngomel terus, sih.”"Soal cowok tadi? Habisnya punya mata jelalatan. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja!" gerutu perempuan itu dengan entengnya.Sementara Dante tak lagi menanggapi Cintara memilih untuk menyandarkan punggungnya ke belakang, kemudian menoleh ke arah Dante yang mulai melajukan mobilnya.“Gue numpang bobo di apartemen lo ya, Te?” ujar Cintara begitu mobil sudah melaju membelah kemacetan kota. “Gue ada acara nanti malam sama Kanaya.”“Ke mana emangnya? Tumben?”Cintara menggeleng. “Biasa ladies night. Jadi gue pengen tidur sebentar tanpa gangguan apapun, terutama dari nyokap. Tapi kalau lo mau mijitin gue, gue nggak nolak kok, Te," ujar perempuan itu sembari terkekeh.“Bayar, ya?”Dante terkekeh. Setelahnya pria itu kembali fokus dengan kemudinya, mengabaikan Cintara yang sudah terlelap dengan matanya yang terpejam.Setelah berkendara selama tiga puluh menit lamanya, akhirnya Dante tiba di basement apartemennya. “Ta, turun yuk! Kita udah sampai,” kata pria itu sembari membangunkan perempuan itu.Cintara sontak membuka matanya, perempuan itu menguap sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Cintara kemudian turun dari mobil dan segera bergegas menuju unit milik Dante.Begitu tiba di unit Dante, Cintara melangkah ke dalam. Belum pintu apartemen itu tertutup sempurna, Cintara dengan tingkah konyolnya lantas melepaskan seragam pramugarinya hingga kini hanya menyisakan pakaian dalamnya.“Astaga, Ta!”Cintara menolehkan wajahnya dengan tanpa rasa bersalah. “What?”“Nggak bisa, ya nunggu sampai kamar dulu baru lepas baju begitu?”Cintara mengerjap bingung. “Udah gerah duluan, Te! Lagian kenapa sih, lo sensi banget? Kan emang biasanya lo lihat gue begini?” kelakar perempuan itu dengan santainya.“Gue kan juga cowok normal, Ta. Kalau tiba-tiba gue apa-apain lo gimana?”Cintara terkekeh pelan. “Justru karena gue yakin lo nggak bakalan ngapa-ngapain, makanya gue pede aja.”Dante hanya bisa menggelengkan kepalanya. Pria itu lantas meraih seragam Cintara yang berserakan di atas lantai, kemudian menyampirkan ke bagian depan tubuh Cintara yang kini terekspos sempurna. “Gue jadi takut kalau lo terus-terusan gini sama gue, Ta.”Cintara mengernyit. “Takut kenapa?”“Gue cowok normal. Gue punya batas kesabaran, tapi gue juga bisa saja gelap mata. Jadi, jangan sembarangan buka baju begini lagi, okay?” Sementara Cintara hanya diam. “Kalau gue khilaf, gimana?”Lagi-lagi Cintara terdiam.“Gue jadi bertanya-tanya, lo nggak begini juga sama cowok lain, kan?”Seketika raut wajah Cintara berubah. “Ya nggak dong, Te! Gue begini cuma sama lo doang! Enak aja mereka menikmati keindahan surga secara cuma-cuma.”Dante menerbitkan senyumannya. “Jadi ini surga cuma buat gue?” goda pria itu dengan entengnya.“Apaan sih lo, Te! Udah ah, gue mau mandi dulu!” Perempuan itu lantas membalikkan badannya, bergegas meninggalkan Dante. Yang untungnya Dante tidak melihat bagaimana meronanya wajah Cintara saat ini.“Wah… sikap Dante kenapa jadi aneh gini sih? Kan gue jadi deg-degan gini!” gerutu perempuan itu begitu pintu kamar mandi tertutup sempurna.***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege