Share

5. Mama Elisa VS Cintara

CINTARA masih tergamam di halaman depan rumahnya saat mendadak kepalanya terasa pening. Setelah memastikan mobil Dante menghilang dari pandangannya, perempuan itu duduk berjongkok dengan kedua tangannya yang memegang kepalanya. 

“Wah, lo kayaknya udah benar-benar gila deh, Ta. Lo barusan ngajak main-main sahabat lo sendiri? Lo perlu dibawa ke rumah sakit jiwa kayaknya deh, Ta,” ujarnya pada dirinya sendiri.

Cintara hanya bisa mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia bertindak sekonyol itu? Bahkan hanya dengan melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan Dante padanya tadi, ingin rasanya Cintara tenggelam detik itu juga.

Perempuan itu menarik napas pendek lalu mengembuskannya perlahan. Ia kemudian bangkit lalu melangkah menuju teras rumahnya. Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam saat Cintara tiba di rumah. Tubuhnya terasa lelah luar biasa, padahal ia sangat yakin tidak melakukan aktivitas apapun seharian ini.

Cintara menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu rumahnya. “Assalamualaikum, Mama.”

Mama Elisa yang tengah sibuk di dapur lantas menoleh cepat. “Tumben anak Mama ngucapin salam?” sindir sang ibu, yang langsung dibalas pelototan tajam dari Cintara. "Waalaikumsalam, Anak Mama Yang Paling Cantik di sini.”

“Ck! Maksa banget sih, Ma. Masa cuma cantiknya di sini doang?” sahut Cintara kesal.

Mama Elisa meninggalkan dapur lalu melangkah mendekati putrinya yang sudah melemparkan punggungnya di sofa dengan matanya yang memejam. 

“Kok lesu? Habis diapain sama Dante?” tanya Mama Elisa penasaran.

Cintara membuka matanya lalu menoleh dengan cepat. “ Mama kok tahu kalau aku sama Dante?”

Mama Elisa menghela napas panjang lalu mendecak. “Kamu nggak tahu, kan kalau selama Mama kamu tinggal kerja, Mama belajar ilmu dukun?”

“Mama!” sergah Cintara. “Tapi bukan dukun beranak, kan?”

“Dukun santet!”

“Sumpah, nggak lucu ya, Ma!” sungut Cintara dengan wajah cemberutnya. “Aku serius, Ma. Mama tahu dari mana aku dianterin sama Dante?”

“Mama itu gini-gini pendengarannya masih bagus, Cintara. Suara mobilnya aja kedengaran sampe sini, Ta. Gimana Mama nggak tahu, coba?"

"Oh.” Cintara manggut-manggut. “Mama nggak pakai ngintip-ngintip segala tapi, kan?”

“Apanya yang mau diintip, Ta? Kayak Dante bakalan macem-macemin kamu aja! Mama nggak sekurangkerjaan itu. Noh, cucian di dapur banyak!”

Cintara ikut menoleh ke dapur. “Dih, lagian cucian apa, coba? Orang aku aja nggak makan di rumah.”

“Tadi sore Mama, Tante Tika, Tante Maya, sama Tante Elza, habis rujakan di depan, Ta. Kamu tahu nggak, anaknya Tante Maya bentar lagi mau nikah, lho.”

“Terus?” Cintara sebenarnya tahu apa kelanjutan kalimat Mama Elisa setelah ini, namun ia mencoba bersikap tak acuh.

“Kamu kapan?” Nah kan!

Cintara menghela napas panjang. “Mama bisa nggak sih dikurang-kurangin sesi bergosipnya sama tetangga? Bisa menimbulkan penyakit jantung sama hipertensi lho, Ma.”

“Kamu doain Mama hipertensi?” sungut Mama Elisa tak terima.

“Nggak gitu, Ma. Tapi emang beneran, kok.” Cintara mengusap matanya yang mulai pedas. “Soal jodoh, pokoknya percayakan semua sama aku, Ma. Ini aku juga udah usaha, kok. Cuma jodohnya aja masih ngumpet sampai sekarang."

Mama Elisa lantas menjentikkan jari. "Bagus berarti! Habis ini Mama telepon Pak Praba, deh. Bilang kalo Mama mau nerima lamaran anaknya. Begitu kan, Ta?”

Cintara sontak membelalak. “Seminggu itu kalau dari pas Mama ulang tahun sampai sekarang baru dua hari, Ma. Aku masih ada waktu lima hari buat nyari jodoh. Dan Mama nggak usah khawatir, karena aku bakalan nemu jodoh dalam waktu lima hari. Jadi Mama nggak usah aneh-aneh segala, deh!”

“Heh, mana ada! Kamu nemu jodoh dalam waktu lima hari tuh di mana, Ta? Awas aja ya, kalau kamu pulang bawa cowok tapi ternyata dia suami perempuan lain atau jangan-jangan kamu simpanan om-om!”

“Astagfirullah Mama! Cintara nggak segila itu, ya. Gini-gini gebetan Cintara tuh banyak, Ma.” Cintara menggigit ujung kukunya, terlihat pongah di hadapan sang ibu. “Cuma akunya aja yang pilih-pilih. Aku nggak mungkin bawa calon mantu buat Mama yang kualitasnya kaleng-kaleng, kan?”

“Inget! Ganteng, kaya, dan memesona.”

“Dasar matrealistis!”

“Itu namanya realistis, Ta. Kamu mau kenyang sama cinta, doang? Mana kamu jajannya kan banyak. Belum make-up kamu yang bejibun itu. Kalau kamu nyari yang nggak kaya, bisa bangkrut yang ada. Mending sama anaknya Pak Praba, Ta. Yang udah jelas kerjaannya. Dijamin kamu nggak bakalan sengsara, kok.”

Cintara mendelik tajam. “Hell no, Mama. Dibilang aku bakalan dapet jodoh dalam waktu lima hari, kok!"

“Memangnya ada pria gila yang mau sama kamu? Awas aja kalau kamu asal comot di pinggir jalan! Mama tendang juga kamu!”

“Astaga! Mama nggak usah kepo, deh! Pokoknya Mama nggak usah khawatir, okay? Aku bakalan bawain jodoh masa depan sesuai dengan kriteria Mama. Jadi Mama nggak usah repot-repot ngurusin jodoh buat aku, hm? Tampan, kaya, dan memesona. Mau dia darah biru apa ungu nggak sekalian, Ma?”

“Awas aja kamu mau nikah sama sembarang orang, Ta! Mama cekek juga kamu!” ancam Mama Elisa kesal.

Cintara menghela napas, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Udah ah, Ma. Aku mau mandi dulu, habis itu aku mau tidur. Kali aja nanti di alam mimpi ketemu sama pangeran berkuda putih.”

“Nggak usah berkhayal! Kamu pikir sekarang kamu hidup di zaman batu, masih ada orang pakai kuda bepergian?”

Cintara yang gemas dengan sang ibu, memilih untuk tidak menanggapinya. Berdebat dengan Mama Elisa memang bukan lawan yang seimbang. “Auk ah, Ma.”

Cintara bangkit lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi Mama Elisa. “Mama jangan capek-capek dong, ah. Udah malam, Ma. Buruan Mama juga istirahat. “

Cintara meninggalkan ruang tamu dan bergegas menuju ke lantai dua. Tiba di kamarnya, perempuan itu melemparkan tasnya ke sembarang, melepaskan high heels yang dikenakannya. Perempuan itu sudah meraih handuk yang tersampir di balkon kamarnya saat tiba-tiba saja ponselnya berdering.

Perempuan itu menghela napas. Sadar jika yang menghubunginya bukanlah seseorang yang ia harapkan. Cintara sudah benar-benar muak. Namun ia sama sekali tidak punya pilihan lain lantaran Cintara harus segera menyelesaikan urusan yang ada di antara mereka.

“Halo?”

“Ta, kamu ke mana aja, sih? Kenapa sulit banget dihubungi? Kamu di mana sekarang?”

“Aku sibuk, Nik.”

“Sibuk apa? Kamu di mana sekarang?”

Cintara menghela napas panjang. “Di Jakarta.” Perempuan itu menaruh handuknya, lalu duduk di tepi ranjang tidurnya. “Nik…”

“Hm?”

“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ujar Cintara dengan tenang.

“Ada apa, Ta?”

“Aku mau kita putus.” Ada jeda sesaat. Tidak ada tanggapan apapun dari Niko di seberang sana. “Aku tahu kalau ini kedengarannya mendadak, tapi aku—”

“Tapi kenapa, Ta?”

Sejujurnya Cintara tidak ingin membongkar kejelekan Niko selama ini. Karena hal itu akan terlihat menyedihkan baginya, terlebih mereka adalah satu partner kerja. “Nggak ada alasan. Aku cuma pengen kita putus aja, okay? Aku ngerasa nggak cocok aja sama kamu. Aku yakin kalau aku bukan tipe idaman kamu. Pun sebaliknya. Jadi—”

“Ta, kamu bercanda, kan?”

“Aku serius, Nik. Aku nggak mau terus-terusan membohongi perasaanku. Kenyataannya, perasaanku ke kamu memang udah menghilang seiring berjalannya waktu. Aku ngerasa nggak pantas buat kamu, Nik. Ada banyak cewek yang bisa bahagiain kamu, kok.”

“Ta…”

“Sorry, Nik. Em, udahan dulu, ya? Udah malam, aku capek dan aku udah ngantuk banget.”

Lalu tanpa menunggu pria itu menanggapi perkataannya, Cintara sudah lebih dulu mengakhiri panggilan tersebut. Bayangan bagaimana Niko tengah bermesraan dengan perempuan lain mendadak kembali membayang di kepalanya.

“Jijik gue sama lo, Nik!” desis perempuan itu muak. 

Cintara baru saja ingin bangkit dari duduknya untuk melangsungkan ritual mandinya, namun lagi-lagi ponselnya berdering. Perempuan itu mendesah pelan, tadinya ia kira pesan dari Niko, tapi rupanya pesan dari orang lain.

[El Dante Arya Prabakesa: Gue mampir ke rumah Mama, Ta. Lo lagi apa?]

Dan untuk pertama kalinya Cintara terdiam. Melihat pesan yang baru saja dikirimkan Dante untuknya, entah kenapa membuat bibir perempuan itu seketika melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status