Share

Temen Tapi Demen 2

TEMEN TAPI DEMEN 2

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

      Merubah status dari temen menjadi demen itu tidaklah mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengerti. Bahkan untuk menyadarinya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

      

Mungkin saja itu adalah hasrat sesaat yang hadir karena terbawa suasana dan keadaan. Atau bisa saja itu adalah sebuah halusinasi karena pikirannya sudah berhasil disugesti oleh sebuah candaan.

Soni berusaha menepis semuanya. Itu hanyalah kemungkinan dari sebuah ledekan konyol dari bapaknya. 

Walau jauh sebelum mereka, semasa sekolah dulu sudah banyak yang mengira mereka adalah pasangan 'Couple S' seperti layaknya pemeran dalam tokoh drama. 

Namun semua itu menguap begitu saja seiring waktu berlalu.

“Betewe, makasih lo udah beliin roti tawar. Banyak banget lagi. Gumawo,” ucap Shasa yang terdengar begitu manis di rungu Soni.

Membuat rasa kesalnya yang sejak tadi menggebu kini hilang sudah saat bertatapan dengan Shasa. Juga mampu membawanya kembali ke dalam dunia yang nyata. Dunia di mana persahabatan itu berada.

“Heleh! Pake sok gaya bahasa Korea segala. Lain kali nyetok ngapa ... biar gak nyusahin gue terus,” jawab Soni pura-pura galak. Padahal hatinya merasa senang selalu bisa menjadi pria yang bisa diandalkan.

“Ya, maaf. Sebenarnya kemarin udah mau beli, tapi keburu keluar duluan. Maaf ya, selalu buat lo repot.” Ucapan Shasa kali ini sedikit menyentuh hati kecil Soni. Dalam hatinya pun ia tidak tega melihat temannya kesusahan.

“Lo ke sini naik apaan?” tanya Shasa lagi agar tidak membuat Soni tersentuh dengan ucapannya.

“Sepeda ontel, kenapa?”

“Ngulang masa lalu yuk? Mau gak? Kangen gue dibonceng sepeda sama lo,” ajak Shasa lalu menarik tangan Soni agar segera beranjak keluar menghampiri sepedanya.

Soni terpaksa mengikuti gerak tarikan tangan Shasa tanpa bisa melakukan penolakan. Karena dalam hatinya diam-diam menginginkan selalu berdekatan dengan Shasa.

“Buruan, Son! Entar keburu sore,” ucap Shasa seolah tak sabar.

“Iya, bawel!”

Soni yang baru saja hendak mengayuh sepedanya tiba-tiba terhenti karena mendengar suara Tante Weni memanggilnya.

“Son, mau dibawa kemana si Shasa?” tanya Tante Weni setengah berteriak.

“Jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta. Mau dibawa ke mana hubungan kita,” ucap Tante Weni lagi.

Glek!

Soni langsung terdiam mendengar Tante Weni menirukan bait lagunya Armada. Netranya yang sesekali mencuri pandang ke arah Shasa mampu membuat desirah aneh yang selama ini belum pernah ia rasakan.

Shasa yang sedari tadi sudah berada di boncengan pun mulai tertunduk malu menatap sandal jepit yang bertuliskan ’swallow’ di salah satu sisi sandalnya.

“Ibu ngapain pake teriak-teriak segala sih, bikin gue malu aja di depan Soni. Kalau sampai dia tahu gue naksir, kan, ambyar sudah temenannya,” batin Shasa dalam hati.

Shasa tidak siap jika Soni mengetahui isi hatinya. Ia masih takut kehilangan seorang teman yang sudah biasa selalu ada untuknya.

“Jangan dengerin omongan Ibu, Son. Maklum, lagi tanggal tua belum dapet jatah dari Ayah. Udah sih, kayuh sepedanya. Tarik sis ....” ucap Shasa penuh semangat.

“Semangkaaaaa ....” jawab Soni tak kalah semangat. 

Dengan penuh semangat dan desiran yang mulai merangkak dan menyelip ke hatinya, Soni mengayuh sepedanya hingga ke luar jalanan yang sedikit sepi.

Shasa yang berpegangan tangan dengan melingkar di perut Soni menjadi teringat masa indah yang dulu sewaktu masa sekolah.

Hampir setiap pulang dan berangkat mereka berdua selalu berboncengan. Tertawa bersama, cerita tentang hal-hal yang tidak lucu dan saling menghibur satu sama lain.

Angin sepoi-sepoi di sore hari pun ikut meniupi anak rambut Shasa yang tergerai panjang sebahu. Membuatnya sedikit berantakan. Namun tidak menutupi kecantikannya.

 Shasa memejamkan kedua matanya agar bisa merasakan desiran angin yang telah membawa rasa yang berbeda akan pertemanannya selama ini bersama Soni. 

Akan tetapi Shasa lebih memilih menyimpannya sendiri dalam hati. Ia tidak mau Soni menjaga jarak dengan alasan karena ada yang berbeda.

“Son, inget gak? Waktu dulu kita kecebur kali gegara takut kesiangan?” tanya Shasa tiba-tiba yang membuyarkan konsentrasi Soni dalam bersepeda.

“Inget lah! Emang kenapa? Itu kan hal terlucu selama kita temenan. Gue masih inget wajah lo yang dipenuhi lumpur. Bahkan rambut lo yang berubah seperti kucing kecebur got. Ditambah lagi baju seragam lo yang basah, membuat ... i--itu, e--em transparan. Gue masih inget warna daleman lo,” jawab Soni sedikit terbata di kalimatnya yang terakhir.

“Si*lan lo! Masih inget aja yang itu. Gue jadi malu, tapi juga pengen ngakak,” jawab Shasa kemudian tertawa begitu lepas.

“Gue kangen, Sha.” lirih Soni.

“Gue juga kangen, Son,” lirih Shasa juga.

“Mau lihat sunset gak? Mumpung masih belum terlalu petang?” tawar Soni.

“Boleh deh. Kita ke tempat duduk itu aja, kayaknya posisi sempurna deh,” jawab Shasa sambil menunjuk salah satu tempat duduk di atas jembatan.

Soni pun langsung meletakkan sepedanya asal di sebelah jembatan. Kemudian menghampiri Shasa yang sudah lebih dulu berada di jembatan.

“Bisa naiknya gak, Sha?” tanya Soni yang melihat tempat duduknya agak sedikit tinggi.

Shasa nampak berusaha mencoba agar bisa mendaratkan bokongnya di atas tempat duduk, tetapi sedikit kesulitan.

Soni yang melihat langsung ikut membantu. Dengan memegang erat kedua pinggang Shasa lalu diangkatnya tubuh ramping itu hingga mendapat posisi duduk paling nyaman.

Sedang hatinya entah kapan bisa diangkat hingga mendapat tempat yang aman.

Kedua mata mereka saling beradu saat kedua tangan Soni masih menyentuh kedua pinggang Shasa. 

Dag ... dig ... dug.

Detak jantung Soni berdetak dengan cepat kala menatap kedua manik kecoklatan mata Shasa dari jarak yang begitu dekat.

“Sumpah demi apa, lo cantik banget hari ini, Sha ...” puji Soni dalam hati. 

Shasa pun merasakan desiran yang teramat hebat saat merasakan sentuhan kedua tangan Soni. Ia merasakan perasaan yang tidak seperti biasa yang selama ini selalu berusaha ditutupinya.

“Ada apa dengan hati gue? Kenapa debaran ini masih tidak mau pergi. Tolong berhentilah," pinta Shasa dalam hati.

Namun sialnya justru debaran itu kian menjadi.

“Ehem! Makasih, Son.” 

Akhirnya Shasa memberanikan diri membuka suara agar tidak terlalu kentara akan perubahan sikapnya.

“Eh, iya. Sorry!” jawab Soni gugup sambil melepaskan kedua tangannya dari pinggang Shasa.

Kemudian dengan cepat ia juga berusaha naik di tempat duduk yang sama dengan Shasa. Saling berdekatan satu sama lain.

 Hanya raga yang berdekatan, hatinya masih belum.

Angin sore hari  terasa begitu sejuk membelai tubuh dan mampu membawa angan melayang jauh. 

Angan yang mengembara entah kemana. Mencari satu tujuan di titik terakhir.

Soni menatap wajah Shasa dari arah samping. Melihat rambutnya yang mulai berantakan, Soni merasa tertarik untuk sedikit merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Dengan perlahan, Soni mengangkat satu tangannya, kemudian menyelipkan anak rambut di sela telinga Shasa dengan lembut.

Shasa yang sedikit terkejut justru ikut menatap kedua mata Soni tanpa berkedip. Kelakuan Soni yang sekecil ini ternyata mampu membuat jantung seorang Shasa menjadi jungkir balik.

“Rambut gue berantakan ya?” tanya Shasa sedikit canggung.

“I--iya. Maaf kalau gue tadi nyentuh lo,” jawab Soni terbata. Dalam hatinya pun ia mencoba sekeras mungkin untuk membunuh rasa geroginya.

Dari arah barat, pemandangan langit kini menjadi begitu indah. Warna jingga bercampur keabuan dan putih yang memudar semakin menambah sore hari yang tak akan pernah terlupakan.

“Cantik ya, Sha langitnya? Kayak lo,” goda Soni sambil tersenyum.

“Halah! Bisa aja lo, pasti ada maunya kalau udah muji begini,” jawab Shasa sok tegar. Padahal aslinya, hatinya sudah meleleh dan mencair.

“Lo tahu gak? Walau matahari menghilang di setiap malam, tetapi ia selalu menepati janji untuk hadir kembali di waktu pagi. Begitu pun arti pertemanan kita selama ini. Walau gue sesibuk apa pun itu, gue pasti selalu usahain buat nemenin kapan pun lo butuh,” jelas Soni yang masih menatap Shasa.

Mendengar perkataan Soni, hati Shasa sebenarnya sedikit tersayat pisau dapur milik ibunya. Sakit tapi tidak berdarah. 

Beginilah jika kita memendam perasaan kepada seseorang yang paling dekat dengan status temen. Kita tak akan mampu untuk mengatakannya karena ketakutan akan hatinya yang kemungkinan tidak berbalas.

Padahal belum tentu demikian. Bisa jadi keduanya saling merasa canggung dan tidak enak satu lain. Sudah seharusnya jika cinta itu memang harus diungkapkan. Entah diterima atau tidak itu urusan belakangan.

Akan tetapi Shasa tidak mau mengambil resiko kehilangan seorang Soni Pratama dalam hidupnya. Temen terbaiknya sekaligus cinta rahasianya.

“Tumben banget sok puitis. Lagi kenapa? Kan emang dari dulu kita juga udah begitu,” ucap Shasa berpura-pura kuat. Jauh di dalam hatinya serasa terlempar jauh hingga ke dasar jurang.

“Lagi pengen aja. Itung-itung buat ngerayain pertemenan kita yang udah lama pake banget,” jawab Soni yang berusaha menampik pesona Shasa.

“Masih mau di sini apa udahan lihat sunsetnya?” tanya Soni.

“Pulang aja apa yuk? Udah mau azan Maghrib juga.” 

“Bisa turunnya gak?” 

Belum juga menjawab kedua tangan Soni sudah lebih dulu membantu Shasa untuk turun dari tempat duduk. 

Lagi. Perasaan itu kembali merayap ke relung hatinya tanpa bisa dicegah lagi. Begitu juga dengan Soni yang selalu berpura-pura biasa saja.

Masih dengan posisi dan keadaan seperti saat berangkat. Di mana Shasa duduk manis di boncengan sepeda Soni. Menikmati setiap moment saat-saat yang indah seperti dulu.

Hal itu membuat waktu berlalu begitu cepat. Tanpa disadari, Soni sudah sampai di rumah Shasa. 

“Makasih, Son. Lo udah buat gue inget lagi tentang masa kelucuan kita,” ucap Shasa setelah turun dari boncengan.

“Ya udah sana, buruan masuk! Gue langsung balik ya?” pamit Soni lalu segera pergi mengayuh sepedanya kembali ke rumahnya sendiri.

Selama di perjalanan, Soni masih tidak percaya akan debaran hatinya sendiri. Bertahun-tahun mengenal Shasa belum pernah ia merasakan desiran seperti yang baru saja terjadi.

“Masa iya gue beneran demen sama temen sendiri?” tanya Soni lagi pada diri sendiri.

Ketika sudah sampai rumah, Soni langsung membersihkan diri dan rebahan di kamar. Membayangkan pertemuannya dengan Shasa hari ini, membuat senyumnya merekah tanpa ia sadari.

Begitu juga dengan Shasa, hatinya ditumbuhi bunga-bunga yang bermekaran. Saat sedang asyik mencium wangi aroma cinta, satu getaran ponsel menggugurkan kelopaknya.

“Haish! Ganggu aja lagi bayangin calon masa depan,” ucap Shasa sedikit kesal, tetapi langkahnya beranjak untuk mengambil ponselnya.

Mata Shasa seketika melebar membaca pesan dari salah satu temannya.

Rea

[ Kuy, besok malem ikutan melompat lebih tinggi di Alun-alun Kebumen? Sheila bakalan tampil di acara sejenis pengajian. Lumayan lah bisa liat wajah Om Duta dan kawan-kawan. Ikut ya? Biar seru-seruan bareng. ]

Ada rona bahagia di wajah Shasa mendengar kabar Sheila On 7 akan tampil di kota sendiri. Karena memang sudah lama ingin sekali menonton secara langsung band favoritnya.

Akan tetapi masalahnya, bagaimana cara mendapatkan izin dari Ibu untuk keluar malam. 

“Perlukah berbohong sedikit agar bisa ikut melompat lebih tinggi? Atau gue ngajak Soni aja, secara Ibu udah nganggep dia kayak mantu”

---------***---------

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
wanna id
napa ada swalliw wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status