Share

Temaram Hilang Binar
Temaram Hilang Binar
Penulis: Metathea

Pertemuan I

"Kamu jadi pergi sore ini?" tanya seorang perempuan dengan rambut sebahu yang mulai memutih nyaris di seluruh bagian.

Pertanyaan itu dibalas anggukan oleh Zahir, remaja laki-laki yang bulan depan akan menginjak usia delapan belas. Saat ini dia sedang menyisir rambutnya ke kiri sembari menatap pantulan dirinya di cermin berornamen bunga teratai pada bagian atas dan bawahnya. Sesekali Zahir menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada bagian rambutnya yang terlihat aneh.

"Jangan lupa sampaikan kalau Nenek baru bisa ke sana minggu depan," lanjut perempuan tadi.

Zahir memutar badannya menghadap perempuan yang memanggil dirinya Nenek lalu menyahut, "Ada lagi yang tidak boleh aku lupakan?"

Sang nenek terkekeh lalu menepuk pinggang Zahir. Zahir membalasnya dengan senyuman. Sepertinya sang nenek lupa kalau ia sudah mengatakan hal itu tidak kurang dari lima kali hari ini. Zahir menghela napas dan bergumam dalam hati, harusnya ia yang berkali-kali mengingatkan ini dan itu untuk sang nenek. Semoga kepikunan tidak hinggap dan tumbuh terlalu cepat di tubuh neneknya—salah satu doa yang tidak pernah libur untuk ia panjatkan setiap hari.

"Aku berangkat naik kendaraan umum, jadi harus pergi lebih awal supaya tidak tiba terlalu malam di rumah Pak Ali," kata Zahir.

Lelaki itu berlutut di depan sang nenek, menggenggam tangan kanan neneknya dengan kedua tangan, lalu mencium punggung tangan keriput itu. Setelah sekitar tiga detik menunduk Zahir mendongakkan kepala lalu tersenyum tanpa melepaskan genggamannya dari tangan Aini neneknya. Aini mengangguk-angguk lalu membelai kepala cucunya dengan hati-hati karena tidak ingin merusak tatanan rambut yang sudah Zahir selesaikan beberapa waktu lalu.

"Kalau rambut kamu dibuat begini rasanya seperti Januar yang mau pamit untuk menemui pacarnya," kata Aini.

"Memangnya aku semirip itu dengan Ayah? Ah, pasti aku jauh lebih ganteng dari dia," Zahir mengernyitkan dahi.

"Iya-iya... kamu jauh lebih ganteng dari Ayahmu. Perawakan kalian persis sama, tapi untung saja wajah Ibumu yang menurun ke kamu."

Aini sangat senang bergurau dengan topik ini. Selalu menyebut kalau Zahir terlahir dengan wajah cukup rupawan berkat sang ibu dan tubuh yang tinggi tegap berkat sang ayah.

"Jadi maksudnya Ayah jelek, kan?" kata Zahir disertai tawa cukup keras.

"Kamu yang bilang, bukan Nenek!" seru Aini sambil mencubit pipi Zahir dengan tangan kirinya.

Canda keduanya dibuyarkan oleh suara lonceng jam yang usianya lebih dari Zahir. Lonceng itu menandakan pukul 3 sore, artinya Zahir sudah harus bergegas pergi. Zahir bangkit lalu menggendong tas cokelat tua di pundak. Ponsel dan uang tunai ia pisahkan di saku kanan-kiri celananya. Tidak lupa beberapa keping uang koin ia masukkan ke dalam salah satu kantong di jaketnya untuk 'membungkam' pengamen yang pasti akan ia temui sepanjang perjalanan.

"Zahir pergi, Nek. Jangan lupa kunci pintunya ya," kata Zahir yang berjalan menuju pintu.

"Hati-hati di jalan. Telepon nenek kalau sudah sampai, ya?" Aini turut berdiri dan berjalan sedikit tertatih ke arah pintu.

Zahir berbalik lalu meraih tangan Aini untuk membantu jalannya sembari menjawab, "Iya Nenekku tercinta!"

Lelaki muda itu melepaskan genggamannya dari sang nenek setelah sampai di ambang pintu. Ia lalu sedikit berlari menjauh dari rumah seraya melambaikan tangan.

Tidak butuh waktu lama Zahir sudah tiba di salah satu pemberhentian bus. Langit sore itu sedikit mendung, berbeda dari perkiraan cuaca yang mengatakan bahwa hari ini akan cerah sepanjang hari. Zahir berharap kalaupun hujan turun semoga langit mengizinkannya untuk terlebih dulu sampai di tempat tujuan. Setelahnya tak apa jika seluruh air di atas sana tumpah ruah.

Bus berwarna biru tua berhenti di depan Zahir tepat pukul 3.15. Pemuda itu lalu menaiki kendaraan panjang itu dan memilih tepat duduk paling belakang. Ia duduk dengan memangku tas punggung tas cokelat dan menurunkan resleting jaketnya hingga seperempat terbuka. Zahir membuka jendela bus dan menikmati angin dingin dari celah kecil itu.

Sepoi-sepoi angin mulai menidurkan Zahir. Dalam lelap yang cuma sekejap itu Zahir bermimpi tentang pelataran luas yang penuh dengan guguran daun.

Beberapa meter di depan ia juga melihat seorang lelaki yang sudah cukup lama tidak ia temui, Januar. Sementara tubuh Zahir mengecil menjadi setengah usianya.

Keduanya saling menatap lalu tersenyum. Januar lalu memasang wajah jahil dengan belalang di tangannya. Pria tinggi itu berjalan mendekati Zahir dengan tawa yang renyah. Dengan refleks Zahir berjalan mundur, ikut tertawa padahal ia takut.

Tangan besar Januar berhasil menyentuh bahu Zahir. Zahir terkejut dan seketika tanah pijakannya seperti berubah menjadi jeli—licin dan tidak stabil. Ia tergelincir dan merasakan tubuhnya terbentur. Tapi jeli yang harusnya terasa empuk justru terasa keras dan kaku.

Kedua mata Zahir terbuka dan langsung menemukan beberapa pasang mata sudah menatapnya sambil menahan tawa, tapi ada juga yang sudah cekikikan.

Salah satu pasang di antaranya berdiri tepat di sampingnya sembari melayangkan tatapan datar namun mengintimidasi. Seorang lelaki bertubuh kekar dengan aroma keringat yang cukup untuk membuang rasa kantuk Zahir.

Dengan cemas dan degup jantung yang masih sangat cepat Zahir membuka resleting depan tasnya, padahal tidak ada apa-apa di sana. Lalu lelaki kekar tadi menengadahkan tangan kanannya tetap di depan wajah Zahir.

"I-iya, Pak?" Suara Zahir agak gemetar.

"Ongkosnya dulu habis itu boleh tidur lagi," jawab si lelaki kekar yang ternyata adalah kondektur bus.

"O-oh iya...," Zahir buru-buru merogoh saku celananya dan mengambil selembar uang berwarna merah dari sana. "..., ini Pak."

Kondektur mengambil uang dari tangan Zahir dan dengan cekatan menarik beberapa lembar uang lusuh yang ia tumpuk di tangannya. Zahir menerima kembaliannya.

Bukan candaan antara ayah dan anak. Bukan juga terjatuh di atas guguran daun indah. Zahir tidak sedang dikejar oleh sang Ayah melainkan dibangunkan oleh kondektur bus untuk membayar ongkos.

Zahir menjadi kesal, atau lebih tepatnya sangat malu. Siapa di dunia ini yang tidak pernah bermimpi terjatuh atau terpeleset? Ya, Zahir hanya tergelincir saat sedang bermain di satu dimensi hingga melonjak di dimensi lainnya. Hanya saja ia 'tergelincir' diwaktu dan tempat yang kurang tepat.

"Pasti mimpinya terlalu rusuh. Antara dia bermimpi dipegang gorila atau jatuh ke got? Hahaha...." Suara bisikan yang sama sekali tidak terdengar berbisik muncul dari bangku seberang Zahir duduk.

"Untung tidak sampai ngompol, iya kan?"

Dua perempuan yang terlihat sebaya dengan Zahir masih sibuk menertawakan lelaki di sebelah mereka itu. Sementara Zahir sudah tidak lagi bergeming dengan suara mereka ataupun suara lainnya. Rasa kesalnya juga hilang hampir tanpa sisa.

Mata Zahir melayang ke arah luar jendela bus. Deretan bangunan pinggir jalan yang mulai tidak asing untuk Zahir. Ia tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari sepanjang jalan itu. Matanya menanti bangunan berwarna biru langit dengan tulisan "Alas Kakiku" di bagian depannya.

Benar saja, tidak sampai lima menit Zahir sudah bisa membaca tulisan yang ia nanti-nanti. Hatinya mekar kegirangan. Bukan cuma tulisan tadi, tapi mata Zahir juga menangkap dua sosok yang terlihat seperti ayah dan anak. Satu sosok yang wajahnya sangat ia kenal karena hampir setiap hari mondar-mandir dimasa kecilnya. Satu lagi wajah baru yang belum pernah mengisi ingatan Zahir.

Wajah yang dimata Zahir sangat cantik dengan senyum yang berbinar-binar. Wajah yang ternyata akan saling bertautan takdir dengan Zahir untuk beberapa waktu yang akan datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status