Share

Bab 3: Mobil Sama

Entah dapat kekuatan dari mana. Aku justru tertantang untuk membuktikan bahwa sikap Nely itu hanya modus belaka. “Oke, mari kita lihat sampai kapan si Nely itu kuat membayar biaya hotel tiap kapal sandar.”

Aku tidak boleh terlihat gentar. Jangan karena informasi sepihak dari Mas Wildan, aku langsung percaya begitu saja pada sosok Nely yang diceritakannya. Bisa saja itu semua hoax, bukan? 

“Aku mau balik ke rumah sakit sekarang, Mas. Kamu mau ikut atau istirahat di sini terserah!” Kusiapkan juga baju-baju Rheza, perlengkapan mandi, dan skincare.

“Aku mau mandi dulu. Nanti aku nyusul. Oh ya, besok pagi aku harus balik. Karena sore kapal sudah muat. Aku enggak bisa ngajukan libur mendadak karena semua sudah terjadwal,” jelas Mas Wildan dengan tenang.

“Kamu bilang enggak bisa libur utuk jagain Rheza, tapi kamu liburan di tempat lain aku juga enggak tahu, Mas.” Biasanya aku langsung percaya apa yang ia katakan. Namun, sejak kasus ini terkuak, rasa curigaku membabi buta.

“Kamu sudah enggak percaya sama Mas sekarang?”

“Kamu sendiri yang merusak kepercayaan itu.”

Tak lama berbasa-basi, aku langsung mencari kontak motor. Kuambil tas isi baju dan perlengkapan yang tadi telah kusiapkan. Rasanya aku ingin segera menghindar dari Mas Wildan. Kenapa dia enggak balik kerja malam ini saja. Tidak bertemu dengannya untuk sementara waktu sepertinya lebih baik buat kesehatan jiwaku.

***

Waktu menunjukkan jam sembilan malam lebih. Arus kendaraan masih cukup ramai saat kutempuh perjalanan menuju rumah sakit. Jarak rumahku dan rumah sakit hanya tujuh kilo meter. Saat berhenti di perempatan lampu merah, air mataku kembali tumpah. Tiba-tiba terbayang perceraian atau aku harus berkompromi dengan si Nely itu? Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana nasib rumah tanggaku setelah ini. 

Kucoba mengalihkan fokus ke anakku dulu. Rheza lebih membutuhkanku sekarang. Setiba di rumah sakit, aku segera menaruh tas di kursi tunggu ruang pemulihan pasca operasi. Kami belum mendapat kamar untuk rawat inap. Kata pihak rumah sakit, semua kamar masih penuh. Semoga besok sudah ada kamar kosong.

Ibuku menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang pasien di ruang pemulihan pasca operasi. Rupanya beliau tertidur di samping cucunya. Wajah yang sudah keriput itu, haruskah kubebani lagi maslah? Sungguh, aku tak tega. Biarlah kusimpan sendiri dulu sampai batas kekuatanku. Baru jika aku sudah tak kuat menanggungnya, akan kulibatkan keluarga besar. 

“Bu, bangun! Biar Alya yang gantiin jaga Rheza,” kugoncang bahunya perlahan. Begitu melihatnya terjaga, aku kembali menitipkan pesan, “Oh ya, nanti kalo Mas Wildan sudah datang, ibu minta antar pulang saja. Dia ke sini bawa mobil.”

“Ibu pingin di sini, Nduk,” tolaknya.

“Ibu istirahat saja di rumah. Kita belum dapat kamar soalnya. Lagian sudah ada Mas Wildan. Besok saja ibu balik ke sini lagi. Karena Mas Wildan harus balik kerja.”

Wanita berusia kepala enam itu berjalan meninggalkan ruangan. Pandangan kualihkan kepada Rheza. Kuelus-elus tangan mungilnya. Seandainya aku tidak pernah keguguran, Rheza akan menjadi anakku yang ke tiga.

“Rheza, cepat sadar ya, Nak! Habis ini kita main kereta Thomas lagi.” Kuajak anakku bicara meskipun matanya masih terpejam. Tangan kecil yang tadi kupegang memberi reaksi.

“Bunda…” Suaranya lirih memanggilku.

“Alhamdulillah. Anakku sadar. Ya sayang…bunda di sini.”

“Mimik .…” 

Sepertinya dia haus, tetapi aku harus tanya perawat dulu apa sudah boleh minum sekarang. 

“Sebentar ya, Sayang, tunggu dulu!”

Segera kuberlari kecil menuju perawat yang jaga di pojok ruang pemulihan. Dari penjelasannya, anakku sudah boleh minum air putih atau teh karena sudah lewat dari dua jam pasca operasi. 

Segera kuambil air mineral kemasan tanggung itu beserta sedotannya. Kuganjal kepala Rheza dengan bantal. Lalu kulepas masker yang terhubung ke tabung oksigen itu.     

“Diminum pelan-pelan ya, Sayang.”

Setelah menyedot tiga kali tegukan, Rheza kembali bicara. “Ayah…?”

Ya Allah, anakku mencari bapaknya. 

“Iya sayang, ayah pulang. Bunda teleponkan dulu ya.”

Dengan suara lirih kucoba melakukan panggilan ke Mas Wildan, tetapi ponselnya sedang sibuk. Kuulang sekali lagi masih saja nomornya ada di panggilan lain. Ya ampun, Mas. Kamu lagi telepon sama siapa sih malam-malam begini?

“Sebentar ya, Sayang. Ayah masih di jalan.”

Aku keluarkan boneka mobil Thomas untuk menenangkan Rheza. Hadiah dari temannya Mas Wildan ini menjadi teman tidur Rheza di rumah.

“Lepas! Lepas!” Tangan Rheza mencoba untuk mencopot masker yang dipasang di mukanya. 

“Jangan Sayang, biar adik sembuh dulu. Tetap dipakai, ya!”

Ponselku bergetar. Rupanya panggilan dari Mas Wildan. Aku tadi memang meninggalkan pesan agar ia segera masuk ke sini jika sudah tiba di rumah sakit.

“Ada apa, Dik?”

“Dicari Rheza. Dia sudah sadar.”

“Iya, iya. Ini aku sudah di dalam lift. Dua menit lagi nyampe.”

Selang beberapa menit kemudian Mas Wildan dberatang. Kuperhatikan dua laki-lakiku yang sangat mirip itu. Semoga kemiripan itu berhenti di fisik saja. Jangan sampai Rheza meniru kelakuan bapaknya juga saat berumah tangga nanti.

“Ayah, gendong!” Anak itu terlihat senang bapaknya pulang. 

Mas Wildan menatapku, seperti minta persetujuan. 

“Gendong saja. Hati-hati! Awas selang infus dan oksigennya.” Aku tinggalkan mereka berdua. Sebab penjaga pasien dibatasi satu orang saja.

***

Semalaman kami bergantian menjaga Rheza. Sehingga tak ada kesempatan berbicara. Hingga waktu pagi tiba. Ibu dan Kakak perempuanku datang membawa dua bungkus nasi pecel. Ibu menyuruh kami sarapan, tetapi kami kompak menolak. Jam tujuh pagi perutku belum menuntut haknya. 

“Bu, Wildan pamit balik dulu.” Diciumnya punggung tangan ibuku.

Oalah … kok sebentar?”

Inggih, Bu. Cuma dapat izin sebentar. Jadwalnya kru yang lain yang libur.”

Ya wis. Hati-hati ya, Nak. Kerjo adoh iku akeh penggudo. Sing rajin dungo,” pesan Ibu kepada menantunya yang terasa mengena sekali.

Mas Wildan beralih pamit padaku, “Dik, Mas berangkat dulu. Yang sabar ya!”

Kuraih tangannya dan kucium punggung tangan itu, “Maaf enggak bisa anter.” Biasanya aku selalu mengantar Mas Wildan ke terminal.

“Enggak apa-apa, kamu jaga Rheza saja. Aku usahakan mengurus libur secepatnya.” Dia mengecup keningku seperti biasa saat hendak balik kerja.

Ja’alallahu takwa zaadaka wa ghofaro dzambaka wawajjahaka lil khoiri haitsuma wajjahta.” Meski hati ini sakit, aku masih mendoakan keselamatannya. Sebuah rutinitas setiap mengantar kepergiannya mencari nafkah. Namun, kali ini ada rasa yang berbeda. Kulepas kepergian Mas Wildan dengan perasaan entah.

***

Jarum jam dinding belum tepat menunjuk pukul sembilan pagi. Mbak-Mbak perawat memberi kabar akan ada kamar untuk anakku. Kamar VIP penuh. Sehingga kami dipilihkan kamar kelas satu, tetapi dicarikan yang pasien satunya juga anak-anak. Akhirnya, Rheza sudah boleh pindah dari ruang pemulihan ke kamar rawat inap. Di kamar ini kami lebih leluasa mengobrol. Tak lama kakak laki-lakiku datang bersama istrinya.

Loh, kamu di sini toh, Al?” tanyanya dengan dahi berkerut.

“Iya, dari tadi aku di sini. Kenapa emangnya, Mas?”

“Tadi pas aku mau parkir beli cemilan buat Rheza, aku lihat Wildan masuk mobil. Lah mobile sama persis warnanya dengan punya kalian, neh. Aku pikir ya sama kamu. Di kursi depan ada perempuan berkerudung,” ucap Kaka lelakiku berapi-api.

“Mas salah lihat kali. Mas Wildan sudah balik pagi tadi,” sangkalku.

“Enggak lah. Aku yakin itu suamimu,” kekeh Kakakku.

“Lah mobilku di parkiran kok, Mas. Ini kontaknya ditinggal sama Mas Wildan.” Aku tunjukkan kontak yang masih tergeletak di atas nakas.

“Aneh, enggak mungkin aku salah lihat. Tahu gitu aku samperin dia tadi. Biar yakin.”

Wis toh, Mas. Kamu ini niat jenguk Rheza apa bikin Alya kepikiran!” pungkas kakak iparku.

“Ya nantilah aku tanyakan. Biar Mas enggak penasaran.” Kupaksakan menyunggingkan senyuman. Sepertinya mulai sekarang aku harus belajar bersandiwara.

Laki-laki yang mulai beruban itu pun mendatangi keponakannya. Selain dibawakan cemilan, Rheza juga dibelikan kereta warna merah, James namanya. Temannya Thomas yang suka kebersihan. Rheza sangat senang mendapat hadiah dari pamannya.

Sementara itu, aku menahan rasa penasaran. Benarkah yang dilihat kakak laki-lakiku itu Mas Wildan? Informasi suamiku naik mobil bersama seorang wanita berkerudung membuatku linglung. Mungkinkah itu Nely? Rumahnya di mana kok sampe menjemput Mas Wildan ke sini?

Andai anakku tidak sedang sakit, pasti aku bergerak cepat menyelesaikan teka-teki ini. Aku berpikir keras siapa kira-kira yang bisa kuminta bantuan mengumpulkan informasi tentang Nely.

.

.

[Bersambung]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status