Share

Temen Tapi Demen 3

TEMEN TAPI DEMEN 3

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

       Kesempatan itu jarang sekali datang untuk yang kedua kali. Shasa tidak ingin membuang percuma kesempatan seperti ini. Kapan lagi bisa mantengin langsung band favoritnya secara langsung dan gratis pula!

Shasa berusaha keras mencari cara agar bisa mendapat izin dari Ibu untuk keluar malam. 

Perlahan Shasa berjalan mengendap keluar kamar dan mencari keberadaan ibunya.

Dan ternyata sang ibu tengah menonton televisi di ruang santai. Dengan sikap yang dibuat semanis mungkin, Shasa mengambil duduk tepat di sebelah ibunya.

“E-emm, aku boleh nonton Sheila gak, Bu? Sama Rea, boleh ya?” Shasa memohon dan memasang wajah yang begitu mengiba. Supaya sang ibu terkesan dan langsung memberikan izin.

Sang ibu menatap putrinya dengan sorot mata yang agak tajam. Walau tak setajam silet, tetapi cukup mengisyaratkan tanda tidak setuju.

“Keluar malam buat nonton Sheila itu bahaya, Sha! Ibu gak ngizinin. Apalagi kamu gadis, Rea juga. Belum lagi nanti jalanan pasti macet. Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa,” jawab Ibu tetep kekeh dengan pendiriannya.

“Tapi jarang-jarang Sheila bisa manggung di Kebumen, Bu? Gratis pula. Aku mohon izinin, Bu?” Shasa masih berusaha mengemis izin. 

Melompat lebih tinggi bersama Sheila adalah satu mimpinya sejak dulu. Dan kini tinggal selangkah lagi akan menjadi nyata, ia sunggguh tidak ingin kehilangan kesempatan emas semacam ini.

Sang ibu mengembuskan napasnya perlahan melihat tingkah anak gadisnya. Lama-lama hatinya mulai luluh juga. Ia tahu dari dulu memang Shasa sangat menyukai band yang berasal dari kota gudeg tersebut.

Dan karena Shasa yang hampir setiap hari mendengarkan lagu-lagu itu, sang ibu pun diam-diam mulai ikut menikmati dan mengagumi.

“Ya udah, Ibu izinin. Tapi harus ada pria yang jagain. Kamu ajak Soni. Rea juga suruh ajak abangnya. Biar kalau ada apa-apa setidaknya ada dua pria yang siap pasang badannya,” jawab Ibu dengan wajah serius.

“Ibu beneran? Makasih ya? Ibu pancen the best!” Shasa menghambur memeluk sang ibu. Dalam hatinya Shasa tahu, kalau soal pergi-pergi pasti haruslah dengan Soni. Katanya biar gak ada yang jahatin anak gadisnya.

“Ya udah sekarang kamu tidur. Ngajak Soni-nya besok aja,” titah sang ibu sambil mengelus lembut kepala Shasa.

Shasa pun beranjak ke kamarnya dengan hati yang riang gembira. Kapan lagi bisa lihat Om Duta manggung dengan mata kepala sendiri. Iya gak? Gak bayar pula!

Senyum Shasa merekah menghiasi tidurnya, berharap semua mimpi itu akan menjadi kenyataan. Sebelum benar-benar memejamkan ķedua matanya, Shasa ingin mengirim pesan terlebih dulu untuk Soni.

Shasa

[ Son, besok jangan ke mana-mana ya? Gue mau main ke tempat lo. Awas kalau lo pura-pura nandain harta karun lagi! ]

Shasa meletakkan ponselnya di dekat bantalnya. Biar kalau ada tanda pesan baru tangannya gampang mengambilnya.

Sementara Soni selalu saja merasa heran dengan sikap semua perempuan, khususnya Shasa. Jika ada maunya, pasti lagi-lagi harus dituruti.

Soni

[ Ya elah! Main tinggal main pake ngancem segala! Jadi takut gue. Pasti lo ada maunya nih? ]

Shasa yang mendengar ponselnya berbunyi langsung memungut ponselnya yang di dekat bantal. Senyumnya sedikit merekah karena Soni membalas pesannya dengan cepat. 

Masih dengan senyum-senyum ala abegeh, jemari Shasa menari dengan gesit untuk mengetik pesan balasan.

Shasa

[ Emang lagi ada maunya. Hahahaha ... ya udah, sampai besok pagi .... ]

Shasa menutup kembali ponselnya lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian mencoba bercumbu dengan malam hingga saling terlelap bersama mimpi.

**

Jam delapan pagi, setelah membantu semua pekerjaan rumah Ibu, Shasa sudah bersiap-siap akan pergi ke rumah Soni. Sudah menjadi kewajiban anak perempuan jika bangun pagi harus ikut membantu pekerjaan Ibu. Setidaknya sambil belajar jika kelak mengurus rumah tangga sendiri sudah menjadi hal biasa.

Sang ibu yang melihat Shasa sudah cantik menjadi berkeinginan untuk menggodanya. Siapa tahu dari godaan mereka berdua bisa beneran jadian lalu mantenan.

“Pagi amat ngapelin Soni-nya, Sha? Gak malu apa anak gadis jam delapan udah nyamperin ke rumah cowok?” ucap Ibu dibuat serius, padahal dalam hatinya sudah ingin tertawa terbahak.

“Idih, Ibu mah jatuhin semangat Shasa aja! Tapi iya juga sih, ini masih jam delapan. Takut Soni masih molor,” jawab Shasa sambil menimbang kembali langkahnya yang akan maju atau berhenti.

“Tapi takut dia entar sibuk, Bu? Jadi berangkat sekarang aja lah!” ucap Shasa lagi yang akhirnya memilih langkahnya untuk maju.

“Ya udah, hati-hati di jalan. Mau pakai sepeda apa naik motor apa mau jalan kaki?" tanya Ibu.

“Jalan kaki aja lah, Bu. Deket ini. Ya udah, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum ....” Shasa mencium punggung tangan sang ibu yang masih bau terasi bekas sarapan pagi.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu yang masih menatap Shasa berjalan keluar rumah sampai punggungnya tak terlihat lagi.

“Sampai kapan kamu akan temenan terus sama Soni, Sha? Kelakuan kalian berdua sudah melebihi dari temen, apalagi soal perhatian,” lirih sang ibu dalam hati. Dalam hati, ia selalu menyelipkan satu doa untuk mereka berdua.

Shasa menyusuri jalanan setapak kecil dengan hati yang sungguh gembira. Rasanya sudah tidak sabar menunggu malam tiba. 

Bibirnya pun tak henti bersenandung agar langkah kakinya tidak terlalu lelah karena berjalan. Hingga tak terasa, langkahnya sudah membawa dirinya tepat ke depan rumah sahabat sejatinya. 

Siapa lagi kalau bukan anak juragan tarub, Soni Pratama.

Melihat banyak tumpukan besi di gudang dekat rumah Soni sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Shasa. Kadang pernah sesekali berkhayal kalau semisal menikah nanti ia ingin mendapat kado satu set tarub beserta pernak-perniknya.

Akan tetapi itu tidak mungkin! Shasa tidak akan pernah tega mencuri harta karun milik Soni. Karena dengan membantu bapaknya, Soni bisa mendapatkan uang lebih untuk dirinya sendiri.

“Assalamu’alaikum ....” sapa Shasa saat melihat bapaknya Soni yang sedang menatapi kalender.

“Wa’alaikumsalam ... eh, ada Shasa. Sudah berapa lama nih gak pernah main? Gak kangen nih sama Bapak?” goda bapaknya Soni yang memang suka becanda.

“Kayaknya udah semingguan, Om. Kalau kangennya sama anaknya aja, boleh gak, Om?” jawab Shasa yang ikut mengimbangi candaan beliau.

“Wah ... kalau itu sih boleh banget, Sha. Malah kebeneran biar si Soni gak jomblo terus,” jawab Bapak Soni sambil tertawa. Tawanya terdengar puas sekali, seakan ada persetujuan kalau dirinya boleh jadi calon mantunya.

Eh, gak nyambung ya ...? 

Shasa pun ikut tertawa mendengar jawaban bapaknya Soni yang memang dasarnya suka becanda. Dan inilah yang membuat Shasa betah berlama-lama main di rumahnya Soni.

“Soni ada kan, Om?” tanya Shasa malu.

“Ada. Masuk aja, paling lagi di kamar. Kalau belum bangun, cium aja entar pasti langsung bangun.” Lagi, candaan receh seperti ini terkadang bisa meruntuhkan pertahanan seorang Shakira Widuri yang memang mati-matian membuat dinding untuk hatinya.

Kemudian tanpa canggung, mereka berdua saling tertawa terbahak bersama. Entah menertawakan hubungannya dengan Soni atau menertawakan dirinya yang masih saja bertahan dengan label ‘temen’ tanpa mau berusaha merubahnya.

Shasa menuju kamar Soni dengan tawa yang mulai berganti senyum. Sebisa mungkin ia sembunyikan hatinya yang mulai berdebar.

“Soni ....”

Shasa memanggil Soni dari balik pintu. Tangannya mencoba memegang handle pintu, saat akan menekan ke bawah ternyata pintunya tidak terkunci.

Saat pintu terbuka, pemandangan yang tidak seharusnya namun cukup membuat dadanya berdesir justru didapati oleh Shasa.

“Ya ampun! Mata gue ternoda!” teriak Shasa yang melihat Soni sedang bertelanjang dada. Dengan cepat kedua tangannya langsung menutupi keseluruhan wajahnya.

“Lo kalau masuk kamar orang ketuk pintu dulu kek!” jawab Soni sedikit gugup. Kemudian langsung mengambil asal kaos bewarna putih di lemari dan memakainya.

“Udah belom?” tanya Shasa sambil mengintip dari celah jemarinya.

Soni masih terus menatap Shasa dengan wajah gugup, tidak enak, tegang, gerogi, malu, pokoknya semua rasa bercampur jadi satu.

“Udah. Lo boleh buka mata sekarang,” jawab Soni sambil kedua tangannya merapihkan kaos agar melekat dengan sempurna di tubuhnya.

Shasa membuka kedua telapak tangannya, kemudian langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur busa yang berada di lantai. 

Soni memang lebih menyukai tidur di kasur busa tanpa ranjang. Shasa masih terus saja menatap langit-langit kamar Soni yang masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. 

Kamar Soni jauh lebih bersih dari punya Shasa. Dinding kamar Soni pun bersih tanpa pajangan apa pun.

“Katanya mau minta bantuan? Bantuan apaan?” tanya Soni yang ikut duduk bersandar di dinding kamar.

Shasa langsung bangkit dan mengambil sikap bersandar seperti Soni.

“Entar malem temenin nonton Sheila di Alun-Alun ya? Ibu ngasih izin kalau perginya cuma sama lo," ucap Shasa. Netranya menatap iba ke arah Soni.

Soni lagi-lagi tak mampu menolak kalau Shasa sudah mengiba seperti sekarang. Kedua manik kecoklatan itu mampu menghipnotis akalnya.

“Bukannya bareng sama Rea? Malah ngajakin gue,” jawab Soni pura-pura nolak.

“Emang Rea yang ngajak, tapi Ibu nyuruhnya pergi sama lo. Rea juga sama, disuruh sama abangnya kalau mau pergi. Mau ya?” mohon Shasa lagi.

“Berangkatnya nanti jam sembilan malem aja biar gak capek nunggu Sheila-nya perform, gimana?” usul Soni.

“Terserah sih, yang penting lo yang izin sama Ibu.”

“Ya udah. Entar gue yang minta izin sama tante Weni.” Soni menjawab dengan sedikit melirik ke arah Shasa yang tengah memperhatikannya.

Shasa pun melihat Soni dari jarak yang begitu dekat membuat senyumnya sedikit merekah.

“Kaki lo lurusin ngapa, Son?” ucap Shasa yang melihat Soni dengan kaki menyilang.

Soni langsung meluruskan kedua kakinya seperti yang diminta oleh Shasa. Dikepalanya pun muncul satu tanda tanya, “Ini anak mau ngapain pake nyuruh kaki selonjoran.”

Tanpa izin, Shasa langsung merebahkan kepalanya di pangkuan Soni. Hal itu sukses membuat Soni terpaku di tempat.

“Gue kangen sama lo,” lirih Shasa. Kedua matanya pun terpejam membayangkan pertemanan mereka yang sudah bertahun-tahun lamanya.

“Lo ngomong apa barusan? Gue gak denger?” 

“Bisa gak kalau manggilnya jangan gue sama lo?”

Pertanyaan Shasa berhasil memancing jiwa terdalam seorang Soni. Ia langsung memusatkan tatapan matanya ke wajah Shasa yang masih terpejam. 

Jantung Soni mulai berdetak lebih cepat dan lebih kencang. Membuat debaran hebat yang memporak-porandakan pertahanan hatinya.

“Maksudnya gimana, Sha? A--aku, ka-kamu, begitu?” jawab Soni terbata.

“Iya. Bukankah kita temenan udah lama? Kan wajar kalau manggilnya begitu? Kamu setuju kan?” ucap Shasa yang kini telah membuka kedua matanya.

Soni masih berpikir tentang 'aku kamu', karena biasanya panggilan itu digunakan oleh pasangan, bukan untuk temenan.

Apakah ini pertanda kalau Shasa punya perasaan lain selain teman?

 Shasa dengan begitu percaya diri, membuka netranya dan menatap balik wajah Soni yang kini tengah menatap ke bawah di mana dirinya berada.

“Gu-gue, eh, a-aku ... setuju juga. Ya udah awas dulu, a-aku mau jemur handuk.” Soni terbata menjawab usul dari Shasa.

Dengan hati yang sudah lompat ke sana kemari, Soni sengaja meninggalkan Shasa yang masih rebahan di kamarnya.

Sambil berjalan ke depan rumah, Soni terus saja menggerutu di dalam hati.

“Gila! Apa iya aku jatuh hati beneran sama Shasa?”

“Kalau iya, haruskah diperjuangkan? Atau sebaiknya disimpan?”

--------***---------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status