Share

Chapter 3

Pagi kembali datang. Mao baru selesai mengangkat dua kantong plastik berukuran sedang berisikan sampah kedepan rumahnya karena biasanya setiap hari senin, rabu dan jumat,sampah sampah itu diangkut. Nyapu dan ngepel juga tak absen menjadi sarapan paginya sebelum memulai aktivitas yang lain. Jangan lupakan, suara channel TV yang menyumbang kebisingan disaat para penghuni kamar kos lain masih terlalu asik menyelam lelapnya, maklum sekarang jatahnya para pencari libur.

Long weekend. Tiga hari berturut turut. Ajib bukan? 

Mao juga memberi rehat dirinya untuk absen bekerja hari ini,oh tidak dua hari sama kemarin dan itu gara gara Rafa, kekasihnya. 

"Hah, kasusnya makin nambah korban jiwa aja. Kemarin artis, pejabat, masyarakat umum. Semua kena imbasnya tanpa mengenal kasta" Mao bergumam lirih sambil mengalihkan tayangan dari berita ke acara kartun kucing dan anjing. 

Ia melirik ke samping, bingkai foto dirinya dengan sang ibu tertata apik menjadi pemandangan memilukan dengan rindu yang menggelora secara bersamaan. Foto kenang kenangan dan satu satunya yang tersisa. 

"Ibuuuu.. Mao kangen boleh ya. Biasanya ibu selalu marahin Mao kalau bangun tidur enggak langsung mandi. Biasanya ada ibu yang bawelin setiap kali Mao males buang sampah kedepan. Mao kangen semua tentang ibu. Mao pengen dimasakin lagi, pengen disisirin rambutnya, pengen dipeluk, pengen.. Hiks"

Luruh sudah tangis yang sejak tadi berusaha ia redam. Sesulit apapun ditepis, ketidakrelaan masih menggelayut manja dan meninggalkan ruang hampa yang menganga begitu lebar. Salahkah dirinya Tuhan? 

                                   Xxx

Rafa melonggarkan dasi yang seperti penuh sesak mencegat tenggorokannya. Jam istirahat masih berlangsung hingga 1 jam kedepan, tapi enggan baginya untuk keluar dari ruangan dan memilih langsung untuk meraih handphone tanpa bersusah payah membuka kunci layar atau mencari kontak yang dituju. 

"Call Mao" dan seketika panggilan langsung terhubung dan sayangnya tidak mendapat jawaban sesegera mungkin. Bukan Rafa namanya jika berpijak dengan kata menyerah. Maklum predikat 'Bucin' yang tersemat oleh adiknya Adam Malik sekarang tanpa sengaja melekat kuat di pria yang menduduki kursi CEO tersebut. 

Sudah pusing karena pekerjaan yang menumpuk belum tadi ada pembahasan alot diruang meeting oleh beberapa pendiri perusahaan lain ditambah dengan hilangnya Mao yang sepertinya mengabaikan panggilannya secara sadar itu membuat daftar frustasi yang memenuhi isi kepalanya. 

"Kamu kemana lagi sih Mao? " Gumam Rafa lelah sambil menyandarkan badannya pada kursi pijat ratusan juta tersebut. 

"Selama ini aku yang terlalu sibuk, apa kamu yang seolah tertutup dan enggan bercerita? Apa kamu masih menganggap aku orang asing, Mao? " Ucapnya gamang seolah didepannya nampak pujaan hatinya yang menjadi gundah gulana nya sekarang. 

Suara ketukkan mengalun yang membuat Rafa melirik tak minat tapi tetap bersuara. " Ya"

"Maaf Pak,ini saya Dreza"

"Masuk"

Pintu otomatis terbuka hanya mendengar suara Rafa yang mengintruksinya. Dreza sekretarisnya yang selama dua tahun, menemaninya mem-back up dan melakukan pekerjaan dengan baik, tengah berdiri ditengah ruangan. "Maaf, bapak tidak keluar ruangan? Sekarang waktunya istirahat"

"Tidak. Kalau kamu mau istirahat silahkan"

"Baik Pak, permisi"

Rafa menghela napas dan berusaha menelpon Mao namun lagi lagi kehampaan yang menyapa. Tidak ada jalan lain, Rafa bertekad akan menyewa bodyguard secara tersembunyi walaupun Mao pernah menolak idenya.

Kalau kekasihnya selalu tidak ada kabar seperti ini dan dirinya sendiri masih harus berkutat di kantor, jangan salahkan Rafa akan melakukan hal lain demi menjaga Mao untuk selalu menjadikannya tempat pulang. 

Karena Rafan Malik Zaidan sangat menyayangi Maudy itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status