Emma menatap David yang sedang mengendarai mobil. Ia merasa tak enak dengan David. “Dave, bagaimana aku mengganti uang itu padamu?” tanya Emma khawatir. “Em, berapa lama kita kenal satu sama lain?” David menoleh sejenak sebelum kembali fokus ke jalanan. “Aku tak ingat. Yang jelas lebih dari sepuluh tahun,” ucap Emma sambil menggigit bibirnya karena malas menghitung. David terkekeh di sebelah Emma. “Kau hanya ingat padanya, bukan?” “Aku tak ingat siapa-siapa, Dave!” Emma murung karena kata-kata David. “Maaf, maaf,” tutur David. “Aku hanya bercanda, Em.” David sebenarnya datang ke Monroe Flowers & Gifts dan terkejut saat melihat keadaan toko bunga yang sedang tak baik-baik saja. Dia tadinya ingin menghubungi Emma dan untung saja bertemu dengan Lulu lebih dulu. Dari situ, dia mengetahui Emma sedang di kantor polisi dan segera menuju ke kantor polisi. Saat itu, Emma telah mengirim pesan pada Nate bahwa dirinya tak ingin masuk penjara. Ia menerima pesan dari Nate kalau Jacob yang aka
“Apa? Kesengajaan, Ann?” Emma mengerutkan alis sembari mendesis lirih. “Apa mereka benar-benar melakukan pengecekan?”“Mereka bilang sudah dua kali melakukan pengecekan,” ungkap Ann terisak-isak dari balik ponsel. “Kebakaran itu terjadi karena ada peralatan elektronik yang terhubung dengan stop kontak dalam keadaan korslet hingga menimbulkan percikan api.”“Oh, bullshit!” maki Emma dari balik ponsel. Ia menggertakkan gigi karena merasa jengkel. “Kita tak mungkin mencolok peralatan elektronik dalam keadaan korslet! Apa kita gila?”Emma mendadak merasa geram mendengar penjelasan pihak asuransi pada Ann tentang penyebab kebakaran di Monroe Flowers & Gifts. Ada sesuatu yang mencurigakan tentang kebakaran itu. Sayangnya, Emma bukanlah seorang detektif seperti Sherlock Holmes yang dapat memecahkan masalah.“Kalau aku yang menjadi pihak asuransi, aku juga pasti akan mengat
Masih di depan Gedung The M Group. Sebuah Mercedes-Benz berwarna abu-abu terparkir agak jauh dari mobil sedan berkaca gelap yang membawa Emma pergi. Pengemudinya seorang perempuan berambut panjang warna hitam. Dia sengaja mengikat rambutnya ke atas bergaya seperti ekor kuda.“Aku sudah memperingatkanmu, Emma!” cemoohnya.Perempuan di balik kemudi Mercedes-Benz tak lain adalah Mia. Dia sedang menertawakan Emma yang dibawa oleh seorang laki-laki ke dalam mobil. Perasaannya mengatakan bahwa laki-laki itu bukan suruhan Nate.Mia melihat jam tangannya. “Sekarang sudah lewat dari jam lima sore di sana,” gumamnya.Dia mengambil ponsel sembari bersenandung gembira, kemudian menghubungi seseorang yang telah membantu dirinya untuk membalas Emma.“Halo, Mrs Mordha,” sapa Mia dengan lembut.Mia menghubungi Mrs Mordha alias Josephine yang merupakan ibu dari Nate. Saat itu di Chicago sudah lewat dari pukul sebelas pagi, maka waktu di London sudah pasti lewat dari pukul lima sore. Sebab, London enam
Emma dan laki-laki bersuara berat yang tadi sempat memperlihatkan senjata api, tiba di depan sebuah bank. Sekitar dua blok dari Gedung The M Group. Ia dikawal oleh laki-laki itu menuju sebuah restoran kecil yang bersebelahan dengan bank tersebut. Sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Meksiko. Emma mengernyit tak mengerti. Memang sudah hampir waktu makan siang, tetapi tak wajar rasanya. Jika ingin mengajak makan siang, mengapa harus menunjukkan senjata api. “Silakan duduk,” pinta laki-laki bersuara berat seraya menarik kursi untuk Emma. Emma pun duduk tanpa protes. Ia memperhatikan laki-laki bersuara berat yang hanya berdiri di seberangnya. Dugaan Emma, seseorang pasti akan menemuinya di restoran itu. Namun, tak tahu siapa dan mengapa. Ketika seorang pelayan datang menghampiri Emma, laki-laki bersuara berat menerima panggilan telepon dan memberi nama restoran pada lawan bicaranya. Beberapa saat setelah pelayan pergi, dia menoleh ke arah pintu untuk memberi kode pada seseorang
“Apa Dad menyuruh orang untuk membawa Emma?” tanya Nate sedikit ketus pada Richard. “Ya,” jawab Richard tanpa ragu. “Kenapa kau menanyakannya?” “Untuk apa?” Nate mengabaikan pertanyaan Richard. Nate menghubungi Richard saat Emma sedang menunggu Austin di restoran bersama Jose. Awalnya, Nate meragukan kata-kata Jacob. Pasalnya, dirinya tak mengerti mengapa Richard harus menyuruh seorang kepala keamanan membawa Emma padahal Emma ingin menemui dirinya. “…, jadi aku memerintahkan Jose untuk mengamankan Emma,” jelas Richard. “Aku akan memberi yang dia inginkan jadi kau tak perlu khawatir.” “Apa?!” geram Nate dengan mata terbelalak. “Tak mungkin Emma seperti itu!” “Nathan, kau tak percaya pada ayahmu sendiri?” tantang Richard dari balik ponsel. Nate sedikit menoleh ke kanan dan kiri berkali-kali setelah mendengarkan penjelasan Richard. Seperti orang kehilangan arah, Nate mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Jujur saja, Nate bukan seorang anak penurut. Meski telah tinggal sepanjang umu
Emma memang hidup kesusahan setelah diceraikan oleh Nate dan harta milik Sean diambil alih oleh Susan. Setelah membeli rumah kecil di Chicago agar keluarga kecilnya bisa berteduh, Emma menggunakan sisa tabungannya untuk membiayai hidup sehari-hari. Ia hampir kehabisan uang karena kesulitan mencari kerja tanpa keahlian. Sempat terpikir oleh Emma untuk menggunakan uang yang diberikan oleh Nate setelah meninggalkan kediaman Mordha. Untung saja, takdir mempertemukan dirinya dengan Ann. Nate sempat terdiam sejenak sembari membalas tatapan Emma. Laki-laki berparas tampan serta terkenal kejam mendengus kecil setelah mendengar kata-kata Emma. “Apa harga dirimu terlalu tinggi sampai tak ingin memakai uangku, Emma?” cemoohnya. “Lalu … untuk apa kau meminta uang tutup mulut?” Indra pendengar Nate dengan jelas menangkap setiap penuturan dari Richard saat menanyakan tentang Emma. Richard menuturkan dia sempat berbicara dengan Emma melalui ponsel Jose. Dia menanyakan alasan Emma datang menemui
Emma menatap sepasang iris mata hazel milik Nate secara bergantian. Iris mata yang dulu selalu manatap penuh rasa cinta dan kasih sayang. Iris mata yang dulu pernah menjadi kesukaannya dan mengubrak-abrik hatinya. Akan tetapi, dituduh dan diceraikan begitu saja sampai membuat hatinya begitu terluka. Jika Nate hanya menginginkan dirinya, seharusnya dulu bertatap muka dan berbicara padanya. Bukan malah bersembunyi di balik pengacara. Setelah enam tahun berlalu, semua jelas di mata Emma. Semua perasaan tulus darinya diragukan oleh Nate. Tuduhan menjatuhkan perusahaan karena perselingkuhan dan meminta uang tutup mulut tak perlu terjadi seandainya Nate percaya padanya. Emma tak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Ia tak ingin memulai, apalagi menginginkan Nate dalam hidupnya. “Tolong katakan kalau semua itu salah agar kita bisa kembali bersama,” pinta Nate dengan sorot mata penuh harap. “Emma ….” “Tidak, itu semua benar!” tegas Emma sembari mengepalkan tangannya. “Aku berselingkuh d
Emma mengambil keputusan untuk mencoba melarikan diri. Ia mendorong tubuh Nate, lalu hendak berlari ke arah pintu. Akan tetapi, Nate lebih tangkas daripada Emma. Seperti waktu itu, dengan mudah menangkap Emma yang sudah beberapa langkah darinya. Nate kemudian mengunci pinggang Emma dan mengangkat tubuh Emma kembali ke arah ranjang. “Apa yang kau lakukan?” Emma memekik sembari meronta. “Lepaskan aku, Nate!” Nate terdiam sejenak. Ia menutup mulut Emma dengan sebelah tangannya sekaligus mengurungkan niat membawa perempuan itu ke atas ranjang. “Diam di sini!” perintah Nate saat memasukkan Emma ke dalam toilet. Emma memelotot dan memaksa keluar dari toilet. “Aku akan berteriak kalau kau tak membiarkan aku pergi!” ancamnya. Nate menoleh ke arah belakang sejenak sebelum kembali menatap Emma. “Aku akan menyuruh orang datang ke rumahmu dan menculik ayahmu kalau kau berteriak!” balasnya. Ia lantas menutup pintu toilet setelah mengancam perempuan yang tadi sempat dicium dan dijamah olehnya