Share

Pertemuan II

Zahir beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu bus bagian depan. Tangannya bertumpu bergantian di ujung bangku untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

Sang sopir menginjak rem agar kecepatan bus menurun hingga berhenti tepat di halte tujuan Zahir. Pemuda itu melangkah turun kemudian mengembalikan posisi ransel ke punggungnya. Ia tidak meninggalkan halte begitu saja. Ia menunggu dua sosok yang ia lihat tadi dan berencana untuk ke tempat tujuan bersama-sama.

Zahir melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setidaknya ia menghabiskan waktu hampir dua jam di dalam bus.

Lalu tepat saat matahari turun dari peraduan dan nyaris tenggelam, Zahir melihat dua orang yang ia nanti di ujung jalan. Keduanya terlihat seolah datang dari kuningnya cakrawala.

Beberapa belas langkah kemudian mereka sudah nyaris tiba di depan Zahir. Dengan senyuman yang mengembang Zahir berjalan menghampiri dua orang tadi sembari melambaikan tangan kanannya.

"Pak Ali!" seru Zahir.

Satu nama disebut dan dua kepala yang menoleh. Laki-laki paruh baya yang sedang bergandengan tangan dengan seorang gadis tampak memicingkan mata. Zahir menghampiri laki-laki itu lalu meraih tangannya untuk dia salami.

"Lama tidak berjumpa, Pak. Ini Zahir," ucap Zahir setelah menempelkan ujung hidungnya di atas punggung tangan lelaki yang ia panggil Pak Ali tadi.

Sembari menunggu respon dari Ali, ekor mata Zahir mencuri pandang ke arah perempuan yang menggandeng lengan Ali. Hanya senyum canggung yang mampu tampil dari wajah Zahir.

Perempuan itu membalas senyuman Zahir tidak kalah canggung. Di wajahnya juga terselip tatapan bingung sekaligus khawatir. Ia mengeratkan pelukan di lengan Ali sebagai mekanisme pertahanan yang otomatis keluar jika berada dalam situasi yang tidak dimengerti.

"Putra Januar? Betulkah itu? Astaga, sudah berapa lama kita tidak bersua sampai bocah laki-laki kecil kami tumbuh lebih tinggi dariku?" suara berat Ali memecah kecanggungan.

"Saya kira Bapak sudah melupakan saya," sahut Zahir.

"Mana mungkin? Oh! Ini kakakmu, Binar. Mungkin kamu tidak ingat karena sudah belasan tahun lalu," tangan Ali menggenggam jemari perempuan di sampingnya.

Akhirnya perempuan yang disapa Binar itu sedikit demi sedikit memahami situasi ini. Nama Zahir awalnya sedikit buram, tapi Januar menjadi jembatan ingatan Binar untuk mengenali Zahir lebih dari sekadar nama. Binar melonggarkan genggamannya dan tersenyum kepada Zahir.

"Iya, aku ingat," kata Binar yang kemudian mengulurkan tangan kanannya agar bisa bersalaman dengan Zahir.

Zahir menyambut tangan Binar dengan sebuah genggaman lembut. Di antara lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki sore itu darah Zahir ikut berlalu-lalang dari ujung kaki hingga kepala. Jalan raya dan hati Zahir, keduanya sepakat bahwa sore itu lengang tetapi sedikit sibuk.

Hati Zahir sibuk menjustifikasi, menerka-nerka, mengagumi, dan melarang. Beberapa detik yang kritis untuk pemuda yang belum genap delapan belas tahun.

"Ayo kita pulang sebelum gelap. Aku lupa menyalakan lampu terlebih dulu sebelum pergi tadi," kata Ali untuk mengakhiri perhentian mereka di depan halte.

Ali menggandeng Binar dengan tangan kirinya dan tangan Zahir ia genggam dengan tangan kanannya. Tiga orang dengan dua generasi yang berbeda itu berjalan melewati toko-toko dan kedai yang sudah menyalakan lampu karena langit sudah semakin remang. Hanya menyisakan sedikit kemuning yang memantul di kaca bangunan-bangunan usaha maupun pribadi. Mewarnai berbagai benda dan para manusia yang sore itu lewat termasuk Ali, Binar, dan Zahir.

"Akhirnya aku merasakan punya dua anak juga. Andai saja setiap soreku bisa dihabiskan dengan seindah ini," gumam Ali tanpa melepaskan genggamannya dari tangan Binar dan Zahir.

"Saya tidak keberatan pindah kemari. Asalkan Bapak mau memberi saya makan setiap hari...," canda Zahir yang kemudian mengangkat tangan kanannya. Menggulung satu demi satu jari-jarinya dan kembali mengembangkannya lagi sembari berkata, "..., lima kali sehari."

Ali tertawa nyaris terbahak-bahak, sedikit tertahan demi tidak menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Pun Binar, ia hanya melengkungkan senyuman tanpa suara. Tapi senyuman itu sudah dengan lantang menyuarakan bahwa hiburan kecil dari Zahir barusan berhasil meraih poin dari Binar.

"Tidak ada kata keberatan buat putra Januar satu ini. Lima kali dengan satu suap per makan, kan?" Ali membalas candaan Zahir.

"Kalau begitu saya mau mengundurkan diri sebelum mendaftar," kata Zahir.

Perbincangan ringan ketiganya—tidak termasuk Binar yang hanya menyimak lalu tersenyum—berakhir ketika mereka tiba di pelataran rumah kayu yang terlihat gagah dan indah meskipun tidak dibangun dengan gaya modern seperti rumah-rumah di sekitarnya. Ali masih menjaga huniannya otentik sejak awal dibangun. Ia hanya memperbaiki, memperbaharui, atau melapisi ulang tanpa mengganti satupun tata letak dari fondasi hingga isi rumahnya.

"Kapan terakhir kali kamu kemari? Kalau tidak salah masih dengan rambut sebahu, lalu... Januar mendudukkan kamu di bahunya...," Ali mulai menginjak teras rumah.

Seperti mengerti tanpa diperintah. Binar melepaskan gandengannya dengan sang ayah dan mendahului dua pria itu untuk masuk ke dalam rumah. Ia merogoh saku celana longgarnya untuk meraih kunci, memasukkan salah satu dari segerombol kunci pada lubang kecil di pintu, memutar pangkal kuncinya ke kanan hingga dua atau tiga putaran lalu menekan turun gagang pintu.

Sedangkan Ali langsung menaruh pantatnya di atas kursi kayu yang dilapisi bantalan pada dudukannya. Zahir yang bingung menatap Ali dan Binar bergantian. Tentu saja ia memilih untuk ikut duduk bersama Ali. Pemuda itu sangat yakin bahwa mengikuti Binar masuk ke dalam rumah bukanlah pilihan yang tepat.

"Mau minum apa, Zahir? Kami punya teh melati dan baru saja memanen jeruk dari kebun." tanya Binar yang sudah masuk sekitar dua langkah dari pintu.

Gadis itu meraih saklar yang berada tepat di sebelah pintu. Cahaya lampu langsung memperjelas pandangan mata di teras. Dua lampu lebih besar dan terang juga menyala hampir bersamaan. Benda bercahaya itu terletak di bagian depan rumah, menempel pada tiang. Sekitar dua setengah meter dari tanah.

"Apa boleh saya minta dua-duanya?" kata Zahir, lagi-lagi masih berusaha bergurau.

Binar mengangguk ringan lalu melenggang masuk ke dalam rumah sambil berkata, "Baiklah, akan saya buatkan."

Tenggorokan Zahir tercekat. Kata-katanya tidak sampai ke mulut. Binar sudah terlalu jauh karena langkah gadis itu cukup panjang dan bertempo cepat seolah tertantang dengan permintaan Zahir. Zahir hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tidak menyangka gurauannya tidak terbalas dan justru benar-benar dilakukan.

Untuk mengalihkan kebingungan Zahir memutar tubuhnya menghadap ke arah Ali untuk melanjutkan perbincangan mereka sebelumnya. Ia belum sempat menjawab pertanyaan Ali tadi.

"Ah, itu... ingatan saya agak samar tapi sepertinya waktu itu saya baru berumur enam tahun," jawab Zahir—agak terlambat.

"Itu artinya lebih dari sepuluh tahun lalu. Sungguh kamu masih ingat?"

"Tentu saja. Bentuk rumah Bapak masih sama seperti terakhir kali saya ke sini. Bahkan ini juga," Zahir menepuk kursi tempatnya duduk. "Masih sama persis seperti waktu itu."

Ali bersandar pada kursi kemudian menghela napas. Melepaskan lelah yang sedari tadi merambat di kedua kakinya.

"Itulah kenapa aku tidak pernah mau mengubah rumah ini sedikitpun. Biar kalian anak-anak kami, aku dan ayahmu, orang tuaku dan nenek kakek mu, dan beberapa orang lainnya dimasa lalu bisa mempunyai setidaknya satu ingatan yang sama."

Zahir menyimak pemaparan Ali yang agak rumit tapi terdengar menarik di telinganya. Zahir melihat pria di depannya ini memiliki pemikiran yang bisa menyelam seluas-luasnya lautan dengan hanya menahkodai perahu tua kecil tapi kokoh. Ali, si bijaksana yang sederhana.

"Maaf kata-kataku terlalu berbelit-belit," Ali menepuk lengan Zahir.

"Tidak sama sekali, Pak. Saya suka mendengar cerita dari Bapak."

"Bagaimana kamu biasanya memanggil Januar?" tanya Ali.

"Ayah?" Zahir menjawab dengan nada penuh tanya.

Zahir mengerti tapi tidak memahami pertanyaan Ali. Bukankah seharusnya Ali tahu panggilan 'Ayah' dari Zahir untuk Januar? Dan lagi pertanyaan itu seperti sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan.

Ali tersenyum simpul lalu sedikit berbisik, "Kamu tahu seberapa ingin aku mempunyai seorang putra?"

Binar keluar dari rumah dengan sebuah nampan yang di atasnya bertengger satu cangkir dan satu gelas tanpa warna. Gadis itu meletakkan nampan lalu memindahkan cangkir dengan air yang mengepulkan uap tipis di depan Ali dan gelas berisi cairan berwarna jingga kecokelatan di depan Zahir. Sementara sang pembuat minuman cuma duduk di samping Ali tanpa menyediakan segelas pun untuk dirinya sendiri.

"Terima kasih," fokus Zahir teralih dari Ali menuju Binar, minuman di atas meja, lalu kembali ke Ali dan Binar sekaligus karena keduanya duduk bersebelahan.

"Aku harap kamu bisa memanggil aku sebagaimana kamu memanggil Januar," Ali melanjutkan.

Rupanya Ali ingin dipanggil Ayah juga oleh Zahir. Harapan Ali sesegera mungkin dikabulkan oleh Zahir. Hati Zahir sejujurnya kegirangan mendengar permintaan Ali. Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya ia bisa kembali menyematkan panggilan "Ayah" kepada seseorang meskipun bukan sebagai pengganti.

"Baiklah, Ayah. Mulai sekarang saya siap menjadi putra Ayah Ali," kata Zahir.

Binar hanya tersenyum sembari menurunkan pandangannya. Menatap kaki meja yang di sekelilingnya terukir lengkungan-lengkungan untuk mempercantik penampilan benda itu. Senang rasanya untuk Binar bisa kembali bertemu dan mendengarkan suara Zahir setelah bertahun-tahun lamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status