Saat kita tertimpa musibah, kunjungan dari keluarga dan kerabat memang cukup menjadi obat pelipur lara. Makanya Rasulullah menganjurkan kita melaksanakan salah satu ibadah ghairu mahdhah ini. Beliau sampai menggambarkan bahwa siapa saja yang menjenguk orang sakit, maka ia akan berjalan di taman surga sampai ia kembali.
Alhamdulillah keluargaku juga berduyun-duyun menjenguk Rheza. Setelah Kakak laki-lakiku pamit, kini ada ibu mertua dan suaminya berkunjung. Kebetulan sekali, ada yang ingin kusampaikan kepada ibu mertua perihal anaknya. Apakah beliau tahu jika Mas Wildan telah menikah lagi? Jika ibu mertua tahu, tetapi tetap diam, berarti mereka telah bersekongkol.
Hanya saja, jika harus bicara di kamar ini rasanya tidak tepat. Sebab di sebelah juga ada pasien yang hanya disekat tirai. Tentu mereka akan mendengar apa yang kami bicarakan nantinya. Maka, aku harus mengajak ibu mertua bicara di luar. Ternyata Rheza sangat pengertian, setelah minum susu, kini dia memejamkan matanya.
“Bu, ngapunten ada yang mau saya bicarakan berdua sama Panjenengan.” Dengan sopan kuutarakan maksudku.
“Hm…mau bicara apa, Mbak Alya?” sahut mertuaku dengan ekspresi agak kaget.
“Tentang Mas Wildan, Bu.”
“Oh …,” jawabnya singkat tanpa menatapku. Namun, ia tampak mengkhawatirkan sesuatu.
“Pak, saya minta tolong Rheza ditemani dulu, inggih. Nanti jika dia bangun mencari saya, tolong kirim pesan saja. Saya tidak jauh, di ruang lobi sebelah,” pesanku pada bapak mertua sambung. Usianya lima tahun lebih muda dari ibu mertuaku.
“Ya, Mbak. Sampean selesaikan saja urusan sama ibu.” Dari jawaban bapak mertua sambungku itu, tampaknya beliau sudah paham apa yang akan aku bicarakan. Entahlah, itu hanya dugaanku saja.
Akhirnya, ibu mertua kuajak menuju ruang lobi yang terletak di antara dua deretan kamar kelas satu. Ada sepaket sofa dan kursi yang disediakan. Di sinilah kami duduk sekarang. Ditemani akuarium berukuran kira-kira 1,5 x 1 meter. Ada ikan hias warna-warni di dalamnya. Menjadi hiburan bagi kami yang suntuk menjaga pasien di dalam kamar. Selain itu, juga ada televisi yang sedang menyiarkan acara kuliner. Di seberang sofa ini ada meja jaga para perawat kira-kira sejauh lima meter. Kemungkinan apa yang kami bahas tidak akan terdengar oleh mereka selama bicara dengan nada normal.
“Hmm …, mau bicara apa, Mbak Alya?” Ibu mertuaku selalu memanggilku dengan nama diikuti embel-embel Mbak.
Hal ini pernah diprotes sama Kakak perempuanku. “Kok mertuamu manggil ‘Mbak Alya’ kenapa enggak manggil ‘Nak Alya’ saja?” protesnya suatu hari. Menurut kakakku, hal itu kurang pantas, tetapi aku tak mau ambil pusing soal panggilan itu.
“Saya langsung ke inti masalah saja inggih, Bu. Apa Panjenengan sudah tahu jika Mas Wildan menikah lagi?” tanyaku hati-hati.
“Huk…huk….” Seketika Ibu mertuaku terbatuk. Langsung kuambilkan air mineral kemasan gelas sekalian dengan sedotan yang tersedia di meja sebagai fasilitas dari rumah sakit.
Setelah menyedot beberapa kali, Ibu mertua kembali bicara, “Memangnya Mbak Alya tahu sejak kapan masalah ini?”
Busyet deh, aku bertanya malah balik ditanya. Kemungkinan Ibu mertua tahu lebih dulu masalah ini. “Kemarin malam, Bu,” jawabku singkat.
“Baru kemarin malam?”
Loh kok beliau yang kaget sih. Harusnya ‘kan aku yang kaget.
“Inggih, gara-gara perempuan itu mengirim foto duluan ke saya.” Ingin rasanya kutunjukkan foto anaknya bareng Nely di kamar hotel itu, tapi masih kutahan.
“Ibu pikir, Mbak Alya itu sudah ngerti. Tapi tidak mau cerita ke ibu. Makanya bulan lalu pas Sampean sama Mas Wildan ke rumah, Mas Wildan ibu tangisi,” akunya, “Ibu nangis saat itu karena dapat kabar dari Lek Tomo, katanya Mas Wildan nikah lagi. Lek Tomo yang dimintai jadi saksinya dan bilang kalo Mbak Alya merestui,” lanjutnya.
Aku langsung menyandarkan punggungg di Sofa. Kubuang napas kasar dari rongga mulutku. Sebulan yang lalu Ibu mertua sudah tahu. Berarti pernikahannya sudah terjadi sebelumnya. Tepatnya kapan? Kugigit bibir bawahku sambil memutar memori satu bulan ke belakang. Namun, aku tetap tak bisa konsentrasi merangkainya.
“Jadi, Ibu tidak ikut dalam prosesi pernikahannya?” tegasku.
“Ya ndak lah, Mbak Alya. Setelah selesai ibu baru diberi tahu.”
“Berarti Mas Wildan tidak meminta restu sebelumnya ke Panjenengan?” tanyaku memastikan.
Ibu mertua geleng-geleng.
Mas Wildan…Mas Wildan. Aku yakin kebahagiaanmu dengan Nely hanya sesaat. Lah ibu kandungmu saja tak kau anggap. Aku tak terlalu kau anggap masih wajar, sebab hanya wanita yang kebetulan jadi istrimu. Aku akan kembali menjadi wanita asing saat ikatan pernikahan ini berakhir, tapi wanita di sebelahku ini, seburuk apa pun pola pengasuhannya di masa lalu padamu, ia tetap wanita yang telah melahirkanmu. Bisa-bisanya kau menikah lagi tanpa mengantongi restu darinya.
“Kenapa Ibu tidak cerita ke saya kalo tahu kabar itu?”
“Lah katanya Sampean sudah merestui, ibu ya enggak berani ikut campur. Ibu pikir malah ibu yang enggak dianggap. Ada masalah penting begitu kok Sampean enggak cerita ke ibu.”
Kesannya di antara kami jadi saling menyalahkan. Padahal, aku sama sekali tak ada niat menyalahkan Ibu mertua. Aku sendiri mengakui kami memang tidak terlalu akrab. Beliau orangnya pendiam dan kurang humoris. Sementara aku lambat beradaptasi dengan orang pendiam, tetapi bisa menjadi sangat akrab dan banyak omong dengan orang-orang yang lebih dulu mengawali obrolan.
“Inggih, Bu. Kita sama-sama tidak tahu masalah ini.” Kupegang kepalaku dengan kedua tangan. Dengan posisi kedua siku tangan bertumpu pada kedua paha.
“Trus gimana? Apa Sampean bisa menerima masalah ini?”
Pertanyaan yang tak mudah kujawab. “Saya masih bimbang Bu, harus bagaimana. Cuma satu yang pasti, saya tidak bisa terus-terusan begini. Jika Panjenengan masih menginginkan saya dan anak-anak, tolong Ibu berada di pihak saya. Karena saya tidak melihat gelagat Mas Wildan berniat meninggalkan wanita itu,” pintaku mengharap ibanya.
Mertuaku terdiam. Aku pikir beliau dengan semangat 45 akan membela menantunya ini. Ah, aku lupa. Kami tidak terlalu akrab. Berharap beliau di pihakku sepertinya sia-sia saja.
“Ibu pas itu ya sudah bilang ke Mas Wildan, jangan cari perkara! Lah ibu malah diceramahi,” keluhnya dengan wajah yang terlihat melas. Sebenarnya usianya masih 55 tahun, tetapi ia tampak lebih tua dari itu. Kesulitan hidup menjalani single parent di usia muda menjadikan kulitnya lebih cepat keriput.
“Mas Wildan bilang kalo dia itu tidak melakukan dosa. Lah menikah lagi bagi laki-laki itu boleh dalam agama. Begitu katanya,” jelas Ibu mertua.
“Trus, Mas Wildan bicara apa lagi, Bu?”
“Aduh gimana ya ibu ngomongnya…” ucapnya pekewuh.
“Mboten menopo Bu, sampaikan saja. Saya siap mendengarnya,” sahutku agar beliau tidak sungkan.
“Katanya hubungannya sama Sampean sekarang terasa hambar. Ibu ya enggak ngerti yang dimaksud hambar itu gimana. Kalo sayur hambar bisa ditambahi garam.”
Astaghfirullah. Hatiku langsung cekot-cekot mendengarnya.
“Ya, intinya begitu Mbak Alya. Sampean tahu sendiri ibu ini enggak bisa ngomong banyak kalo sama Mas Wildan. Beda kalo sama adiknya.”
Ya, aku paham apa yang dimaksud Ibu mertua. Memang beliau tidak terlalu dekat dengan Mas Wildan. Sebab sejak bayi procot suamiku itu sudah diasuh oleh Mbah Utinya. Sementara Ibu mertua kerja pada sebuah pabrik rokok di luar kota. Apalagi setelah itu Ibu mertua bercerai. Komplit sudah, hingga Mas Wildan dewasa tak pernah diasuh langsung oleh kedua orang tuanya.
Inilah juga yang menjadikanku tidak terlalu dekat dengan sosok yang mengenakan kerudung warna salem ini. Oleh karena suamiku sendiri juga tidak terlalu dekat dengan ibunya. Baru akhir-akhir ini ibu dan anak itu berusaha kembali membangun kedekatan setelah Ibu mertua jenak tinggal di kota yang sama dengan anak-anaknya.
Dulu sebelum kasus ini muncul, Mas Wildan sering bilang kalau ia merasa kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sebagai gantinya ia sering mendapat kebaikan dari orang tua teman-temannya. Dalam perkembangannya saat remaja pun, kondisi ini menjadikan ia merasa insecure. Ia merasa kurang percaya diri dalam bergaul. Dampaknya ia menjadi anak yang pendiam.
Tak kusangka, perasaan haus kasih sayang ini tetap ia bawa hingga dewasa. Orang menyebutnya ada inner child dalam dirinya. Lihatlah sekarang efeknya, Mas Wildan dengan mudah menerima tawaran kasih sayang dari Nely. Padahal aku sebagai istri tak kurang-kurang memberi perhatian. Meski memang harus terbagi dengan anak-anak dan pekerjaan.
Aku dan Ibu mertua sama-sama terdiam. Tampaknya kami berdua saling mengoreksi kekurangan diri masing-masing. Aku sebenarnya kasihan padanya. Ingin kurengkuh tubuh itu, tetapi rasa canggung menjadi penghalangnya. Hingga ada sosok yang keluar dari lift mengagetkanku. Mila, jauh-jauh dari luar kota datang ke sini.
“Hai, Say!” Dia menyapaku dan melambaikan tangannya. Sadar di sampingku ada wanita yang lebih tua, ia mengucapkan salam lalu mencium punggung tangannya.
“Bu, kenalkan ini Mila, suaminya juga satu kapal dengan Mas Wildan.”
“Oh … diajak ke kamar saja kalo gitu Mbak Milanya.”
Kami menuju ke kamar Rheza dirawat. Ibu mertua dan bapak mertua pamit pulang. Beliau minta maaf sebab tidak bisa menginap. Aku tidak mempermasalahkan sebab masih ada ibuku yang menemani.
Selama aku di ruang lobi, ternyata pasien sebelah kamar sudah diperbolehkan pulang. Sehingga mereka sekarang berkemas lalu pamit kepadaku. Jadilah Rheza menjadi pasien tunggal di kamar ini.
“Ya ampun Mil, kok repot jauh-jauh ke sini sih. Aku jadi enggak enak.”
“Enggak apa-apa, Say. Lagian aku sekalian cek lokasi calon perumahan baru. Mau buka proyek di sini juga. Trus ada sesuatu yang mau aku bicarakan sama kamu,” ucapnya sambil dilirihkan suaranya. Perempuan yang menjadi owner bisnis property ini seperti menyimpan hal penting.
“Bicara apa sih?” tanyaku penasaran.
“Hm … tentang Pak Wildan. Aku kemarin dapat cerita banyak dari Mas Dhimas. Aku marahin suamiku itu kenapa enggak cerita dari dulu. Aku ikut gemes dengarkannya. Katanya Pak Wildan lagi deket sama perempuan namanya Nely.”
Ya Allah, pertolongan-Mu memang dekat. Baru tadi pagi aku membatin siapa yang bisa kuajak mencari tahu sosok Nely. Kini hadir Mila yang siap menceritakan segudang informasi.
Kubuka ponsel hendak menunjukkan foto Nely kepada Mila. Sebelumnya kuputuskan menyimpan nomor Nely di daftar kontak. Kuberi nama Ulat Bulu. Kemudian kucek status w******p. Langsung muncul status dari si Ulat Bulu, ia foto dalam mobil hanya memperlihatkan tangan laki-laki yang pegang hand rem kemudian tangan perempuan menindih di atasnya. Caption-nya, 'OTW antar suami berangkat cari nafkah.'
.
.
[Bersambung]
Aku rasanya sudah tak sabar ingin menunjukkan kelakuan Nely kepada Mila. “Mil, kamu pingin tahu Si Nely itu kek gimana? Nih!” Kuberikan gawaiku kepadanya. Tepat pada foto-foto yang dikirim Nely yang tersimpan di galery. Termasuk foto di kamar hotel itu.“Astaghfirullaha‘adzim….Ya Allah, mimpi apa aku semalam?” Mila mengelus-elus dadanya.“Ini beneran Pak Wildan? Kok aku masih enggak percaya ya. Ya Allah…kamu sabar banget, Say.” Mila masih mengamati foto itu satu persatu. Diklik terus di-zoom.“Ini kan di Kawah Putih Bandung, Say. Kapan mereka ke sananya? Hm … gayanya Nely. Nempel terus. Pingin kujotos rasanya.” Mila masih terus memelototi foto-foto itu dan sesekali keluar kata-kata kasar dari mulutnya.“Maaf ya, Say. Aku jadi enggak ngefans lagi sama Pak Wildan kalo begini ceritanya. Padahal dulu aku itu kagum loh
Pesan yang kukirim lewat inbox kepada mantan suaminya Nely belum mendapat tanggapan. Begitu pun kepada Imelda. Sepertinya mereka adalah pasangan yang kurang aktif di dunia maya. Baru saja kubatin, tak lama kemudian ada notifikasi masuk dari messenger. Alhamdulillah dari Pak Rifki. Segera kubaca isi balasannya. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Nely. Sehingga saya pun tidak mau terlibat dengan kehidupan pribadinya lagi. Urusan saya dengan dia tidak lebih hanya karena anak-anak masih dalam pengasuhannya. Selebihnya saya tidak mau ikut campur. Balasan dari Pak Rifki itu sedikit membuatku putus asa. Memang benar sih dia sudah tidak ada urusan lagi dengan mantan istrinya, tetapi tidak adakah sedikit empati untukku yang sekadar ingin menggali informasi? Maka, sebelum Imelda menjawab balasan serupa sebagaimana yang dilakukan suaminya, aku mengirimkan pesan la
Pagi ini aku harus check lock finger print ke kantor. Sejenak kukesampingkan masalah dengan Mas Wildan. Sebab menjadi abdi negara tak bisa menjadikanku seenaknya bolos kerja. Meski memang ada alasan kuat sebenarnya, anak sakit. Namun, sekarang aturan kepegawaian lebih ketat. Tidak ada izin menjaga anak sakit. Jika keadaan memaksa tidak masuk, maka harus mengajukan cuti.Saat mengajukan cuti, konsekuensinya tunjangan akan dikurangi. Belum lagi mengurus kelengkapan administrasinya cukup menyita waktu. Untungnya pimpinanku pengertian. Aku hanya diminta datang pagi untuk absen digital -finger print- lalu mengecek berkas-berkas yang perlu dibubuhi tanda tanganku. Setelah itu aku diizinkan kembali mengurus keperluan Rheza yang rencananya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Baru nanti sore aku kembali ke kantor untuk melakukan absen pulang melalui mesin sidik jari lagi.Kendaraan kupacu lebih kencang agar bergegas kembali ke rumah sakit. Meski su
Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya. Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal
“Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “Iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah…bagus itu. Sama siapa?” “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja.” “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini.” “Oke, makasih ya.” “Tar saling up-date kabar ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menet
Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon. “Hallo Mil, ada insiden apa?” “Nely kecebur ke laut, Say.” “Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?” “Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologisnya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi HP kumatikan, biar enggak ganggu.” “Lah terus kamu tahu dari siapa?” “Ya pas HP mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.” “Trus enggak ada pesan lagi?” “Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.” “Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?” “Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. HP Mas Dhimas dah enggak aktif. Kan kamu tahu sendiri kalo kapal sudah ke tengah laut, su
Aku pernah mendengar laki-laki akan mengalami puber ke dua. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak bergabung di sebuah aplikasi grup klub mobil, hari-hari yang kujalani jadi lebih semangat. Grup itu selalu ramai, sebab ada wanita yang aktif di sana, Tante Nely. Kami biasa memanggil tante untuk member perempuan dan memanggil om untuk member laki-laki. Sikap Nely yang ceria menggelitikku untuk melakukan chat pribadi dengannya. [Hai Tante Nely cantik, lagi apa sekarang … ] Tak kusangka Nely orangnya begitu cair. Dia merespon pesan demi pesan dengan guyonan yang nyerempet-nyerempet. Sebagai lelaki normal, aku semakin kecanduan untuk terus meladeni chat-nya. Namun, pada satu titik, ia menangis. Tatkala menceritakan masa lalunya. Perceraian di usia pernikahannya yang ke sebelas. Sesuatu yang tak pernah disangkanya. Nely mengaku, jika keceriaannya di grup untuk menutupi rasa galaunya ya
Ternyata takdir belum mengantarkanku menjadi janda ditinggal mati. Nely berhasil diselamatkan Mas Wildan saat tercebur ke laut. Mengapa mereka tak terseret arus saja sekalian? Beberapa kasus penumpang tercebur biasanya jarang yang tertolong. Nasib baik rupanya masih memihak kepada kedua sejoli itu. Hatiku cukup panas saat mendengar Mila bercerita bahwa Mas Wildan dan Nely terlihat begitu mesra saat berada di atas sekoci. Mereka tak malu berpelukan meski menjadi sorotan penumpang lainnya. Kupencet lagi nomor Mas Wildan. Ini panggilan video call yang ke lima. Aku ingin melihat wajah suamiku setelah upaya heroiknya menyelamatkan perempuan yang lupa mengurus anaknya itu. “Ya, hallo, Dik,” sapanya yang sedang bertelanjang dada. Rambutnya basah. Aku sempat menelan saliva. Keadaan Mas Wildan seperti ini adalah kelemahanku. Ada desira