LOGIN
“Mengapa kita di sini?”
Honey menarik pelan tangan Charlotte yang membawanya ke klub malam dekat hotel yang mereka tempati di Boston.
Charlotte hanya tersenyum dan menarik kembali tangan Honey agar ikut masuk ke dalam. “Sudah ikut saja!”
Lampu neon bar berkilauan, menyorot wajah-wajah riuh yang bersenandung bersama dentuman musik. Honey menunduk sembari menyesal. Seharusnya dia tetap berada di kamar hotel untuk beristirahat. Besok adalah audisi terakhir bagi Honey untuk mewujudkan impiannya sebagai penyanyi.
Tapi ia ada di sini saat Charlotte malah memintanya menemani. Padahal Charlotte adalah salah satu saingan Honey pada audisi itu.
“Ini minumanmu!” Charlotte menyodorkan segelas besar bir. Senyum Charlotte tampak manis, tapi tatapannya penuh tekanan.
Honey membesarkan mata menatap gelas. “Aku tidak bisa, Char. Besok kita harus audisi dan itu sangan penting banget buatku.”
Charlotte menyandarkan dagu di telapak tangan, pura-pura kecewa. “Kamu selalu terlalu serius. Hanya satu gelas. Kamu butuh relax biar bisa tampil maksimal. Aku janji, habis ini kita langsung kembali ke hotel.”
Honey menggigit bibir bawahnya. Di satu sisi, ia ingin menolak tegas. Di sisi lain, Charlotte juga temannya dan ia berharap Honey mau menemaninya. Honey yang polos mengira Charlotte terlalu gugup sehingga mengajaknya minum. Akhirnya, Honey mengangguk pelan lalu menyesap minumannya. Rasanya manis di awal, tapi getir di akhir.
Charlotte menatapnya puas, meski bibirnya tetap tersenyum lembut.
Lima belas menit kemudian, Honey mulai merasa aneh. Pandangannya berkunang-kunang, napasnya terasa berat. Ia berdiri dengan susah payah.
“Charlotte, kenapa rasanya panas sekali?” gumamnya mendesah pelan.
Charlotte pura-pura terkejut. “Apa kamu baik-baik aja? Apa kita pulang saja?”
Honey mengangguk setuju dan mencoba berjalan, tapi lututnya gemetar. Charlotte menahan tubuhnya, memapah dengan cepat ke arah lift hotel yang berada di atas klub itu.
Di lorong sepi, Charlotte berhenti. Keringat dingin menetes dari pelipis Honey. “Aku mau ke toilet,” bisik Honey lemah.
Charlotte menatapnya sekilas. “Maaf, Honey. Aku juga tidak punya pilihan.”
Ia tidak menuntun ke toilet. Sebaliknya, Charlotte menekan tombol lift menuju lantai atas. Saat pintu terbuka, ia menggiring Honey ke koridor yang lebih sunyi.
Rencananya sederhana, ia harus mencegah Honey tidak kembali ke audisi esok hari. Biar hanya dirinya yang lolos. Charlotte tahu kemampuannya akan mudah dikalahkan oleh Honey sedangkan hanya ada satu orang yang lolos mewakili Pennsylvania.
Namun, sebelum Charlotte sempat pergi, seorang pria berjas hitam melintas. “Permisi, kamu butuh bantuan?” Pria itu sedikit menunduk melihat Honey yang sudah terduduk tak sadarkan diri di lantai.
Charlotte berpikir cepat. Kalau ia terlihat panik, ia akan dicurigai. Jadi ia tersenyum sopan. “Ya, benar. Temanku seharusnya bertemu seseorang di sini, tapi aku harus harus pergi.”
Pria itu mengalihkan pandangan dari Honey ke Charlotte. “Oh, aku mengerti maksudmu. Biar kuantarkan dia.”
Charlotte pun meninggalkan Honey begitu saja. Saat langkahnya menghilang di ujung lorong, Honey hanya bisa merintih, tubuhnya semakin lemas.
Pandangan Honey sudah kabur, kepalanya terasa berat seakan dunia berputar saat pria berjas itu membawanya ke sebuah pintu. Pria itu memencet bel kamar sekali dan tak lama pintu terbuka. Samar-samar Honey melihat sosok pria muda berdiri di depannya. Tubuhnya tegap, hanya mengenakan celana panjang tapi wajahnya kabur oleh pusing yang berdenyut di kepala Honey.
“Aku tidak memesan siapa pun.” Suara berat pria itu terdengar.
“Tapi dia mengaku kenalan dan ingin menemuimu.”
Honey masih bisa mendengar dan ingin protes tapi ia tak punya cukup tenaga untuk bicara. “Tolong ... aku tidak kenal dia,” batin Honey terus bicara.
Setelah itu hanya ada rasa gamang dan Honey terhuyung. Ia tak mampu menangkap kata-katanya, hanya gaung samar di telinganya. Tubuhnya seakan jatuh, namun sebuah tangan kuat menahan tubuh mungilnya.
Honey mengerjap lemah. Aroma asing memenuhi hidungnya—cedar dan sisa alkohol. Dadanya berdebar menarik lebih banyak oksigen agar kembali sadar. “Siapa … kamu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Tubuhnya digiring ke dalam ruangan. Kaki Honey masih bisa sekilas merasakan dinginnya lantai sebelum melayang. Di tengah deru napas tersengal, punggungnya menyentuh permukaan ranjang yang empuk. Kelopak matanya semakin berat, wajahnya memanas, dan nafasnya terengah.
Dalam kabut kesadarannya, Honey meraih lengan yang melingkar memapahnya. Suaranya pecah, lirih dan putus asa. “Tolong … jangan tinggalkan aku.”
Tidak ada jawaban, hanya ia bisa merasakan selimut hangat menutupi dirinya hingga bahu. Honey mencoba membuka mata sekali lagi, namun pandangan langsung menghitam hingga ia akhirnya terlelap.
Keesokan harinya, Honey terbangun dengan kepala berdenyut hebat. Ia melihat sekeliling dan perlahan menyadari jika itu bukan kamar sewaannya.
Di mana aku? Apa yang terjadi semalam?
Selimut masih melingkupinya. Ia menoleh dan terkejut melihat seorang pria asing tertidur di sebelahnya.
Dengan jantung berdegup kencang, Honey buru-buru meraih pakaiannya di kursi, lalu mengenakannya dengan tangan gemetar. Air mata membasahi pipinya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal pasti. Honey sudah tidur dengan pria asing.
Dengan langkah limbung, ia berlari keluar kamar, menekan tombol lift sambil menahan isak.
“Ya Tuhan … jangan sampai aku terlambat. Kumohon,” bisiknya berulang-ulang di dalam lift.
Honey berlari mencari taksi hingga ia tiba di tempat audisi yaitu tempat hotelnya menginap. Di lobi hotel, kerumunan orang sudah ramai. Begitu sampai di lobi hotel, Honey mendapati kerumunan orang sudah ramai. Banner besar bertuliskan Final Audition: New Skylar Rising Star terpampang di pintu masuk ballroom. Suara riuh, tawa, dan obrolan bercampur dari para peserta yang sudah selesai tampil.
Honey berdiri di sana dengan wajah pucat, masih menggenggam tasnya yang sedikit lusuh.
Langkahnya berhenti. Terlambat sudah. Jam di ballroom menunjukkan pukul 01.13 siang. Audisi sudah selesai tadi pagi. “Aku terlambat ....” bisiknya dengan suara patah. Impian yang ia bawa jauh-jauh dari Pennsylvania hancur hanya dalam satu malam.
Kepanikan Rei makin bertambah saat Honey telah berhasil turun ke bawah tanpa bisa dicegah. Seluruh anggota keluarga langsung berdiri dan ikut bingung melihat kejadian itu. Hanya Ares yang mengetahui bahwa Honey adalah Honey dan ia langsung menghampiri Rei yang tengah mengetuk pintu lift yang sedang tertutup.Rei terengah dan terlihat panik dengan kedua tangan akhirnya berkacak pinggang. Ares menarik lengan Rei separuh berbisik ikut bertanya padanya.“Rei, kenapa dia kabur? Axel kenapa?” Rei menggelengkan kepalanya cepat. Arjoona yang juga curiga dengan pergerakan anaknya jadi ikut menyusul untuk bertanya.“Rei, apa yang terjadi?” tegur Arjoona kemudian. Rei hanya menoleh tapi tak menjawab dan ia segera berlari keluar dari penthouse Aldrich tanpa pamit.“Rei ... Rei!” panggil Claire pada Rei tapi ia tak peduli dan tetap berlari keluar untuk mengejar Honey.Honey sudah keluar dari lift di lobi paling bawah dan lang
Di mobil Honey mengambil kesempatannya untuk menghubungi Axel lewat layanan chat. Rei menoleh pada Honey yang tengah mengetik pada ponselnya.“Kamu menghubungi siapa?” tanya Rei sedikit mengintip pada Honey yang tengah mengetik di ponselnya dengan serius.“Adikku,” jawab Honey singkat tanpa menoleh pada Rei yang masih menyetir. Rei menaikkan sedikit alisnya tanda mengiyakan. Honey masih sibuk mengetik di ponsel dan Rei sibuk curi-curi pandang pada Honey.“Apa kamu sedang memberitahukan pada adikmu jika kamu akan pulang larut malam?” Honey jadi menoleh pada Rei dan sedikit terperangah. Ponsel masih berada di tangannya.“Memangnya kita akan pulang larut malam ya?” tanya Honey dengan pandangan polosnya. Rei menoleh sekilas sambil menaikkan ujung bibirnya seperti menyeringai.“Memangnya kenapa jika kita pulang malam? Apa kamu punya jam pulang malam?” tanya Rei seperti tengah meledek. Honey han
Blake mendengarkan semua penjelasan Grey tentang Rei dan dugaannya bahwa ia telah tidur dengan Honey yang sebenarnya adalah Jewel Belgenza. Dari tertegun sampai melongo dan harus menelan ludah beberapa kali, jantung Blake semakin keras berdetak.“Aku sangat kenal Rei Harristian. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu apa lagi pada Jewel! Itu sangat tidak mungkin, Grey! Aku yakin jika dia sebenarnya sudah difitnah dan dijebak!” tukas Blake usai Grey alias Abraham menceritakan semuanya. Grey mengangguk pelan dan menyandarkan dirinya.“Aku juga tidak memiliki bukti yang kuat. Bisa saja itu orang lain. Tapi semua hal mengarah padanya, termasuk ini ...” Grey kemudian mengeluarkan potongan cek yang ia kumpulkan di satu kertas dan sudah ditempeli. Blake memeriksa kertas tersebut dan mengernyit.“Menurutmu siapa yang menandatangani cek itu?” tanya Grey dengan nada datar. Blake menarik napasnya berat.“Rei ...”
Blake Thorn sedang menyelesaikan latihan larinya beberapa saat sebelum seorang pelayan memberitahukannya jika ada seseorang yang tengah mencarinya.“Suruh tunggu di ruang kerjaku saja!”“Baik Tuan!” Pelayan itu pun pergi memberitahukan pada tamu tersebut agar menunggu di ruang kerja. Sedangkan Blake memilih untuk menyelesaikan beberapa waktu untuk terus berlari di treadmill nya. Namun tiba-tiba mesinnya dilambatkan oleh seseorang yang menekan tombol di depannya. Blake menoleh dan kaget lalu terjatuh di mesin treadmill sampai terjungkal ke belakang.“Oh Tuhan, kamu baik-baik saja?” tanya Grey mencoba membantu Blake. Ia benar-benar kaget dan hampir melompat sendirian.“Oh tidak ... Grey! GREY, KAU MASIH HIDUP?” pekik Blake dengan wajah pucat penuh histeris. Grey Hunter yang ikut berjongkok lalu bangun dan tak jadi membantu Blake. Blake cepat-cepat berdiri dan mencoba mendekat lalu melihat sosok Grey dengan sek
Honey terjebak di antara kejujuran dan desakan untuk tetap mempertahankan identitasnya sebagai seorang Axel Clarkson. Maka setelah ia didesak dan dicecar sedemikian rupa oleh Rei, akhirnya ia harus keceplosan.“Untuk apa dia datang menemuimu?” tanya Rei lagi masih dengan nada dan sikap yang sama.“Aku tidak tahu. Mana aku tahu!” sahut Honey mulai kesal. Ia benar-benar tak bisa lolos dan Rei makin menginterogasi seenaknya.“Tidak mungkin dia mencarimu jika tidak ada maksud tertentu! Apa dia pacarmu?” tukas Rei lagi. Ia makin berjalan mendekat namun Honey pun makin mundur ke belakang sampai punggungnya menyentuh sisi meja.“Dia …”“Jawab Axel! Apa dia pacarmu?”“Dulu …” Honey langsung dengan cepat menutup mulutnya. Mata Rei benar-benar terbelalak saat tahu jika yang menemui Honey ternyata adalah mantan kekasihnya. Memang Honey langsung menutup mulutnya. Matan
Rei mendengus kesal dan sempat mondar-mandir beberapa kali kala melihat Honey pergi begitu saja gara-gara sambungan telepon.“Siapa yang sudah mencarinya? Aku penasaran!” gumam Rei lalu ikut keluar dari ruangannya untuk menyusul Honey. Sementara di bawah Honey sudah hampir tak bernapas saat melihat yang mencarinya adalah Josh Hartlin.“Honey?” Honey membesarkan matanya dan langsung maju untuk mendorong Josh menjauhi meja resepsionis. Resepsionis itu bahkan sudah berdiri karena curiga dengan gerak gerik Axel yang mencurigakan.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Honey dengan suara tertahan. Matanya lalu berseliweran ke segala arah agar tak ada yang mengenalinya. Josh masih tak mengerti. Mengapa saat ia meminta bertemu dengan Axel Clarkson tapi yang muncul malah Kakaknya?“Aku mencari Axel ... tapi kenapa kamu ada di sini? Apa kamu bekerja di sini juga?” tanya Josh dengan wajah kebingungan. Honey jadi makin







