Nathan Alexander Mordha atau Nate, seorang pimpinan kejam, tetapi tampan. Ia adalah seorang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company.
Laki-laki tampan, kaya raya dan berkuasa. Nate memiliki sepasang iris mata hazel yang tampak pas dengan rambut cokelat alami miliknya. Rahang tegas dan kulit mulus diselubungi bulu-bulu tipis yang berbaris rapi sepanjang rahang menyambung sampai ke atas bibir. Ia tahu dengan benar apa itu tampan dan jantan.
Sekarang si CEO tampan sudah bosan dengan Charlotte dan itu bukan hal baru bagi Jacob—asistennya. Charlotte dapat bertahan selama tiga bulan sudah keajaiban. Beberapa sekretaris sebelumnya hanya sampai satu bulan, bahkan ada yang hanya hitungan minggu.
“Baik. Ada yang lain, Sir?” Jacob bertanya dengan sopan.
Nate hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. Jacob pun berderap keluar menjalankan perintah Nate. Ia bersandar di kursinya, membolak-balik beberapa dokumen di mejanya. Setelah dirasa bosan, Nate memilih memandang ke luar jendela sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Tepat pukul empat sore, Nate meninggalkan gedung perusahaannya bersama Jacob. Ia diantar ke penthouse mewahnya yang berada di Knightbridge, sekitar sepuluh menit dari perusahaan.
Pukul sebelas malam, Jacob menjemput Nate. Dia membawa Nate ke tempat kesukaannya, Intricats Premier Club London.
“Kau sudah memesannya, Jacob?” tanya Nate dari kursi belakang.
“Sudah, Sir.” Jacob menjawab sembari menatap ke jalanan di depannya.
Jacob sudah memesankan VIP Lounge untuk Nate di Intricats Premier Club London yang menyediakan hiburan dewasa.
VIP Lounge merupakan sebuah ruang privasi untuk menikmati kemewahan dan keintiman. Ruang tersebut berada terpisah dan terletak di lantai bawah hanya untuk pelanggan VIP. Lengkap dengan bar pribadi serta seorang DJ di luar ruang, sedangkan dekorasi mewah, panggung dan tiang penari di dalam ruang tertutup.
Kurang dari tiga puluh menit, Nate dan Jacob tiba di klub tersebut. Nate langsung menghambur keluar mobil dan memasuki klub malam dengan Jacob mengekor di belakangnya. Mereka melewati antrian para pengunjung.
Si pemilik klub terkejut saat mengetahui Nate sudah tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Dia panik, tetapi tetap menyambutnya.
“Selamat malam, Mr Mordha. Anda tiba lebih cepat,” sapa Waylen—pemilik klub malam.
Nate tak berhenti. Ia terus berderap menuju lift untuk turun ke lantai bawah tanah. Ia sudah terlalu sering datang sehingga tak butuh siapa pun untuk mengarahkannya.
“Tak usah basa-basi. Panggil Loretta sekarang, Waylen!” perintah Nate saat mereka semua masuk ke dalam lift.
Selain VIP Lounge, Jacob juga telah memesan seorang penari, Loretta. Dia seorang penari telanjang berambut cokelat dan berkulit eksotik. Loretta memiliki sepasang iris mata cokelat dan bibir sensual.
Sama seperti perempuan lainnya yang berada di klub itu, tubuhnya indah dan berisi layaknya seorang model. Loretta sudah hampir setahun menjadi penari kesayangan Nate.
Malam itu, sebenarnya Loretta sedang libur dan terpaksa datang karena Nate tak ingin dilayani penari selain dirinya.
Waylen hanya bergumam tak jelas. Dahinya berkeringat dan jemarinya bergerak semakin cepat saat dia sedang panik. “Ehm … ehm ….”
Nate yang tak sabar menoleh pada Waylen yang berdiri paling belakang. “Apa—“
Ting.
Lift terbuka dan memotong ucapan Nate.
Waylen dengan cepat menyalip Jacob dan menahan pintu lift untuk Nate. Nate keluar dan berdiri di depan lift seraya menatap tajam ke arah Waylen.
“L-Loretta akan s-segera ke sini, Mr Mordha. Lima belas menit lagi,” jawab Waylen tergugup.
Nate langsung memutar bola matanya dan menghela napas kesal. Ia berderap menuju VIP Lounge.
Jacob membukakan pintu VIP Lounge untuk Nate dan dua orang perempuan berambut cokelat sudah duduk di atas sofa mewah berwarna merah. Namun, tak satu pun dari mereka adalah Loretta.
Sontak Nate dan Jacob menoleh pada Waylen secara bersamaan.
“Bonus …,” terang Waylen sambil memamerkan giginya.
Waylen segera merapatkan bibir ketika Nate memelotot padanya. “Hanya sampai Loretta datang, Mr Mordha.”
Nate masuk ke dalam VIP Lounge dan disambut dua orang penari dengan pakaian yang hanya menutupi bagian intim tubuh mereka.
Jacob menunggu di depan ruangan bersama Waylen yang terus memburu-buru Loretta. Sayangnya, Loretta masih dalam perjalanan.
“Cepat, Loretta! Bisnisku bisa ditutup kalau kau terlambat!” ungkap Waylen dengan mulut hampir terkatup.
Di dalam VIP Lounge, seorang penari menuangkan Louis XIII Cognac kesukaan Nate, sedangkan seorang lagi keluar meminta DJ memainkan musik.
Mereka mulai menari di atas panggung saat Nate menyesap minumannya dengan raut wajah datar. Keduanya belum menari selama sepuluh menit, tetapi Nate sudah melirik jam di tangannya sembari mengentak-entakkan kaki ke lantai.
Melihat Nate yang sepertinya bosan, seorang penari berambut pendek turun dari atas panggung. Dia menanggalkan penutup atas tubuhnya dan mendekati Nate. Dia menari berpegangan pada kedua paha Nate dengan gerakan naik turun yang memamerkan dua gundukan kenyal miliknya di hadapan Nate.
“Selamat malam, Mr Mordha,” sapanya dengan suara menggoda.
Peraturan klub hiburan dewasa yang menyediakan penari telanjang tak memperbolehkan pelanggan menyentuh penari, beranjak dari sofa, berbicara senonoh dan banyak lagi karena mereka penari bukan prostitusi. Namun, para penari boleh menyentuh pelanggan atau duduk di atas pangkuannya.
Untuk VIP Lounge sendiri memang ruang privasi, di mana hanya ada satu orang pelanggan dan satu orang penari atau lebih. Sehingga, apa yang terjadi di dalam ruang itu hanya antara pelanggan dan penari.
Saat si penari berambut pendek sedang melepaskan penutup bawah tubuhnya, Nate melirik si penari berambut ikal di atas panggung. Ia menatapnya dari atas sampai bawah tanpa berkedip dan membuat si penari berambut ikal seakan terhipnotis untuk segera melepas penutup atas tubuhnya dan menari di dekat Nate.
Si rambut pendek langsung membelai wajah Nate agar menatap dirinya yang sudah polos di hadapan Nate. Dia melipat satu kaki di sofa dan menari di sebelah Nate.
“Sentuh aku, Mr Mordha,” bisiknya pada Nate. Si penari berambut pendek meraih tangan Nate dan meletakkannya di atas gundukan kenyal miliknya.
Nate melihat dua gundukan kenyal yang minta disentuh. Ia tanpa ragu meremas dan mengusap puncaknya yang sudah mengeras.
Si penari mendesah seraya menggigit bibir bawah yang dipulas lipstik merah menyala. Dia mendekat dan mengusap bibir Nate dengan bibirnya.
“Maaf, terlambat,” tutur Loretta yang menyelonong masuk dan mengganggu si penari berambut pendek.
Nate memiringkan kepalanya, tetapi masih meremas gundukkan milik si penari. “Kau telat, Loretta. Aku hampir bersenang-senang di sini.”
“Kau bisa melepaskannya sekarang, Nate,” pinta Loretta sambil melirik si penari berambut pendek.
Si penari berambut ikal mengambil penutup atas tubuhnya dan bergegas memakainya. Sedangkan si penari berambut pendek menatap Nate—memohon agar Nate tak memintanya pergi, sayangnya Nate justru melepaskan tangannya.
“Maaf, penariku sudah datang,” ucap Nate sembari membelai perut si penari berambut pendek.
Dua penari bonus keluar meninggalkan Nate dan Loretta berdua dalam VIP Lounge. Loretta menutup pintu, berderap mendekati Nate dan membuka ikatan mantel panjang berwarna maroon dan menjatuhkan mantelnya.
Loretta memamerkan pakaian minim bertali dan menerawang berwarna maroon, stoking jaring hitam sepangkal paha dan sepatu hak tinggi berwarna hitam.
Tanpa buang waktu Loretta meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama di hadapan Nate. Dia tak butuh tiang tari jika bersama Nate. Belum sampai tiga menit, Loretta bahkan sudah membuka seluruh penutup tubuhnya hanya menyisakan stoking hitam dan sepatu hak tinggi.
Loretta melipat kedua lututnya di atas sofa dan menari di sebelah Nate. Dia mengelus pipi Nate dengan gundukan kenyal miliknya, kemudian meremas rambut belakang Nate dengan sebelah tangannya sampai Nate sedikit mendongak.
“Nate … jangan nakal kalau aku belum datang,” ucap Loretta dengan suara lembut.
Dia mendaratkan bibirnya di atas bibir Nate. Lidahnya bermain-main di dalam mulut Nate dan Nate ikut bermain. Sebelah tangannya lagi membelai bulu-bulu di rahang Nate, lalu turun sampai ke dada bidang milik Nate.
Nate merasakan jemari Loretta terus turun ke pangkal paha dan mulai menggoda miliknya. Suara erangan Nate tertahan di dalam mulut Loretta.
“Kau tak seharusnya terlambat, Loretta,” jelas Nate setelah Loretta melepaskan bibirnya.
Loretta tak lagi meremas rambut Nate. “Baiklah, aku salah. Aku akan menebusnya, Nate,” bisik Loretta sembari mengigit pelan telinga Nate.
Loretta menyibakkan rambutnya, kemudian membuka kancing celana Nate. Dia bersimpuh di sebelah Nate dan memanjakan milik Nate. Loretta meraih tangan Nate untuk menyentuh tubuhnya.
Nate membelai tubuh mulus Loretta, meremas gundukan kenyal milik Loretta dan terus bergerak sampai Nate menyentuh pangkal pahanya.
Loretta mulai melengkungkan tulang punggungnya ketika jemari Nate menyusup ke dalam pangkal pahanya. Suara erangan dan desahan Loretta tertahan di tenggorokan.
Loretta mengeluarkan milik Nate dari mulutnya dengan napas terengah-engah. “Kapan kau akan memasukiku, Nate?” tanyanya sedikit memohon.
Selama menjadi penari kesayangan Nate, Loretta tak pernah memuaskan Nate di atas ranjang. Dia tak pernah berani meminta dan hanya menggoda. Dia berharap Nate mengabulkan harapannya, tetapi Nate tak pernah mengajaknya. Loretta semakin menginginkan milik Nate di dalam tubuhnya.
Nate tertawa kecil sambil memainkan ujung jarinya di paha Loretta. “Loretta Sayang … apa kau pikir kau pantas aku masuki?”
Loretta langsung terdiam setelah mendengar kata-kata Nate. Dia menatap Nate tanpa berkata-kata dan perlahan napasnya yang terengah-engah mulai tenang.
“Kenapa diam?” Nate bertanya dengan tajam sambil memberi kode agar Loretta melanjutkan pekerjaannya.
Loretta menuruti Nate. Ada sedikit perasaan kecewa yang membuat Loretta tak lagi bergairah seperti sebelumnya. Dia baru menyadari Nate hanya ingin bermain-main dengannya.
Nate tak mendengar keributan di luar ruangan karena asyik menikmati permainan tangan dan lidah dari Loretta. Ia meremas rambut Loretta seraya mengerang dan mendesah panjang.
Tepat saat itu, seseorang membuka pintu ruangan dan lagi-lagi mengganggu Nate yang hampir mencapai puncak kenikmatan.
Loretta berhenti dan menoleh pada perempuan bertubuh mungil di depan pintu. “Siapa dia, Nate?” tanyanya lirih.
“Kau mau datang padaku atau aku datang padamu, Emma?” tanya seorang laki-laki dari balik ponsel. Emma sedang bersama sang buah hati saat nomor tak dikenal menghubungi. Perempuan beranak satu itu tadinya tak ingin menerima panggilan, tetapi perasaannya berkata lain. Untung saja, Emma mengikuti perasaannya karena jika tidak laki-laki itu sudah berdiri di depan apartemennya. Emma membelalakkan mata saat mendengar suara lawan bicaranya. “Nate? Dari mana kau tahu nomorku?” “Apa itu penting, Emma?” Nate kembali bertanya. “Aku sudah di depan gedung apartemenmu. Kau yang keluar atau aku yang masuk, hm?” Dada Emma berdetak sangat kencang. Tanpa sadar, kepalanya justru menoleh pada sang buah hati yang sedang asyik belajar mewarnai. “Aku yang keluar!” tegas perempuan yang terpaksa harus meninggalkan putranya sejenak. “Mom—” Suara bocah kecil itu terpotong karena sang ibu dengan cepat menutup mulutnya. “Tunggu saja aku di restoran dekat apartemen ini. Aku akan memberi nama restoran lewat pe
Kelap-kelip lampu dansa mengikuti ingar bingar musik di klub malam Kota London. Sebuah klub ternama yang ramai didatangi pengunjung yang ingin menikmati musik, hiburan sampai minuman keras untuk melepas penat.Seorang perempuan cantik duduk sendiri menunggu hiburan. Dia perlu meluapkan kekesalan karena tunangan yang terang-terangan menolak dirinya. Jika tunangannya ingin bersikap keras kepala, dia pun akan melakukan hal sama karena dia berniat mempertahankan miliknya.Di saat sang perempuan sibuk menenggak minuman pahit dalam gelas kristal, datang seseorang yang segera mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Tamu yang ditunggu-tunggu rupanya laki-laki tampan bertubuh tinggi bak model terkenal.“Kau sudah datang dari tadi, ya?” tanya laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna silver.Perempuan cantik berambut hitam itu tak menjawab. Tubuh kesepian yang lama tak tersentuh menuntut ingin dimanja. Dia langsung naik ke atas pangkuan laki-laki bay
Nate baru saja mendarat di Bandara London Heathrow dan wajahnya tampak sangat tak ramah pagi itu. Bukan karena mengantuk, melainkan karena kesal. Bagaimana tak kesal jika perempuan yang dicari olehnya bersembunyi di negaranya. Bodohnya lagi, orang suruhannya tak dapat melacaknya. Nate baru mengetahui keberadaan Emma dari seorang mata-mata. Laki-laki tampan yang sedang kesal itu berniat langsung menemui sang perempuan. Dia sudah tak dapat lagi menahan perasaannya. Apalagi, perempuan yang pernah menikah dengannya seolah sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Akan tetapi, Nate mengurungkan niat. Laki-laki yang sedang tampak kejam itu tak boleh membuat takut sang perempuan. Ia tak ingin lagi ditinggalkan karena tujuan sekarang mencari tahu yang terjadi di masa lalu. Jika perempuan yang digugat cerai tak melakukan seperti kesalahan, Nate akan merebutnya kembali. Mia bergegas berlari untuk menyambut tunangannya. “Nate Sayang, kenapa kau tak bilang akan pulang?” “Apa aku tak boleh pula
“Apa aku harus membawamu ke negara lain, Em?” David bertanya dari balik ponsel. Emma tercekat dan matanya membulat. “Aku saja belum bekerja di sini, Dave!” Perempuan cantik yang sudah meninggalkan restoran itu baru berniat ingin menikmati keindahan kota London bersama keluarga dan temannya. Sebab, kemarin seorang pengurus rumah tangga akhirnya berhasil didapatkan. Namun, tak disangka-sangka keberadaan dirinya malah diketahui sang mantan mertua. Emma dalam perjalanan kembali ke apartemen saat dihubungi temannya. Ia kemudian menceritakan kejadian yang baru dialami. Kebetulan restoran yang tadi didatangi olehnya hanya selisih dua gedung dari bangunan menjulang tinggi. Sebuah bangunan yang akan menjadi kantornya selama beberapa bulan ke depan. David belum mulai bekerja persis seperti Emma. Hanya sekedar mengunjungi kantor yang baru buka beberapa bulan lalu. Setelah mendengar cerita dari temannya, laki-laki berambut pirang itu geram. Dia hendak mendatangi Emma untuk menghibur, tetapi pe
“Apa kau begitu menyukai kedua pamanmu, Ethan?” Emma mengangkat kedua alisnya sembari menunggu jawaban sang buah hati. “Kau mengajak main Uncle Dave dan menelepon Uncle Jeff … hampir setiap hari.” Anak laki-laki bertubuh seratus sentimeter itu mengangguk dengan cepat. “Tentu saja.” “Dan kau tak menyukaiku? Padahal aku ibumu!” Emma berpura-pura merajuk. “Aku yang melahirkanmu, tetapi kau tak pernah mengajakku bermain seperti kau dengan Dave. Kau juga tak bercerita padaku seperti kau bercerita pada Jeff.” Bocah mungil itu memeluk sang ibu. “Aku menyukai Mommy, tetapi aku anak laki-laki, Mom. Aku harus bermain dan bercerita pada sesama laki-laki!” Emma yang sedang merajuk pun tertawa mendengar alasan putranya. Ia berjongkok agar tubuh mereka sejajar, lalu dikecup kening sang buah hati. Perempuan itu tak menyangka kesulitan yang dialami saat mengandung putranya sama sekali tak sia-sia karena putranya adalah sumber kekuatan. Emma tak pernah merasa anaknya adalah beban baginya. Ia tak t
David menatap sepasang iris mata cokelat milik teman yang diam-diam disukai olehnya. “Bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku, Em?” Emma terkesiap karena pertanyaan yang mengejutkan. Ia balik menatap laki-laki tampan berambut agak panjang yang berada di sebelahnya sembari mengejapkan mata beberapa kali. “A-Apa maksudmu, Dave?” tanyanya kebingungan. “Bukankah tadi kau bertanya cara membayar hutangmu padaku?” David mengingatkan perempuan itu. “Dan aku menjawab, bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku? Untuk membayar hutangmu.” Laki-laki itu menyunggingkan senyuman seraya menaikkan alisnya beberapa kali. “Apa yang akan kau lakukan, Em?” Tak sedikit orang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tak dapat berteman. Bukan tanpa alasan, melainkan sudah banyak kejadian. Itu juga yang terjadi pada David. Anak laki-laki dari pemilik Doxon Group sudah menyukai temannya sejak lama mereka masih remaja. Selama lima belas tahun atau dapat dikatakan setengah hidupnya, dia memend