Share

2. Malam yang Tegang

Menikah.. dengan Mas Nathan? Laila termenung.

Ucapan nenek barusan, yang kini sedang mendengkur halus di sampingnya, membuat hatinya bergejolak. Apakah nenek menyadari tentang perasaannya terhadap sang cucu? Laila memejamkan mata dengan rasa bersalah.

Tidak, itu tidak mungkin. Laila mengambil nafas panjang dan mendesah lega.

Nenek hanya sedang sentimental, sesuatu yang terkadang sedikit mengejutkan Laila dengan kalimat-kalimatnya. 

Seperti, “kamu harus hidup di samping nenek, jadi kita bisa bercanda terus sampai nenek pergi” dan di lain waktu, “apa keluargamu gak mencarimu? Nenek merasa bersalah menahanmu di sini”.

Laila biasanya menanggapi dengan anggukan kepala syahdu, berusaha memahami perasaan majikannya yang tengah pilu itu. Nenek merasa sedih sejak jatuh stroke dan tidak dapat menemani cucu-cucunya bermain seperti dulu lagi.

Hal itu pula yang menjadi pertimbangan Bapak Adiwijaya untuk membopong ibundanya dari kota lain untuk tinggal di rumah ini. Setidaknya mereka bisa terus membersamai nenek daripada tinggal sendirian di kota yang terpisah.

“Kamu sudah memutuskan?” Suara nenek menyentak Laila yang sedang merenung, bukan lagi soal Nathan tetapi lebih kepada urusan di hidupnya. 

Laila menoleh dengan wajah kikuk, “nenek sudah bangun?” Ia segera meraih tangan nenek yang dingin untuk menghangatkannya.

“Ah, nenek punya sesuatu untuk kamu, neng.” Katanya, kemudian meminta Laila untuk membuka laci di nakas di sudut kamar. 

Laila menurut saja, sama sekali tidak berekspektasi apapun karena pikirannya sedang butuh rehat dan mulai merindukan rumah. Sudah dua minggu ini ia belum pulang, karena di akhir pekan kondisi nenek sempat memburuk, meski sekarang mulai membaik.

Laila membawakan kotak beludru berwarna biru gelap kepada nenek yang memintanya, lalu kembali duduk di sampingnya.

Helaan nafas nenek yang berat terdengar, spontan Laila mengamatinya. Perlahan nenek membuka kotak itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Sudah dua puluh tahun sejak nenek menyimpan ini untuk cucu mantu nenek..”

Laila mendengarkan dengan seksama, sambil matanya tertuju ke kalung berlian yang pasti tak ternilai harganya. Namun, ia seakan terusik dengan maksud dari perkataan nenek barusan dan membuatnya membetulkan posisi duduk.

“Gimana menurut kamu neng, bagus?” Nenek menatap wajah gadis di dekatnya lekat-lekat. Seolah ingin benar-benar memastikan bahwa gadis itu menyukainya, riak matanya yang sayu sungguh berharap.

Laila mengerjap, tentu saja itu sangat berkilau dan ia sendiri tidak pernah membayangkan akan melihat langsung perhiasan seindah itu. Kepalanya mengangguk saja.

Namun, tiba-tiba hatinya kembali diterpa rasa gugup yang melebihi sebelumnya saat nenek menggenggam tangannya sangat erat. Laila hendak menggeleng lemah, tidak mungkin ia membicarakan ini dengan majikannya.

Terlebih lagi Nathan sudah memiliki kekasih yang, dari penglihatan Laila, sangat dicintainya. Laila merasa bahwa ia harus lari dari pembicaraan seperti ini atau tidak harus menjawab sesuai keinginan nenek.

“Nek,” Laila lebih dulu melepaskan genggamannya dengan lembut dan meminta izin dengan sopan. “Aku harus pulang sebentar, apakah boleh?”

Nenek terdiam dengan wajah bertanya apa yang terjadi. Sama sekali tidak menyadari bahwa perawatnya itu terus menerus berada di sampingnya selama dua minggu ini.

“Ibu mencariku, nek.” Jawab Laila lugas dan disertai senyum tipis. 

Nenek mengenal ibunya Laila, jadi ia mengerti dan mengizinkannya dengan anggukan kepala. “Kapan neng akan kembali? Apa kita akan makan malam bersama? Jangan tinggalin nenek sendiri..”

Laila terenyuh. Kalau saja bukan karena ia berusaha keras menghindari perjodohan yang akan dilakukan nenek, ia akan memilih tetap di sini. Besok ia akan mendapat jatah libur, jadi untuk apa pulang?

“Sebentar kok, nek. Paling setelah isya aku sudah kembali.” Laila berjanji.

Rumahnya memang dekat dari sini, hanya beberapa blok menyusuri jalanan menuju perkampungan. Sekitar lima belas menit ia sudah sampai. Sebelum pulang, nenek meminta staf di dapur untuk membawakannya makanan.

Seperhatian itu nenek kepadanya. Laila bersyukur, namun di sisi lain ia tidak ingin lupa dengan posisinya sebagai pekerja di rumah ini. Ia tidak boleh melangkah lebih jauh daripada tugas profesionalnya di sini.

Apalagi… sampai menikahi tuan mudanya yang terkenal seantero kota. Laila tidak sanggup membayangkannya. Biarlah rasa di hatinya terhadap Nathan sebagai penghibur dikala ia lelah dan kesepian. 

Laila lega ketika ia akhirnya melangkah keluar dari kediaman keluarga Hakeem. Matanya sempat melirik ke jendela kamar nenek, sedikit rasa bersalah terselip di hatinya, tapi ia juga senang mendapatkan haknya untuk istirahat sebentar.

Ini sudah hampir isya. Ia harus segera tiba di rumah dan memeluk ibunya, lalu makan bersama, dan kembali lagi ke sini.

Itulah rencananya. 

Namun, takdir berkata lain ketika ia tidak sengaja bertemu seorang pria yang mengenalnya. Pada awalnya ia berusaha menghindari pria yang wajahnya samar-samar di bawah cahaya lampu jalan.

“Laila,” pria itu memanggilnya.

Dia mengenalku?? Pikir Laila yang mulai was-was.

Pria itu mulai berjalan menyeberangi trotoar, menuju ke arah Laila yang terdiam membeku dan siap kabur jika terjadi hal-hal mencurigakan. Semakin dekat, wajah pria itu menjadi jelas di mata Laila yang sedikit minus.

“Oh, Kiky?” Laila menyebut dengan lega dan wajahnya berubah sumringah.

Kiky, panggilan akrab dari teman SMA-nya, Rizky, yang rumahnya berada di wilayah ini juga. Sudah dua tahun belakangan Laila tidak melihat temannya itu, jadi wajar ia merasa asing dengan penampakan Kiky yang tambun sekarang.

“Kamu habis dari mana?” Kiky bertanya santai, sementara satu tangannya menenteng plastik dari minimarket terdekat.

“Dari tempat kerjaku,” jawab Laila seraya menunjuk ke belakang dengan dagunya. Ia mulai berjalan di samping Kiky dan menikmati pemandangan malam dengan seliweran kendaraan yang sesekali lewat.

“Kamu kerja di sekitar sini?” 

“Iya, lho..  Kayaknya aku pernah cerita, deh.” Laila meliriknya dengan tatapan terkejut.

Kiky tidak menjawab, hanya menyeringai kecil dan dahinya mengerut karena tidak ingat kapan Laila pernah bercerita soal itu. Tapi, ia punya hal yang lebih penting untuk dibicarakan dan berharap Laila akan tertarik.

“Ngomong-ngomong, kalau kamu belum bekerja aku ingin menawarkanmu pekerjaan, sih,” ujar Kiky yang sepertinya belum tahu bahwa Laila sudah menjadi seorang perawat. Dari gelagatnya jelas itu tawaran pekerjaan selain petugas medis.

Tapi, Laila hanya diam mendengarkan. Belokan ke gang rumahnya hanya beberapa meter lagi.

“Omku memiliki usaha di Thailand, katanya dia sedang membutuhkan pegawai administrasi,” jelas Kiky. “Mungkin kamu tertarik, Lel?”

Laila terkekeh mendengar nama panggilannya yang aneh itu disebutkan lagi oleh teman lamanya. 

“Hmmm… di Thailand, ya?” Laila seperti mempertimbangkan, lalu berujar dengan lugas mengenai pekerjaan profesionalnya. “Ya, jadi tugasku sekarang merawat majikanku, dan aku sudah nyaman di sana.”

Kiky mungkin terkejut mengetahui bahwa Laila sudah sukses menyelesaikan studi sarjana dan menjadi seorang perawat, apalagi bekerja di sebuah keluarga yang bergengsi di kota ini. Jadi, ia tidak menyerah hanya dengan menawarkan pekerjaan, melainkan ia berniat mendekatinya.

“Ini nomorku, Lel.” Kiky masih sempat memberikan kartu namanya kepada Laila yang diterima saja. “Kamu boleh hubungi aku kalau perlu bantuan.. atau apapun.”

Laila membaca kartu nama di tangannya dan tersenyum simpul. “Baiklah.” Mereka berpisah.

Tanpa terasa adzan isya berkumandang saat Laila tiba di rumahnya. Ibunya menyambut dengan gembira, ternyata ada ayahnya yang sedang pulang lebih awal. Jadilah mereka makan malam bersama dan berbagi cerita.

Laila memerhatikan obrolan kedua orang tuanya sambil menahan air mata, kapan ia bisa membahagiakan mereka dan bagaimana caranya? Hanya mereka yang ia miliki di dunia ini, ia tidak dapat membayangkan hidup tanpa keduanya.

“Kamu sudah mengantuk, kak?” Ibu menyentuh lengannya. Laila menunduk sejenak, lalu menggeleng pelan.

“Aku harus kembali ke nenek, tadi janjinya setelah isya.” Jawab Laila dengan berat.

Orang tuanya pasti juga memiliki perasaan yang sama, baru kurang dari setengah jam mereka berkumpul, Laila sudah harus bekerja lagi. Tapi, tidak apa, karena besok ia akan kembali lagi ke rumah.

“Salam untuk nenek, bapak, dan ibu, ya.” Pesan orang tuanya.

Laila mengangguk seraya mengucap salam. 

Ia memendam cerita yang sebenarnya ingin ia utarakan kepada orang tuanya mengenai ucapan nenek sore tadi. Jika nenek bersikeras dengan perjodohan itu, ia akan mempertimbangkan untuk resign dari sana.

Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ucapan nenek benar-benar serius, bukan obrolan iseng semata. Laila tidak mungkin bekerja dengan perasaan yang mengganjal jika menolak permintaan nenek kali ini.

Langkahnya terhenti di depan gerbang kediaman keluarga Hakeem yang perlente. Cahaya temaram menghiasi taman-taman depan dan ruang demi ruang diterangi lampu kristal yang tak pernah redup meski mati listrik.

Laila hendak mengucapkan salam ketika telinganya menangkap suara keributan dari ruang keluarga yang akan dilewatinya.

Jadilah ia terjebak di dapur. Meski sebenarnya ia tidak ingin menguping pembicaraan yang mulai terdengar panas itu, ditambah lagi ia terkejut mendengar suara Nathan di sana.

Mas Nathan bukannya sedang keluar kota? Pikir Laila.

“Papa!” Nathan sampai berteriak. “Mana bisa seperti itu? Ini kan, urusanku.”

“Urusanmu?” Bapak Adiwijaya berkata lebih tegas. “Kalau itu urusanmu sendiri, pakai saja uangmu dan jangan tinggal di rumah ini!”

Laila membeku atas pernyataan yang tak pernah ia duga itu. Padahal hubungan Bapak Adiwijaya dengan putra pertamanya bisa dibilang harmonis meski tidak sedekat dengan adik-adiknya.

“Pa,” suara bu Kusuma terdengar menenangkan suaminya.

“Nathan, ingat, ya.” Bapak Adiwijaya terlihat menunjuk putranya itu, terpantul dari bayangan di kaca dapur. “Ini yang terakhir Papa memperingatkanmu. Sekali lagi kamu bermain-main dengan perempuan seperti itu, Papa benar-benar akan mengusirmu..”

“Siapa yang main-main sih, Pa??” Nathan menyela dengan nada tersinggung.

“Perempuan rendahan seperti itu!” Papa meninggikan suaranya sehingga semua orang terdiam dan menundukkan kepala, kecuali Nathan yang tetap menatapnya. “Dia cuma mau menjilatmu, mungkin saja ia  juga melakukannya pada pria lain, itu mudah sekali terlihat!”

Pranng!!

Nathan meninju kaca dari meja di depannya hingga terdengar suara pecahan yang keras. Semuanya dibuat merinding, kecuali bapak Adiwijaya yang semakin marah kepadanya meski belum mengatakan apapun.

“Namira bukan orang seperti itu!” Tegas Nathan yang tidak terima.

“Terserah,” Papanya mulai berdiri daripada meneruskan pertengkaran terbuka dengan putra pertamanya itu. “Kamu akan tahu bahwa apa yang Papa katakan benar, kamu pasti akan menyesal jika masih bersama perempuan itu dan menolak Laila.”

Laila menegakkan kepala dan seluruh tubuhnya membeku mendengar namanya disebutkan. Ada apa ini sebenarnya??

“Kenapa harus Laila sih, pa?” Nathan menyanggahnya. “Seperti gak ada perempuan lain saja!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status