Share

Tergoda Gadis Muda
Tergoda Gadis Muda
Penulis: Nannys0903

Wanita di balik pintu mertua

Tergoda Gadis Muda

Eni sering memergoki suaminya yang menatap ponsel dan tersenyum bahagia. 

"Kang, lagi chat sama siapa, sih. Serius banget?" ucap sang istri. 

Kang Udin langsung menyembunyikan ponselnya.

"Akang, lagi lihat video lucu. Kamu belum tidur?" tanya lelaki itu mengalihkan istrinya.

"Cari Akang. Aku pikir kamu pergi ternyata lagi di sini." 

"Akang gak ke mana-mana. Ayo tidur sudah malam. Besok kamu kerja, De." 

Eni memang seorang wanita karir sedangkan suaminya lebih banyak di rumah. Kadang kerja kadang tidak. 

Eni tak pernah menuntut macam-macam yang terpenting lelaki itu selalu berada di sisinya.

Pada saat itu Udin menghampiri istrinya yang berada di dalam kamar. Eni baru saja pulang dari kantor. 

"De, besok Akang mau pulang kampung, sudah lama gak jengguk umi," ucap kang Udin. Lelaki itu duduk di samping istrinya, wajahnya gelisah.

"Umi kenapa, Kang?" tanya Eni, wanita yang telah dinikahi sepuluh tahun lebih dengan nada khawatir.

"Alhamdulillah, umi sehat De," jawabnya dengan nada bergetar." Akang rindu kampung halaman," ucapnya penuh harap.

"Ya sudah,  pergilah, Kang!" jawab Eni ragu. Ia merasakan hal yang jangal. Firasat yang tak bisa diartikan.

 

Kang Udin langsung tersenyum bahagia, seperti memenangkan lotre. Mencium seluruh wajah istrinya.

Ia mengambil gawainya dan menelepon seseorang di luar rumah. Eni menatap dari kejauhan. Terlihat raut muka kang Udin dikelilingi kebahagian saat berbicara di gawai miliknya. Matanya berbinar-binar.

Sang istri membuang jauh-jauh pikiran negatifnya. Menghembuskan napas agar semuanya terkendali.

Keesok harinya, kang Udin sudah merapikan pakaiannya.

"Sudah siap Kang bajunya," tanya Eni.

Kang Udin mengancungkan jempol dan tersenyum bahagia.

 

"Banyak sekali Kang bawa pakaian seperti ingin pergi lama," tanya Eni. Memincingkan mata.

"Takut musim hujan. Kamu tahu sendiri rumah Umi tak ada mesin cuci."

"Oh, ya sudah bawa tas yang agak besar." Eni menyerahkan tas yang berada di atas lemari.

 

Eni menyerahkan uang lima ratus ribu kepada kang Udin untuk ongkos pulang kampung, mencium tangannya dengan takzim.

Lala, anak pertama mereka menghampiri bapaknya yang siap-siap pergi ke kampung halaman tanpa ditemani keluarga kecilnya.

"Bapak cepet pulang," ungkap anak gadis berkuncir kuda berumur sepuluh tahun. Wajah polosnya dan bola matanya mirip neneknya.

"Iya, kamu jaga ibu dengan baik. Jangan nakal! Bapak pergi dulu," pamitnya. Mengucapkan salam dan melambaikan tangan. 

Entah mengapa feeling Eni tak ikhlas melihat suami pergi. Mereka menikah sudah dua belas tahun. Ia jarang melihat suami tercinta tersenyum bahagia seperti itu.

Akang Udin memiliki sifat yang dingin dan kaku dalam hubungan rumah tangga. Tapi, ia seorang bapak yang baik dan penyayang kepada anaknya.

 

**

Seminggu telah berlalu, tak ada kabar darinya. Di kampung sangat sulit mendapatkan sinyal. Hati istri Udin gelisah, rasa rindu kepada suami menyiksa batin. Feelingnya telah terjadi sesuatu.

Eni mencoba menghubungi adik kang Udin, rumah Dina cukup jauh dari tempat Umi. "Tak apalah asal bisa tahu kabar suamiku," pikirnya.

 

Semalam, hatinya sangat gelisah. Tak pernah kang Udin pergi terlalu lama. Ia ambil gawai dan menghubungi adik ipar.

Panggilan terhubung tidak lupa memberi salam kepadanya dan ia pun membalas salam Eni.

"Dina apa kabar, Ndok?" tanya Eni.

"Baik Teh. Teteh sendiri bagaimana?

"Alhamdulillah baik. Din, Kang Udin masih di tempat Umi?"

"Kang Udin masih ada Teh, tapi ia tinggal di kampung sebelah."

Eni terkejut dengan ucapan Dina. Mengapa suaminya berada di kampung sebelah.

"Di tempat siapa, Din?" tanyanya mencium bau yang mencurigakan.

"Aduh Teh, Dina bingung ngomongnya," suara Dina berubah gugup.

"Maksudnya apa, Din? Bingung bagaimana?" tanya dengan hati yang bergemuruh.

"Eh, itu Teh ... sudah dulu,Teh. Anakku nangis." Dina menutup panggilannya tanpa mempedulikan panggilan Eni.

"Aku harus menyusulnya," gumam dalam hati. Mengajukan cuti dan menunggu gajian adalah solusi yang tepat. Seminggu lagi gajian akan keluar. 

***

Hari itupun tiba. Eni dan Lala bersiap-siap menyusul Udin yang tak kunjung pulang.

Eni melangkahkan kakinya dan menggandeng tangan mungil Lala, menuju pintu mertua. Jantungnya berdegup, entah mengapa perasaan ragu muncul tiba-tiba.

"Assalamualaikum."Sambil mengetuk pintu. 

"Waalaikumsalam," jawab seorang perempuan, dan membukakan pintu. Gadis muda dengan rambut yang basah. Tubuhnya kecil dan wajahnya manis.

Dia terlihat kaget melihat wanita mengandeng tangan anak perempuan. Ia mengerutkan kening menatap Eni.

"Kamu siapa?" tanya Eni dengan nada bergetar.

"Kamu juga siapa?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Eni.

Suara kaki mendekati mereka. Sosok lelaki yang mereka rindukan.

"Bapak!" teriak Lala bahagia, ia langsung memeluk  bapaknya dengan penuh kerinduan.

Kang Udin menatap istrinya dingin tak sehangat ketika di rumah.

"De, ayo masuk!" ajak kang Udin canggung.

Eni tak bergeming dari posisinya. Gadis itu memegang jemari suaminya tanpa malu. Eni tersenyum melihat adegan itu. Apakah ia Cemburu? Ya, ia cemburu dan ingin menarik rambut basah gadis kecil yang menyentuh miliknya.

Kang Udin menengok dan tersenyum manis dengan gadis berambut panjang disamping tubuhnya. Rasanya Eni muak dan marah melihat adegan tatap menatap mereka.

"Umi mana, Kang?" tanyanya mengalihkan rasa sedih dan kecewa dalam dada. Suaranya terasa bergetar menahan rasa sakit di dada. Sesak tak ada cela.

"Umi di kamar," jawabnya menunjukkan kamar umi.

Eni mengayunkan kaki ke kamar Umi. Tubuhnya lemas tak bertulang. Ia berusaha tegar.

Umi duduk di pinggir kasur dan menangis. Eni langsung memeluk tubuh mungilnya. Air mata mereka mengalir dengan derasnya. Mereka terisak sambil berpelukan. Tanpa dijelaskan Eni tahu mengapa wanita itu menangis.

Umi menyesal dan meminta maaf kepada mantu kesayangannya yang telah dianggap anak sendiri.

Kang Udin telah memiliki wanita lain tanpa menunggu persetujuan dari istri dan ibunya. Air mata membasahi kedua pipi mereka. Mereka saling menghapus jejak di pipi mereka.

"Maafin, Umi," ungkapnya dengan suara lemah. 

Eni hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak ingin melihat mertuanya menjadi sedih. Khawatir dengan kesehatan wanita tua itu.

***

Gadis itu menyiapkan makan sore untuk mereka. Eni melirik tanpa kata kepadanya.

Lala sedang asik bermain dengan kang Udin. Kebahagiaan terlihat di mata mereka. Mungkin suaminya hanya rindu kepada Lala dan tidak dengan istrinya pikirnya.

Nasi, sambal terasi dan ikan asin terlihat di meja makan. Eni tersenyum sinis, ternyata ia tak pandai memasak, wanita yang telah terluka hatinya bangkit dari duduk dan membuka kulkas Umi.

Ia tahu Umi selalu menyetok sayuran di lemari pendingin. Memulai memasak dengan cepat. Satu piring sayur tumis tersaji di meja makan. Meletakkan di meja makan.

"Enak banget sayur ini," puji umi kepada mantu pertamanya tanpa menyentuh masakan menantu lain. 

"Ibu aku memang paling jago masak," ungkap Lala dengan bangga.

Wanita yang telah dinikahi kang Udin bernama Rini melirik kakak madunya tidak suka. Setelah makan Eni membersihkan piring-piring di meja. Rini dan Kang Udin bercanda dan bergurau di kamar. 

Tak pernah Eni melihat suaminya tertawa seperti itu. Air matanya berguguran kembali. Jari jemarinya langsung menghapus air mata membasahi pipi.

Kang Udin menghampiri wanita yang telah dinikahi bertahun-tahun di dapur. 

"De, Akang mau bicara. Kita duduk di bale belakang!" ajaknya. Langkahnya mendahului tanpa menunggu.

Ketika mereka duduk di bale, ia meraih tangan dan menggenggam lembut istri pertamanya. Pandangan mata menghadap ke wajahnya.

Menarik napas panjang dan membuka mulutnya." Sebenarnya, Rini istri Akang juga. Dua hari yang lalu kami menikah siri," ungkapnya tanpa dosa.

Wanita yang dihadapan kang Udin menatap tajam, matanya mulai mengembun. 

"Kenapa kamu gak minta izin kepadaku, Kang?" ucapnya sewot. Dadanya kembang kempis. Ingin mengungkapkan semuanya.

"Enggak ada sinyal di sini," alasannya yang tak masuk akal.

"Alasan kamu Kang, kamu bisa mencari sinyal di bukit kalau kamu niat memberitahuku." sindir Eni.

Kang Udin diam kehabisan kata-kata. 

"Aku gak mau dimadu Kang. Aku gak bisa!" Menutup wajah dengan kedua tangan menangis dengan pilu. 

Di balik tembok berdiri seorang wanita dengan daster di atas lutut. Tubuhnya putih dan bersih.

"Mba, aku dan Kang Udin saling mencintai sejak pandangan pertama. Mba gak bisa egois. Kang Udin sangat mencintaiku," ungkap Rini yang tiba-tiba menghampiri. Ia ikut berbicara tanpa diminta.

Mendengar ucapannya yang tak tahu malu.

Eni berdiri dan bangkit dari duduk. Tanpa menunggu lama menarik rambut panjang Rini dan mencakar wajah wanita perebut suami orang.

Rini membalas perbuatan Eni. Mereka saling dorong-mendorong dan terjatuh. Eni bangkit dan menyerang Rini dengan buas menampar Rini dan menjambak rambut. Kang Udin berlari ke dalam meminta pertolongan kepada umi. 

"Umi! Umi!" panggil kang Udin.

"Dasar pelakor kamu menghancurkan rumah tanggaku," teriak Eni. Memukulnya dengan emosi.

Semua warga berlarian dari segala arah. Kang Udin menarik tubuh wanita yang ia nikahi. Entah kekuatan dari mana Eni mendorong suaminya. Rini berteriak meminta tolong kepada kang Udin. 

Kang Udin menarik tubuh Istri pertamanya dan memeluk erat. Eni memberontak tak mau disentuh.

"Istigfar De, kamu jangan seperti ini!" Sambil membelai rambut hitam Eni.

Selama menikah Eni jarang merasakan pelukan hangatnya. Ia menangis lalu menghapus air mata, merapikan rambut yang acak-acakkan dan mendorong tubuh suaminya. 

Melayangkan tangan ke wajah pas-pasan kang Udin. Lelaki itu menyentuh pipinya, tatapan benci dan muak terlihat jelas dari sorot mata Eni.

 

Di depan warga Eni pura-pura tersakiti. 

"Kamu pelakor, apa kamu tak laku sampai tak ada lelaki yang lain,"sindirnya.

"Pantesan kamu merebut suami orang wajah kamu tak menarik bagi para bujangan." Eni melangkahkan kaki masuk ke dalam. Lala menangis melihat ibunya dan segera memeluk gadis kecil itu.

Bisik-bisik tetangga terdengar.

"Katanya saudara jauh, ternyata simpanannya," ucap ibu yang memakai daster merah bermotif bunga-bunga.

"Cewe gak bener," sindir ibu yang lain.

***

 

Eni menyiapkan sarapan untuk Umi dan anaknya. Ia tak sudi memasak untuk suami dan madunya. "Nasi goreng telur ceplok. Harum sekali baunya," pujinya dengan masakannya sendiri.

Ia lihat Rini dan kang Udin keluar dari kamar mereka. Eni memanggil Umi dan anaknya. Tiga piring tersaji di meja makan. Rini mencium harum masakkan kakak madunya. Dia menarik tangan kang Udin untuk duduk dan menggambil piring tersebut. 

"Eh ... kamu mau apa?" tanya Eni sinis.

"Mau makan Mba, laper!" jawabnya polos.

Dengan luka-luka di wajah dan tangan yang telah diobati kang Udin. Luka Eni belum diobati sedikitpun.

Ia menarik piring yang diambil Rini lalu berkata," Masak sendiri sana!"

Rini mendengus kesal dan bangkit dari duduknya. Kang Udin masih marah dengan istri pertamanya atas insiden semalam. 

Umi dan Lala duduk dengan santai menikmati nasi goreng buatan Eni.

Rini memberikan piring yang berisi nasi, telur dan kecap kepada suaminya dan juga suami orang lain. 

"Rin, kok cuma ini?" tanya kang Udin kepada istri keduanya. 

"Kalau gak suka jangan dimakan,"ucapnya merajuk.

Kang Udin terpaksa memakannya demi istri keduanya. 

 

****

Next time ya.

Doakan aku semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya. AAMIIN

 

NANNYS0903

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status