Share

Terbuai Cinta Palsu Tuan Muda
Terbuai Cinta Palsu Tuan Muda
Penulis: LIZANA

1. Mas Nathan

“Tahan!” Nathaniel Omar Hakeem, pria berusia 27 tahun itu menyeringai seraya mengatakannya, memerintah seorang gadis di bawah sana untuk melakukan pekerjaannya.

Suara serak bercampur aura wibawa yang kuat itu menyentak gadis yang berada di dekatnya di kamar yang sejuk ini.

Gadis itu, Laila Indah Pashia, yang masih 22 tahun meringis saja tanpa bisa memberikan alasan bahwa dirinya sudah lelah. Nathan adalah tuan mudanya, sementara Laila merupakan perawat yang mengurus neneknya Nathan sehari-hari di kediaman keluarga Hakeem.

“Mas, aku gak bisa.” Laila akhirnya menyerah. Kedua tangannya sudah memerah akibat terlalu lama di posisi yang sama, matanya bahkan berkunang-kunang.

Bukan hanya karena beban di atas tubuhnya, tetapi situasi berdua dengan tuan muda keluarga konglomerat ini yang membuat dirinya gemetar dan  berusaha keras mengentaskan bayangan menjijikkan di pikirannya.

Ah, kalau saja  bukan karena drama-drama romantis 18+ yang suka ditontonnya, mungkin ia akan memiliki pikiran yang lebih bersih sebersih dirinya.

“Sudah.” Nathan menepuk tangannya di udara, membersihkan debu yang menempel setelah berhasil memasangkan sprei di tempat tidur neneknya.

Sementara Laila yang sedang menggendong sang nenek dengan posisi setengah berjongkok, bayangkan betapa pegalnya itu,  menunggu Nathan untuk membantunya. Pria itu, yang merupakan cucu pertama sang nenek segera menghampirinya.

“Lain kali, kamu harus memanggil yang lain untuk membantumu, Ndah.” Ujar Nathan yang tengah menggendong dan membaringkan neneknya kembali di tempat semula.

Laila hanya mengangguk. Tapi, sesaat kemudian ia baru sadar bahwa ia terbiasa melakukan segala sesuatunya di kamar ini sendiri. 

“Uh, sebenarnya aku sudah terbiasa, hanya saja..” Laila mengerjap-ngerjapkan mata, membiarkan rasa kunang-kunang itu mereda, dan menyelesaikan kalimatnya. “Tadi tidak terduga. Terima kasih banyak sudah membantuku, Mas Nathan.”

Nathan mengulas senyum. “Ada lagi yang bisa kubantu? Sebelum aku pergi cukup lama,” ujarnya berbaik hati  sambil duduk di tepi tempat tidur nenek untuk mengelus lembut kepala yang telah memutih itu.

Nenek sama sekali tidak tidur, tapi tubuhnya sewaktu-waktu bisa sangat lemah sehingga tak berdaya untuk merespon interaksi di sekitarnya.

Lima belas menit yang lalu, Laila yang mengantarkan makanan ke kamar ini mendapati Nenek gelisah di atas tempat tidurnya. Laila bertanya apa yang terjadi, rupanya nenek tidak sengaja buang air dan memintanya untuk mengganti sprei.

Sebagai seorang perawat yang cekatan, Laila segera melakukan pekerjaannya, namun di tengah-tengah ia merasa berat. Beruntung Nathan datang ketika mendengar kehebohan dari kamar neneknya.

“Nek, aku mau ke luar kota sampai minggu depan.” Nathan meminta izin untuk pergi, seperti biasa. “Tenang saja, aku akan belikan bakpia kesukaan nenek, yang rasa keju, kan?” Ia bertanya dengan perhatian.

Bukan hanya kali ini Laila tersentuh melihat betapa baiknya tuan muda ini dibandingkan dua saudaranya yang lain. Dari tiga orang cucu di keluarga Hakeem, yaitu Nathan, Zaky, dan Adira si anak perempuan bungsu, hanya Nathan yang begitu lembut perlakuannya.

Selain kepada nenek yang amat dihormati dan disayanginya, Nathan juga memperlakukan para staf di rumah termasuk Laila dengan sangat baik.

Nenek bergerak dengan sisa-sisa tenaga di sore ini, mendekati pipi sang cucu untuk menciumnya. Matanya sering kali berkaca-kaca saat hendak melepas cucu pertamanya itu pergi, maklum karena Nathan adalah penerus putranya, Bapak Adiwijaya.

Tidak ada lagi anaknya selain Adiwijaya yang telah memberikan tiga orang keturunan, yang semuanya tinggal di rumah yang sama. Ini merupakan kebahagiaan di masa tua sang nenek yang tidak mau kesepian.

“Fii amanillah,” bisik nenek dengan suaranya yang hampir habis. Nathan paham, itu artinya “semoga Tuhan menjagamu di dalam perjalanan.”

Nathan hanya mengangguk. Setelah memastikan nenek berbaring dengan nyaman sambil disuapi makan oleh Laila, Nathan pamit.

Lima belas menit kemudian, pria itu sudah membuka pintu mobil Mercedes Maybach di garasinya, bersiap untuk berangkat ketika ponsel di saku jaketnya bergetar.

Senyumnya yang manis, jauh lebih manis dan merona, nampak sesaat sebelum mengangkat panggilan itu. “Ya, sayang? Sudah kangen denganku?  Haha, sabar, nanti sore aku sampai dan kita bisa… ehmmm…”

Kalimatnya berganti dengan gumaman-gumaman yang membuat dirinya sendiri kegelian. Itu adalah Namira, kekasihnya yang tinggal di kota tersebut. Namira sangat senang karena Nathan akan tugas ke kotanya, sehingga tidak sabar untuk menyambutnya di apartemennya.

“Oh, dompet Prada? Ok..” Nathan mengangguk dengan sesekali memasang raut wajah seperti mengendus gemas. “Eits, kalau kamu seperti itu, bisa-bisa aku malah lebih lama di jalan.. Nanti saja mainnya ya, sayang.” Suaranya dipelankan di kalimat terakhir. Nyaris berupa bisikan.

Panggilan ditutup. Nathan memandangi layar ponselnya sekali lagi seakan belum rela melepaskan perasaan menggemaskan pada Namira begitu saja.

Tanpa pria itu sadari, seorang gadis mengamatinya setelah menghentikan langkah di depan pintu garasi. Gadis itu, Laila, mengantarkan barang yang ketinggalan di kamar nenek dan tersentak mendengar kemesraan tuan mudanya dengan sang kekasih.

Laila mengatur nafasnya. Ini bukan sesak karena ia berlari-lari dari lantai atas, tapi karena hal lain… yang tidak dapat dia akui. 

Sudah lima tahun Laila mengabdi di keluarga ini, dari sejak ia lulus SMA mengikuti ibunya yang bekerja sebagai ART di dapur, lalu diberikan beasiswa untuk masuk ke kampus milik keluarga ini hingga menjadi seorang perawat.

Bapak Adiwijaya pernah berpesan kepadanya bahwa beliau akan lebih nyaman jika yang merawat sang ibu adalah orang yang benar-benar dikenalnya seperti Laila. Itu adalah isyarat agar Laila menerima tawaran pekerjaan untuk merawat nenek.

Semakin ke sini, Laila sadar bahwa rumah keluarga Hakeem adalah tempat ternyaman untuk bekerja. Apalagi dengan kehadiran Nathan yang baik dan penyayang, yang selalu membuatnya mengawang-awang setiap kali melihat kelembutan pria itu.

Mungkinkah Laila menyimpan rasa yang tidak semestinya terhadap tuan muda itu? Laila berkali-kali mencoba melepaskan perasaan aneh itu sebagaimana yang terjadi sekarang.

Tapi, aku harus memberikan ini. Pikir Laila sambil menguatkan genggaman pada botol minum di tangannya.

“Mas,” Laila berdiri kaku di depan pintu mobil Nathan saat mobil itu melewati pintu garasi. Nathan membuka kacanya bersamaan dengan Laila yang segera menyerahkan botol minuman itu kepadanya.

“Oh, thanks, Ndah!” Nathan tersenyum menerimanya, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah yang langsung terasa sepi. 

Sepi dan hampa, setidaknya itu yang Laila rasakan sekarang. Menatap mobil sedan hitam yang semakin menjauh, sesekali membiarkan dirinya dimanja oleh bayangan senyuman terakhir Nathan di depan wajahnya dan tidak langsung bergeleng menghilangkan pikiran itu.

Laila mengambil nafas banyak-banyak, menikmati aroma bunga akasia yang ditanam di sekelilingnya oleh Ibu Laila. Ya, nama istri dari Bapak Adiwijaya adalah Ibu Laila Kusuma. Mirip dengan namanya.

Mungkinkah karena itu Nathan memanggilnya Indah? Sangat jarang orang memanggilnya dengan nama tengahnya, ya kecuali tuan muda satu itu. 

Kedua adiknya saja hanya memanggil dia “Sus” singkatan dari Suster, atau “mbak” atau bahkan hanya nama “Ndah” . Mungkin mereka juga canggung sebab namanya yang mirip dengan nama ibu mereka, Laila maklum.

Laila kembali masuk ke rumah. Nenek sudah mengatakan bahwa beliau kenyang, ingin meneruskan makan setelah maghrib saja. Jadi, Laila akan punya waktu bersantai dengan nenek sore ini.

Ini adalah tugas merawat dua puluh empat jam. Berbeda dengan beberapa temannya yang memilih dinas di rumah sakit atau berjaga bergantian, Laila merelakan dirinya berjaga seharian karena merasa berhutang budi pada keluarga ini.

Selain itu, Bapak Adiwijaya membayarnya sangat mahal. Bagaimana mungkin Laila, yang bahkan telah disekolahkan, menolaknya? Laila sungguh tidak setega itu.

Ibunya Laila sudah pensiun sejak dua tahun lalu karena terjatuh di rumah ini, waktu itu sedang hujan dan lantai licin, sehingga rasa sakit akibat saraf kejepit membuatnya tidak dapat bebas bergerak lagi. 

Bapak Adiwijaya memaklumi itu, memberikannya pesangon sebagaimana karyawan di perusahaan, dan meminta agar ibu mengizinkan Laila untuk bekerja penuh di rumahnya. Lihat, betapa baiknya kepala keluarga Hakeem itu.

Tentu saja ibu menyetujui, karena baginya tidak ada bos yang lebih baik daripada keluarga Hakeem. Ibu sangat mempercayai kebaikan keluarga ini setelah lima belas tahun bekerja untuk mereka.

Sedangkan ayahnya Laila bekerja di luar kota sebagai supir pribadi keluarga lain, yang sudah lebih dulu bekerja di sana sebelum ibu bekerja di rumah keluarga Hakeem. Ayah tidak enak hati jika meninggalkan keluarga bosnya untuk pindah ke keluarga Hakeem.

Jadi, setiap sebulan sekali, ayah akan pulang ke rumah dan menghabiskan waktu tiga hari liburan bersama ibu dan Laila. Sedangkan Laila mendapat jatah libur dua hari satu malam di akhir pekan, begitu terus ritmenya.

“Neng,” suara pelan sang nenek menyadarkan Laila dari lamunan saat sedang menonton televisi. Neng adalah panggilan dari nenek yang akan membuat Laila gugup jika ada Adira di sini.

Adira Hakeem, anak bungsu yang satu-satunya perempuan dan paling disayang di keluarga ini tidak menyukai panggilan nenek untuk Laila. Baginya, panggilan sayang dari siapapun di keluarga ini hanya boleh tertuju kepadanya.

Laila maklum, karena Adira masih SMP dan sedang ingin mendapat pengakuan. Lagipula selama Adira tidak menjahatinya, selain suka bersikap cuek dan ketus, Laila tidak mempermasalahkannya.

Setiap orang punya karakternya masing-masing, Laila paham itu.

“Mau makan lagi,” Nenek berkata dengan lirih. Laila mengangguk, lalu membawakan piring berisi makanan yang belum dihabiskan. “Mau yang baru, dong,” tambah Nenek.

Laila mengerti, jadi ia keluar kamar sebentar hanya untuk berdiri beberapa lama di balik pintu sebelum masuk kembali. Hanya dengan adegan seperti itu, nenek percaya dan mau menghabiskan makanannya.

Laila diajarkan demikian oleh Ibu Laila, yang biasa dia panggil Ibu Kusuma, agar tidak mubazir atau buang-buang makanan. Sebab biasanya nenek hanya makan tiga atau lima sendok, sebelum meneruskannya lagi.

“Alhamdu….?” Laila memberikan minum seraya mengeja sang nenek.

“Lillah…” Nenek menjawab dengan tawa ringan. Senang merasakan kehadiran Laila di dekatnya, bahkan terkadang mengaku rindu jika Laila sedang libur akhir pekan.

Laila membereskan meja, mengelapnya hingga mengkilap kembali seperti semula, lalu menaikkan selimut di atas tubuh ringkih nenek untuk menghangatkannya. Saat itulah nenek benar-benar menatapnya seolah tidak ingin kehilangan.

Mengapa Laila bisa merasakan itu? Karena kedua mata nenek basah. Itu adalah tanda munculnya perasaan sentimental seperti takut kehilangan di dalam dirinya.

“Neng,” bisik nenek di samping wajahnya. “Nenek gak mau neng pergi dari rumah ini, menikahlah dengan Nathan, ya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status