Akhirnya malam pun tiba. Esok menjelang subuh kapal sudah mulai sandar. Tak terasa kaki ini akan berkesempatan menginjak tanah Dayak. Ini adalah kesempatan pertama ke pulau yang hendak dijadikan ibu kota negara. Entah bagaimana perkembangannya, beritanya sudah tenggelam.
Rasa senang bisa mbolang ke Kalimantan tiba-tiba sirna membayangkan Mas Wildan akan memaksaku melayaninya malam ini. Jantungku dag dig dug tak karuan. Bukan karena apa, melainkan rasa khawatir jika Mas Wildan sudah tidak sehat organ intimnya. Cerita Purnomo soal Nely yang dinilai wanita nakal membuatku begidik ngeri. Mas Wildan tadi masih pamit ke kamar mandi hendak buang air kecil. Hingga knop pintu kamar ini dibuka.
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Dik?”
“Nggak pa-pa, Mas.”
“Kamu sakit?” Punggung tangannya ditempelkan di keningku. “Badanmu tidak panas, Dik. Tapi kamu seperti orang ketakutan.&r
Ditalak, sementara kita selama ini setia, juga berusaha memberikan yang terbaik. Itu rasanya seperti kita telah berbuat baik kepada seseorang, namun setelahnya dibalas dengan diludahi. Manusia normal jika diperlakukan demikian pasti akan kecewa. Bisa jadi marah atau mengumpat. Sebab harga dirinya tak dianggap.Lain jika kita mampu mencontoh akhlak Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberi teladan untuk tidak membalas perbuatan orang lain yang merendahkan dirinya. Yang dibalas hanya ketika seseorang merendahkan ajaran Islam. Maka, beliau pun tetap menyuapi kakek tua buta yang beragama Yahudi dengan lembut, meski lisan kakek itu terus mencaci sosok Muhammad.Dari teladan Rasulullah tersebut, aku akan berusaha ikhlas menerima jalan takdir ini. Aku tidak boleh menggugat Tuhan. Mengapa tidak adil padaku? Aku yang setia harusnya mempunyai suami yang setia juga. Mestinya ketika aku sudah berusaha menjadi ist
Aku menarik tanganku agar terlepas dari cengkeramannya.“Lepaskan aku, Mas!”“Jangan bilang kamu tidak paham status kita setelah talak satu, Alya!”Aku memejamkan mata. Jujur ini lebih menyiksa. Mas Wildan mempermainkan perasaanku. Mestinya, setelah ucapan talak semalam, dia sekarang tak perlu peduli padaku. Biar aku cepat mengubur semua rasa dan kenangan manis bersamanya. Dia kini malah bersikap layaknya tak terjadi apa-apa.“Kamu masih istriku sampai masa iddahmu habis.” Dia kembali mempertegas status kami.“Benar, statusku sekarang masih istrimu, Mas. Tapi, setelah kata talak itu, jangan lagi membuat kenangan manis deganku. Biarkan aku sendiri. Aku makan siang di kamar saja.”Tanpa menunggu respon Mas Wildan, aku segera berlari menuruni tangga. Anak-anak kubiarkan bersamanya. Rasanya aku butuh waktu menyendir
Melihatku menerima telepon dari gawainya, Mas Wildan seketika bertanya, “Siapa, Al?” Setelah talak itu terucap, dia kini tak lagi menyapaku dengan panggilan ‘dik,’ tetapi Al atau Alya. Ponsel itu langsung kuberikan padanya. “Hallo …” suara tenor Mas Wildan menyapa wanita itu. “Eh, Mas Wildan. Aku dah nyampe sini dari tadi pagi. Katanya kapal datang pagi. Tapi kuhubungi enggak aktif mulu hapenya.” Meski tidak di-loudspeaker, aku masih bisa mendengar dengan jelas ucapan Nely. Saking sempitnya ruangan ini. Heran juga sih
Rasanya aku ingin mencari tempat sampah dan segera membuang buket bunga ini ke dalamnya. Bukannya bikin bahagia, nyesek iya. Sepertinya Nely tahu kalo aku sedang online. Tiba-tiba saja dia mengirim pesan gambar. Foto Mas Wildan telanjang dada sedang terlelap. Diikuti sindiran. [Kamu pasti tak membuatnya bernafsu. Lain saat bersamaku, liar lalu terkapar] Pesan itu menyiratkan kebanggaan. Lalu kubalas. [Justru dia sangat bernafsu, tapi aku yang gak mau. Ngeri kalo tertular penyakit] Kuladeni pesan dari Nely. Hitung-hitung hiburan agar perjalanan ini tak membosankan.
Aku memang sudah lelah. Ingin sekali rasanya segera sampai di rumah. Namun, haruskah menumpang mobil jenis sport vehicle warna hitam ini? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah jika aku berdua saja dengan pria yang bukan apa-apaku ini? Meski kedua anakku ikut serta. Kenapa kukatakan berdua? Sebab dalam urusan kholwat, keberadaan anak-anak tidak diperhitungkan. Karena akal mereka belum sempurna. Sehingga meski Rohim dan Rheza ikut naik dalam satu mobil, tetap saja dalam pandangan syariat dihukumi berkholwat.Ragaku masih membatu. Antara ingin menerima tawarannya namun was-was akan resiko yang mungkin kudapat. Ketika nanti aku resmi bercerai, pasti ada omongan begini: ‘Wajar pernikahannya kandas, lah suami kerja. Dia naik-turun mobil sama laki-laki lain.’ Sebab pasti ada mata yang akan melihat. Sementara tak semua orang mempunyai prasangka baik. Di antara mereka ada saja yang hatinya hasad.&nbs
Tepat bakda Magrib rombongan keluarga besarku datang. Ada Bapak, Ibu, Mbak Cahya beserta suaminya, juga Mas Satria dan istrinya. Yang terkejut mendengar kabar ini adalah kakak laki-lakiku, Mas Satria. Sebab hanya beliaulah yang baru tahu masalah rumah tanggaku sekarang. “Kok bisa masalah seperti ini Mas enggak kamu libatkan, Al?” Ada raut kecewa di wajahnya. “Kami pikir bisa segera diatasi, Mas.” “Pantas badanmu kurus. Bapak-Ibu juga kelihatan mikir. Tahu dari dulu sudah kujotos Wildan itu,” ungkap Mas Satria kesal. Mbak Cahya juga angkat bicara, “Y
“Astaghfirullahal ‘adzim …” pekikku. Aku seketika berdiri melihat ibu mertua tak bisa bicara karena mulutnya yang mencong. “Tolong … ! Tolong … !” Aku teriak. Sebab takut salah memberi penanganan. Sepertinya ibu mertuaku terserang stroke.Sambil menunggu bantuan datang, kutopang tubuh ibu mertua yang hampir jatuh ke lantai. Tangannya masih menggenggam erat lengan Nely. Wanita itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Dia sama paniknya sepertiku. “Ada apa, Mbak Alya? Ada apa?” Lek Titik datang bersama beberapa orang.Begitu melihat kondisi ibu mertua, tanpa kujelaskan apa pun, mereka sudah paham.“Astaghfirullah … Mbak Yu. Ayo dibaringkan ke kasur!” Lek Titik histeris. Kemudian dua orang lelaki yang menyertai Lek Titik membopong tubuh ibu mertua
Sesampainya di ruangan ibu mertua dirawat, kami cukup dikejutkan dengan keberadaan Mas Wildan dan Nely di sana. Mereka sedang duduk sambil berpegangan tangan. Sementara kepala Nely bersandar di bahu Mas Wildan. Ibu mertua dirawat di dalam ruangan yang berisi empat pasien. Sehingga kami bisa langsung masuk tanpa menunggu dibukakan pintu. Mas Wildan langsung melepaskan tangan Nely yang menggenggamnya begitu melihat orang tuaku datang. “Oh … ini janda yang kau nikahi diam-diam itu?” sapa Ibu dengan tatapan merendahkan. “Buk, sudah, Buk. Ini rumah sakit!” Aku mencoba meredam emosinya. Sebenarnya wajar sekali Ibu geregetan. Karena ini adalah kali pertama ia bertemu dengan Nely. Begitu bertemu, pemandangan tak sedap yang disuguhkan. Situasi kali ini tak seperti suasana saat mengunjungi orang sakit