Share

Chap 6. Aku suka perempuan liar!

Chicago, Illinois.

Emma bekerja sebagai penjaga toko bunga di Monroe Flowers & Gifts. Sebuah toko yang namanya di ambil dari nama jalan tempat toko bunga tersebut berada. Pemiliknya bernama Ann, seorang perempuan cantik dan baik hati yang sudah menjadi teman sekaligus mentor bagi Emma selama lebih dari tiga tahun.

Kemarin tokonya mendapat pesanan besar untuk sebuah acara pertemuan. Si pembeli meminta Emma sendiri yang turun tangan untuk mengantar bunga. Ann tak mengerti mengapa si pembeli meminta Emma harus mengantar bunga. Dia akhirnya menyuruh Charles—rekan kerja Emma, membantu pengantaran karena pengantaran bukan tugas Emma.

Emma dan Charles sudah tiba sejak pukul delapan kurang sepuluh menit di sebuah gedung tinggi berlantai seratus yang terkenal di Chicago. Mereka berderap menuju lantai sembilan puluh empat—tempat acara pertemuan diadakan.

“Kenapa mereka harus jauh-jauh memesan ke tempat kita?” Charles kebingungan.

Emma mengangkat kedua bahunya. “Mungkin yang terdekat sudah kehabisan bunga segar,” jawabnya.

Mereka asyik berbincang sampai Emma tak memperhatikan sebuah pamflet yang terpasang di dalam lift barang. Setelah tiba di lantai sembilan puluh empat dengan membawa kereta dorong pengangkut barang, Emma dan Charles membagi tugas agar pekerjaan mereka cepat selesai.

Masing-masing mengerjakan dua puluh lima meja. Mereka meletakkan rangkaian bunga di atas setiap meja dan mengaturnya supaya terlihat indah dipandang.

“Ms Emma,” panggil suara laki-laki dari belakangnya.

Emma terkesiap dan berbalik. Ia melihat si pembeli yang kemarin datang ke toko. “Ya?” sapa Emma dengan ramah.

Si pembeli melirik ke arah Charles dan raut wajahnya tampak tak senang. Dia berbicara pada Emma sembari berbisik meminta Emma menuju lantai sembilan puluh tujuh dan bertemu atasannya.

“…, Anda harus menemui Jeremy McFarrons untuk mengambil sisa pembayaran,” terang si pembeli.

Emma sedikit curiga dengan sikapnya, tetapi memilih mengabaikan dan mengikuti permintaan si pembeli. Pasalnya, sebelum berangkat Ann juga berpesan bahwa si pembeli akan membayar sisanya di tempat.

Emma dan Charles telah menyelesaikan tugas mereka dalam waktu tiga puluh menit. Mereka melihat satu per satu tamu mulai berdatangan karena acara akan dimulai pukul sembilan. Emma kemudian menuju ke lantai sembilan puluh tujuh, sedangkan Charles lebih dulu turun dan menunggu Emma di depan gedung.

Begitu tiba di lantai tersebut, Emma hanya melihat dua buah meja resepsionis dan dua ruang tertutup yang letaknya berseberangan.

Emma disambut oleh dua orang perempuan berparas cantik yang berada di balik meja resepsionis.

“Selamat pagi,” sapa keduanya yang berdiri dan tersenyum pada Emma.

Emma hanya tercengang ketika melihat dua orang perempuan yang menyambutnya. “Apa-apaan?” batinnya.

Sebenarnya tak ada yang aneh dengan mereka, hanya saja untuk menjadi seorang penerima tamu, pakaian yang mereka kenakan agak sedikit berbeda dari pegawai kantoran yang biasa dirinya lihat sehari-hari.

Kemeja menerawang dengan dalaman berwarna mencolok dan tiga kancing bagian atas kemeja yang sengaja dibuka. Mereka benar-benar memamerkan dada yang tampak kencang dan padat di balik kemeja.

Emma hanya mematung di depan lift sembari bertanya-tanya dalam hati. “Apa gaya pakaian kantoran seperti ini wajar?”

“Ada yang bisa dibantu?” sapa penerima tamu berambut pirang.

Emma terkesiap dan langsung tersadar dari lamunannya. Jika dirinya yang seorang perempuan saja sampai tercengang, bagaimana dengan laki-laki yang melihat mereka.

“Hai, saya Emma. Saya diminta datang untuk bertemu Jeremy McFarrons,” ungkap Emma sambil tersenyum canggung.

Si penerima tamu berambut pirang menghubungi atasannya, kemudian keluar dari mejanya untuk mengantar Emma menuju sebuah ruang tutup yang terletak di sisi kiri. Sedangkan penerima tamu yang satunya lagi kembali duduk di kursinya.

“Oh oke, dengan rok sependek itu, aku bahkan bisa melihat celana dal … hmm perusahaan apa ini?” batin Emma.

Lagi-lagi Emma hanya dapat bertanya-tanya dalam hati seraya memperhatikan si penerima tamu berambut pirang yang berlenggak-lenggok di depannya.

Si penerima tamu berambut pirang membukakan pintu, mempersilakan masuk, lalu pergi meninggalkan Emma bersama seorang laki-laki yang seharusnya bernama Jeremy McFarrons.

Dia bangkit untuk menyambut Emma. “Halo, saya Jeremy.”

Jeremy mengenakan kemeja biru tanpa dasi dan kedua lengan kemejanya digulung sampai ke siku. Rambutnya berwarna hitam dan berpotongan rapi. Wajah Jeremy sedap dipandang mata dan tubuhnya proporsional, hanya saja guratan pada dahinya tak dapat menutupi usianya yang tak lagi muda.

Emma mengira-ngira usianya mungkin sudah lebih dari lima puluh tahun. Ia ikut memperkenalkan diri.

“Saya Emma dari Monroe Flowers & Gifts,” ucapnya dengan tersenyum tipis.

“Wow, kau sangat cantik dilihat dari dekat, Emma,” puji Jeremy sambil menggenggam tangan Emma.

Emma memaksakan senyumannya. “Terima kasih.”

Ia mengerutkan alisnya. “Dari dekat?” tanya Emma dalam hati.

Jeremy memandang Emma dari atas sampai bawah dengan tatapan yang membuat Emma tak nyaman. Emma perlahan menarik tangannya dari genggaman Jeremy karena sepertinya Jeremy tak ingin melepaskan tangan miliknya.

Jeremy meminta Emma duduk di sebuah sofa besar berwarna krem dan terlihat mahal, sedangkan dia kembali ke meja kerja untuk mengambil ponselnya. Jeremy mengetik sesuatu pada ponselnya sembari menuju sofa.

“Aku baru saja mentransfer sisa pembayaran pada rekening toko bungamu,” ungkap Jeremy yang baru saja duduk di sofa tunggal tak jauh dari Emma.

“Aneh! Bukankah aku disuruh ke sini untuk mengambil sisa pembayaran?” Emma menggerutu dalam hati. “Kalau dia mentransfer, untuk apa aku ke sini? Apa aku pamit sekarang saja, ya?”

Jeremy meletakkan ponselnya di meja, kemudian lagi-lagi menatap Emma dari wajah sampai kakinya. Dia melihat Emma sedang melamun dan menyentuh lutut Emma.

“Aku akan meminta Tracy membuatkan minuman untukmu, Emma.”

Emma terkesiap dan hendak menolak. “Ti—“

Belum selesai Emma berbicara, Jeremy sudah lebih dulu bangkit menuju meja kerjanya. Dia menghubungi seseorang bernama Tracy.

Setelah dia menutup telepon, Jeremy kembali ke tempat Emma berada. Namun, sekarang dia duduk di sebelah Emma.

Dia berbicara tentang jabatannya di gedung itu dan acara pertemuan yang sebentar lagi akan dimulai di lantai bawah. Jeremy juga mengatakan dirinya mengenal beberapa tamu penting yang akan menghadiri acara tersebut.

Emma sama sekali tak tertarik mendengar ocehan Jeremy. Ia hanya mengangguk-angguk seraya tersenyum. Sesekali balik menatapnya karena posisi duduk mereka bersebelahan. Jika boleh memilih, Emma ingin segera kembali ke toko bunga, membantu Ann dan Lulu.

Emma menoleh ke arah pintu. Lagi-lagi menggerutu dalam hati. “Kenapa Tracy tak datang-datang? Dia buat minuman apa, sih?”

Jeremy terus berbicara dan terus mendekat pada Emma. Sudut mata Emma menangkap tatapan Jeremy mengarah ke dadanya. Sontak Emma berpura-pura menyentuh hidung untuk menutupi tubuhnya karena merasa tak nyaman.

Emma perlahan bergerak menjauh, tetapi Jeremy justru mendekat. Emma pikir itu hanya kebetulan. Ia kembali bergerak sedikit menjauh dan lagi-lagi Jeremy mendekat. Sampai akhirnya Emma berada di ujung sofa.

“Emma, aku sudah lama memperhatikanmu,” ungkap Jeremy sambil menatap dada Emma.

Emma yang heran menoleh pada Jerremy. “Apa maksud Anda?”

Keduanya sudah berdekatan dan saling berhadapan. Emma melihat Jeremy sekarang menatap bibirnya dan ujung jari Jeremy membelai tangan Emma.

Emma terperanjat dan menepis tangannya. “Apa yang Anda lakukan?!” ketus Emma.

“Kau terlalu cantik untuk bekerja di toko bunga, Emma,” terang Jeremy dengan suara berat dan hidung kembang kempis.

Jeremy mengatakan dirinya hampir setiap hari melewati toko bunga tempat Emma bekerja. Dia dari dalam mobil memperhatikan Emma yang setiap pagi selalu membersihkan kaca.

Dia sengaja menyuruh asistennya memesan bunga dari tempat Emma bekerja untuk acara pertemuan dan meminta Emma yang mengantarnya. Jeremy ingin bertemu dengan Emma secara langsung.

Emma mengerutkan alisnya. Ia merasa ngeri dengan laki-laki yang berada di hadapannya. “Apa maksud Anda?”

“Jangan pura-pura bodoh, Emma! Kau sengaja memamerkan senyuman pada laki-laki untuk menggoda mereka, ‘kan?” tanya Jeremy sedikit berbisik.

Emma semakin mengernyit. Ia tak paham dengan kata-kata Jeremy yang mengatakan dirinya menggoda laki-laki. Padahal dirinya hanya tersenyum pada pembeli toko dan tetangga sekitar toko.

“Apa itu namanya menggoda?” batin Emma tak terima. “Apa orang ini psikopat?”

Emma hendak bangkit dan tak ingin lagi menunggu Tracy, tetapi Jeremy justru mendekat untuk mencium dirinya.

Emma menampar dan mendorong Jeremy menjauh. “Apa yang Anda lakukan!!” pekik Emma.

Mendapat tamparan dari Emma justru membuat Jeremy semakin panas dan bergairah. Dia menggenggam sebelah pergelangan tangan Emma, kemudian menarik Emma yang sudah bangkit dari sofa agar kembali duduk. Dia memojokkan Emma di ujung sofa.

“Aku punya segalanya! Aku bisa memberi yang kau mau, Emma! Kau hanya perlu … memuaskan aku,” ungkap Jeremy sembari mencoba mencium Emma.

Emma mendorong bahu Jeremy dengan sebelah tangan lainnya. “Tolong!” teriak Emma.

“Aku suka perempuan liar!” desah Jeremy yang sudah terlalu bergairah.

Jeremy menangkap dan menahan pergelangan tangan Emma yang mendorong bahunya dalam genggamannya lalu menindih Emma.

Emma mencoba memberontak, sayangnya tenaga Jeremy terlalu besar untuknya.

“Argh!” pekik Emma ketika Jeremy semakin mendekat.

Jeremy menahan kedua tangan Emma ke sisi kepala, lalu kembali mencoba mencium Emma. Namun, Emma memalingkan wajah untuk menghindar dan justru membuat Jeremy menggigit leher Emma.

“Argh! Tolong!” Emma berusaha melepaskan tangan dari Jeremy. “Tolong!”

“Hm, aku suka wangimu, Emma,” bisik Jeremy di telinga Emma.

Jeremy sama sekali tak berhenti. Dia justru menahan kedua tangan Emma di atas kepala dengan satu tangan dan tangan lainnya meremas dada Emma. Dia juga berusaha mengoyak seragam kerja Emma.

“Bajingan!” teriak Emma yang merasa jijik, kemudian meludahi Jeremy. “Lepaskan aku! Tolong!!”

Emma hampir menyerah karena tak ada satu orang pun datang menolong Emma. Ia mulai terisak-isak karena tak berdaya.

“Apa tak ada orang di luar?” tanya Emma dalam hati dengan air mengalir dari sudut matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status