Aku rasanya sudah tak sabar ingin menunjukkan kelakuan Nely kepada Mila. “Mil, kamu pingin tahu Si Nely itu kek gimana? Nih!” Kuberikan gawaiku kepadanya. Tepat pada foto-foto yang dikirim Nely yang tersimpan di galery. Termasuk foto di kamar hotel itu.
“Astaghfirullaha‘adzim….Ya Allah, mimpi apa aku semalam?” Mila mengelus-elus dadanya.
“Ini beneran Pak Wildan? Kok aku masih enggak percaya ya. Ya Allah…kamu sabar banget, Say.” Mila masih mengamati foto itu satu persatu. Diklik terus di-zoom.
“Ini kan di Kawah Putih Bandung, Say. Kapan mereka ke sananya? Hm … gayanya Nely. Nempel terus. Pingin kujotos rasanya.” Mila masih terus memelototi foto-foto itu dan sesekali keluar kata-kata kasar dari mulutnya.
“Maaf ya, Say. Aku jadi enggak ngefans lagi sama Pak Wildan kalo begini ceritanya. Padahal dulu aku itu kagum loh. Orangnya pendiam. Bacaan al-Qur’annya fasih. Aku pas ikut layar dengerin Pak Wildan ngimami sholat rasane ayem atiku. Meski bacaan suamiku ya enak juga sih.” Mila terus mengenang saat masih kagum dengan sosok Mas Wildan.
“Sudah, sudah nostalgianya,” potongku, “sekarang bantu aku gimana caranya bisa dapat informasi tentang Nely. Aku lagi judek ini enggak bisa mikir apa-apa. Semua serba tiba-tiba. Mana Mas Wildan tutup mulut lagi. Dia enggak mau buka identitasnya Nely sama sekali.”
“Aduh Say, gitu saja kamu bingung. Sekarang ini ‘kan zamannya sosmed. Ya kita cari saja di sana. Aku yakin orang senarsis Nely pasti lengkap akun sosmednya. Kamu cek di F*, aku cek di I* ya.” Dia kemudian mengeluarkan ponselnya.
“Oya, coba cek akun Pak Wildan juga. Siapa tahu Nely komentar di sana,” pintanya.
Kami kemudian sama-sama berselancar di dunia maya. Sesuai arahan Mila, aku cek akun suamiku. Akun F*-nya sepi. Aku paham, ini karena suamiku bukan orang yang narsis. Dia tidak suka upload foto diri atau hal-hal yang menyangkut urusan pribadi. Paling cuma nge-share tulisan atau video tentang bacaan al-Qur’an.
“Nihil, Mil. Enggak ada petunjuk di akun F* suamiku.”
“Pak Wildan punya I* enggak?”
“Enggak punya,” jawabku yakin.
“Ya sudah, kamu fokus saja mencari akunnya Nely di F* kalo gitu!”
Tanpa menunggu lama aku langsung mengetik nama Nely di pencarian. Ada banyak akun yang menggunakan nama Nely. Kami harus cek satu persatu akun itu untuk melihat gambar profilnya. Kata Mila, hampir dipastikan orang seperti Nely menggunakan gambar close up sebagai foto profilnya. Ini tentu lebih memudahkan kami melakukan pencarian.
Kami hampir frustasi karena belum menemukan akun yang dimaksud. Hingga, “Alhamdulillah ketemu!” teriak Mila kegirangan hampir bersamaan denganku, sehingga Rheza terbangun dari tidurnya.
“Bunda.…” panggilnya manja.
“Iya sayang. Sudah bangun, ya? Duh pinter anak bunda. Yuk baca doa dulu. Alhamdulillahilladzi ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilaihin nushur.”
Sementara Rheza menirukan lafadz doa bangun tidur di bagian akhir kalimat saja.
“Mimik!” pintanya. Segera kuambilkan minuman yang ia tunjuk, air mineral. Setelah itu dia menuding-nuding pintu.
“Adik minta apa?”
“Alan-alan.”
“Ayo kita jalan-jalan! Mau lihat ikan?” tawarku.
Dia mengangguk. Lalu kuambil gendongan untuk menopang tubuhnya. Rheza paling suka melihat ikan. Di rumah juga dibuatkan kolam ikan mini sama Mas Wildan. Kesukaannya pada ikan tertular dari hobi kakaknya yang suka memelihara hewan yang hidup di air itu. Maklum, sama-sama anak cowok.
“Mil, anakku minta keluar nih. Gimana?”
“Enggak apa-apa. Turuti saja. Aku di sini saja ya. Biar aku kumpulin data tentang Nely dulu. Kok kebetulan temenku ada yang berteman dengan Nely ini. Tar kamu terima jadi, Say.”
Mila masih serius membuka ponselnya. Bahkan ia menggunakan dua gawai sekaligus. Temanku yang satu ini memang encer otaknya. Dia selalu cepat dan tangkas jika bekerja. Makanya bisnis property-nya berkembang pesat, meski usianya masih 31 tahun.
Aku tinggalkan Mila di kamar lalu menuruti keinginan Rheza melihat ikan di ruang lobi. Rheza kuajak dengan tetap membawa tiang infus tentunya. Sengaja kuminta tiang infus yang ada roda di bagian bawah agar memudahkan bergerak. Seperti saat ini ketika Rheza minta jalan-jalan.
Pada detik ini hatiku merasa nelangsa. Menggendong Rheza sekaligus menarik tiang infus. Aku yang biasanya tak pernah sambat merawat anak, saat ini terbesit rasa sesak. Seolah ini menjadi pekerjaan yang berat. Padahal biasanya kulakoni dengan enteng. Ini efek dari status si Ulat Bulu yang aku lihat tadi. Ada rasa tak terima melihat Mas Wildan enak-enakkan pegangan tangan sama wanita lain, sementara aku di sini pegang tiang infus. Ngenes. Astaghfirullah, ikhlas Alya! Ikhlas merawat anak! Enggak usah iri sama lakimu yang lagi mabuk cinta itu! Hati kecilku mencoba menguatkan agar tetap tegar.
Ponsel di saku kuambil. Aku ingin tahu apa yang dilakukan suamiku sekarang lewat panggilan video call. Meski aku tahu dia sedang bersama wanita itu. Kuniatkan biar dia ingat anaknya. Panggilan berdering. Berarti ponselnya aktif. Beberapa saat kemuadian, akhirnya panggilanku diterima.
“Ya, Dik. Ada apa?”
Aku tak menjawab. Kamera gawai kuarahkan pada wajahnya Rheza.
“Hai Rheza sayang, sudah bangun ya? Ayah kerja dulu, maaf tadi belum sempat pamit.”
“Eh…eh….eh….ikan…ikan….,” ucap Rheza sambil mengarahkan telunjuknya ke akuaruim. Lalu kamera ponsel kuarahkan pada akuarium.
“Ya sayang. Nanti ayah telepon ya kalo sudah nyampe. Ini masih di jalan. Dadah …” Mas Wildan melambaikan tangan kirinya.
Kukira video akan dimatikan, tetapi kameranya beralih ke wajah perempuan itu. Dia tersenyum sinis kepadaku. Lirikan matanya terlihat licik. Meski tak bicara, ekspresinya terlihat jelas mengejekku. Baru setelah itu video dimatikan. Lalu kukirimkan pesan.
[Kok kamu enak, Mas. Jalan bareng perempuan itu. Sementara aku jagain Rheza di sini. Apa Rheza aku tinggal saja biar dijaga pembantu? Terus aku jalan juga sama teman kantorku?]
Jelas aku tak akan tega meninggalkan Rheza dalam kondisi seperti ini. Pesan itu hanya gertakan untuk Mas Wildan. Biar dia sedikit saja pakai otaknya. Pesan centang dua biru. Dibaca saja, tidak dibalas.
Setelah puas melihat ikan, Rheza minta naik turun lift. Mungkin dipikirnya lift itu mainan baru. Dia tersenyum saat liftnya jalan. Memang saat lift bergerak ada sensasi enco kata orang Jawa. Aku sampai sungkan sama perawat yang ada di meja jaga. Dikiranya ngapain aku keluar masuk lift. Untungnya si perawat hanya tersenyum saat pandangan kami saling bertemu. Mungkin ia sudah paham kalau ini permintaan anakku. Setelah bosan naik turun lift, akhirnya Rheza minta balik ke kamar. Kulihat Mila sudah membuat beberapa catatan di aplikasi note-nya.
“Ini datanya si Nely. Nama akun F*-nya Nely Cantik. Akun I*-nya juga sama. Status janda dua anak. Resmi bercerai setahun yang lalu. Dia posting surat cerai dari pengadilan. Ini akun mantan suaminya. Mantan suaminya sudah nikah lagi. Satu bulan setelah surat cerai dari pengadilan terbit.” Mila melaporkan hasil pencariannya layaknya detektif profesional, tetapi gratisan. Aku sempat tersenyum melihat keseriusannya.
"Oh, jadi dia baru setahun menjanda. Kok tahu akun mantan suaminya, dari mana?” tanyaku kagum sama kinerjanya.
“Aku tadi search nama akunnya si Nely. Kebetulan ada orang yang nge-tag dia tiga tahun lalu. Di postingan itu juga ada akun lain yang di-tag, Muhammad Rifki. Aku curiga itu mantan suaminya. Karena di postingan itu mereka seperti dua pasang keluarga yang sedang liburan. Setelah kucek, benar. Di postingan laki-laki itu ada gambar anak yang juga ada di wall-nya Nely.”
“Oh …” Mulutku dibuat membentuk huruf O saking kagumnya.
“Di akun Muhammad Rifki itu tertera keterangan dia menikah dengan Imelda Putri. Tugasmu sekarang silakan gali informasi lebih dari suami istri itu. Kamu sudah paham ‘kan, Say?”
“Ya ngerti. Habis ini ku-inbox mereka.”
“Oya, ada satu kejutan lagi.”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Pantes saja akun Pak Wildan sepi. Lah, dia buat akun baru.”
“Masak sih?” tanyaku tak percaya.
Tanpa banyak omong Mila langsung menunjukkan akun F*-nya si Nely. Tertera jelas di sana statusnya menikah dengan Wildan Wildan. Aku langsung membuang muka ke tembok. Ternyata suamiku tak sepolos bayanganku soal sosial media. Di akun barunya itu dia begitu aktif membuat postingan pribadi. Mas Wildan dan Nely saling berkirim komentar di postingan mereka. Aku seperti tak mengenal suamiku sekarang.
Akun mereka di-setting publik. Sehingga meski tak berteman pun aku tetap bisa melihat semua isinya. Bisa jadi itu dilakukan agar aku leluasa melihatnya. Termasuk postingan si Nely memegang buket bunga dengan senyum bahagia mengembang hingga menampakkan gigi dan gusinya. Keterangan foto itu, ‘Thanks for the flower. A Happy day.’ Kemudian teman-temannya mengomentari. “Sah dan basah, selamat ya ….” dan komentar senada lainnya. Kuduga itu adalah hari pernikahan mereka, meski tak di-upload foto akad pernikahan di sana. Diksi ‘sah’ dan ‘basah’ sudah mewakili prosesi akad dan malam pertama.
“Say, aku mau pamit dulu ya. Tetep semangat!” ucapnya disertai seulas senyum. Mila pasti paham hatiku sangat sakit saat ini.
“Aku akan support apa pun langkah yang kamu pilih.” Sekali lagi Mila memberiku dukungan. Dalam detik ini benakku berusaha mengumpulkan penggalan peristiwa dua bulan silam. Bertepatan pada tanggal yang sama saat Nely memposting foto memegang bunga itu. Sedang apakah aku kala itu hingga tak menyadari suamiku kawin lagi?
“Oke, terima kasih untuk semuanya. Hati-hati di jalan!” ucapku saat Mila sudah menenteng tasnya. Kami bersalaman lalu berpelukan erat.
“Oya, nanti fotonya Nely aku bawa ke Pak Kiai. Biar dilihat dia itu orangnya kayak gimana.” Mila meminta izin kepadaku.
“Terserah kamu deh. Mau kau buat nakut-nakutin tikus juga enggak apa-apa.” Aku sempat tertawa saat mengucapkannya. Kucoba sedikit rileks menyikapi masalah ini. Biar tidak terlalu tegang.
Setelah Mila pergi, segera ku-inbox pesan buat mantan suaminya Nely –Muhammad Rifki dan istrinya.
Assalamu’alaikum.
Pak Rifki, sebelumnya saya mohon maaf telah menyita waktunya. Mohon izin, perkenalkan saya Alya Az-Zahra. Saya membutuhkan informasi tentang Bu Nely karena dia telah menikah diam-diam dengan suami saya. Demikian, saya ucapkan terima kasih atas kerjasamanya. Semoga Bapak sekeluarga senantiasa dalam rahmat Allah.
Wassalam.
Alya Az-Zahra
Pesan yang sama kukirim melalui messenger kepada istrinya Pak Rifki, hanya mengganti penerima suratnya saja menjadi Imelda. Semoga mendapat balasan secepatnya.
.
.
[Bersambung]
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati