CINTARA masih tergamam di halaman depan rumahnya saat mendadak kepalanya terasa pening. Setelah memastikan mobil Dante menghilang dari pandangannya, perempuan itu duduk berjongkok dengan kedua tangannya yang memegang kepalanya.
“Wah, lo kayaknya udah benar-benar gila deh, Ta. Lo barusan ngajak main-main sahabat lo sendiri? Lo perlu dibawa ke rumah sakit jiwa kayaknya deh, Ta,” ujarnya pada dirinya sendiri.Cintara hanya bisa mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia bertindak sekonyol itu? Bahkan hanya dengan melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan Dante padanya tadi, ingin rasanya Cintara tenggelam detik itu juga.Perempuan itu menarik napas pendek lalu mengembuskannya perlahan. Ia kemudian bangkit lalu melangkah menuju teras rumahnya. Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam saat Cintara tiba di rumah. Tubuhnya terasa lelah luar biasa, padahal ia sangat yakin tidak melakukan aktivitas apapun seharian ini.Cintara menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu rumahnya. “Assalamualaikum, Mama.”Mama Elisa yang tengah sibuk di dapur lantas menoleh cepat. “Tumben anak Mama ngucapin salam?” sindir sang ibu, yang langsung dibalas pelototan tajam dari Cintara. "Waalaikumsalam, Anak Mama Yang Paling Cantik di sini.”“Ck! Maksa banget sih, Ma. Masa cuma cantiknya di sini doang?” sahut Cintara kesal.Mama Elisa meninggalkan dapur lalu melangkah mendekati putrinya yang sudah melemparkan punggungnya di sofa dengan matanya yang memejam. “Kok lesu? Habis diapain sama Dante?” tanya Mama Elisa penasaran.Cintara membuka matanya lalu menoleh dengan cepat. “ Mama kok tahu kalau aku sama Dante?”Mama Elisa menghela napas panjang lalu mendecak. “Kamu nggak tahu, kan kalau selama Mama kamu tinggal kerja, Mama belajar ilmu dukun?”“Mama!” sergah Cintara. “Tapi bukan dukun beranak, kan?”“Dukun santet!”“Sumpah, nggak lucu ya, Ma!” sungut Cintara dengan wajah cemberutnya. “Aku serius, Ma. Mama tahu dari mana aku dianterin sama Dante?”“Mama itu gini-gini pendengarannya masih bagus, Cintara. Suara mobilnya aja kedengaran sampe sini, Ta. Gimana Mama nggak tahu, coba?""Oh.” Cintara manggut-manggut. “Mama nggak pakai ngintip-ngintip segala tapi, kan?”“Apanya yang mau diintip, Ta? Kayak Dante bakalan macem-macemin kamu aja! Mama nggak sekurangkerjaan itu. Noh, cucian di dapur banyak!”Cintara ikut menoleh ke dapur. “Dih, lagian cucian apa, coba? Orang aku aja nggak makan di rumah.”“Tadi sore Mama, Tante Tika, Tante Maya, sama Tante Elza, habis rujakan di depan, Ta. Kamu tahu nggak, anaknya Tante Maya bentar lagi mau nikah, lho.”“Terus?” Cintara sebenarnya tahu apa kelanjutan kalimat Mama Elisa setelah ini, namun ia mencoba bersikap tak acuh.“Kamu kapan?” Nah kan!Cintara menghela napas panjang. “Mama bisa nggak sih dikurang-kurangin sesi bergosipnya sama tetangga? Bisa menimbulkan penyakit jantung sama hipertensi lho, Ma.”“Kamu doain Mama hipertensi?” sungut Mama Elisa tak terima.“Nggak gitu, Ma. Tapi emang beneran, kok.” Cintara mengusap matanya yang mulai pedas. “Soal jodoh, pokoknya percayakan semua sama aku, Ma. Ini aku juga udah usaha, kok. Cuma jodohnya aja masih ngumpet sampai sekarang."Mama Elisa lantas menjentikkan jari. "Bagus berarti! Habis ini Mama telepon Pak Praba, deh. Bilang kalo Mama mau nerima lamaran anaknya. Begitu kan, Ta?”Cintara sontak membelalak. “Seminggu itu kalau dari pas Mama ulang tahun sampai sekarang baru dua hari, Ma. Aku masih ada waktu lima hari buat nyari jodoh. Dan Mama nggak usah khawatir, karena aku bakalan nemu jodoh dalam waktu lima hari. Jadi Mama nggak usah aneh-aneh segala, deh!”“Heh, mana ada! Kamu nemu jodoh dalam waktu lima hari tuh di mana, Ta? Awas aja ya, kalau kamu pulang bawa cowok tapi ternyata dia suami perempuan lain atau jangan-jangan kamu simpanan om-om!”“Astagfirullah Mama! Cintara nggak segila itu, ya. Gini-gini gebetan Cintara tuh banyak, Ma.” Cintara menggigit ujung kukunya, terlihat pongah di hadapan sang ibu. “Cuma akunya aja yang pilih-pilih. Aku nggak mungkin bawa calon mantu buat Mama yang kualitasnya kaleng-kaleng, kan?”“Inget! Ganteng, kaya, dan memesona.”“Dasar matrealistis!”“Itu namanya realistis, Ta. Kamu mau kenyang sama cinta, doang? Mana kamu jajannya kan banyak. Belum make-up kamu yang bejibun itu. Kalau kamu nyari yang nggak kaya, bisa bangkrut yang ada. Mending sama anaknya Pak Praba, Ta. Yang udah jelas kerjaannya. Dijamin kamu nggak bakalan sengsara, kok.”Cintara mendelik tajam. “Hell no, Mama. Dibilang aku bakalan dapet jodoh dalam waktu lima hari, kok!"“Memangnya ada pria gila yang mau sama kamu? Awas aja kalau kamu asal comot di pinggir jalan! Mama tendang juga kamu!”“Astaga! Mama nggak usah kepo, deh! Pokoknya Mama nggak usah khawatir, okay? Aku bakalan bawain jodoh masa depan sesuai dengan kriteria Mama. Jadi Mama nggak usah repot-repot ngurusin jodoh buat aku, hm? Tampan, kaya, dan memesona. Mau dia darah biru apa ungu nggak sekalian, Ma?”“Awas aja kamu mau nikah sama sembarang orang, Ta! Mama cekek juga kamu!” ancam Mama Elisa kesal.Cintara menghela napas, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Udah ah, Ma. Aku mau mandi dulu, habis itu aku mau tidur. Kali aja nanti di alam mimpi ketemu sama pangeran berkuda putih.”“Nggak usah berkhayal! Kamu pikir sekarang kamu hidup di zaman batu, masih ada orang pakai kuda bepergian?”Cintara yang gemas dengan sang ibu, memilih untuk tidak menanggapinya. Berdebat dengan Mama Elisa memang bukan lawan yang seimbang. “Auk ah, Ma.”Cintara bangkit lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi Mama Elisa. “Mama jangan capek-capek dong, ah. Udah malam, Ma. Buruan Mama juga istirahat. “Cintara meninggalkan ruang tamu dan bergegas menuju ke lantai dua. Tiba di kamarnya, perempuan itu melemparkan tasnya ke sembarang, melepaskan high heels yang dikenakannya. Perempuan itu sudah meraih handuk yang tersampir di balkon kamarnya saat tiba-tiba saja ponselnya berdering.Perempuan itu menghela napas. Sadar jika yang menghubunginya bukanlah seseorang yang ia harapkan. Cintara sudah benar-benar muak. Namun ia sama sekali tidak punya pilihan lain lantaran Cintara harus segera menyelesaikan urusan yang ada di antara mereka.“Halo?”“Ta, kamu ke mana aja, sih? Kenapa sulit banget dihubungi? Kamu di mana sekarang?”“Aku sibuk, Nik.”“Sibuk apa? Kamu di mana sekarang?”Cintara menghela napas panjang. “Di Jakarta.” Perempuan itu menaruh handuknya, lalu duduk di tepi ranjang tidurnya. “Nik…”“Hm?”“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ujar Cintara dengan tenang.“Ada apa, Ta?”“Aku mau kita putus.” Ada jeda sesaat. Tidak ada tanggapan apapun dari Niko di seberang sana. “Aku tahu kalau ini kedengarannya mendadak, tapi aku—”“Tapi kenapa, Ta?”Sejujurnya Cintara tidak ingin membongkar kejelekan Niko selama ini. Karena hal itu akan terlihat menyedihkan baginya, terlebih mereka adalah satu partner kerja. “Nggak ada alasan. Aku cuma pengen kita putus aja, okay? Aku ngerasa nggak cocok aja sama kamu. Aku yakin kalau aku bukan tipe idaman kamu. Pun sebaliknya. Jadi—”“Ta, kamu bercanda, kan?”“Aku serius, Nik. Aku nggak mau terus-terusan membohongi perasaanku. Kenyataannya, perasaanku ke kamu memang udah menghilang seiring berjalannya waktu. Aku ngerasa nggak pantas buat kamu, Nik. Ada banyak cewek yang bisa bahagiain kamu, kok.”“Ta…”“Sorry, Nik. Em, udahan dulu, ya? Udah malam, aku capek dan aku udah ngantuk banget.”Lalu tanpa menunggu pria itu menanggapi perkataannya, Cintara sudah lebih dulu mengakhiri panggilan tersebut. Bayangan bagaimana Niko tengah bermesraan dengan perempuan lain mendadak kembali membayang di kepalanya.“Jijik gue sama lo, Nik!” desis perempuan itu muak. Cintara baru saja ingin bangkit dari duduknya untuk melangsungkan ritual mandinya, namun lagi-lagi ponselnya berdering. Perempuan itu mendesah pelan, tadinya ia kira pesan dari Niko, tapi rupanya pesan dari orang lain.[El Dante Arya Prabakesa: Gue mampir ke rumah Mama, Ta. Lo lagi apa?]Dan untuk pertama kalinya Cintara terdiam. Melihat pesan yang baru saja dikirimkan Dante untuknya, entah kenapa membuat bibir perempuan itu seketika melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman.***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege