Share

Polos yang menyakitkan

Tergoda Wanita Muda

Bab 2

Pov Eni

 

 

Tiga hari aku di sini setiap hari Rini selalu memamerkan rambutnya yang basah dan sengaja mengibas-ngibaskan rambut ke arahku.

 

Norak sekali dia, aku juga ogah dikasih bekas dia ucapku dalam hati. Setiap malam kang Udin selalu tidur dengannya. Aku tak pedulikan mereka.

 

Rini selalu memamerkan kemesraannya di depanku tapi aku cuek dan tak peduli. 

 

"Akang, Rini mau makan nasi uduk di gang depan perut Rini lapar, semalem Akang main meong-meongan terus," ucapnya manja sambil melirik aku. 

 

"Nanti ya Rin, Akang belum punya uang, sabar ya Sayang," tolaknya halus dan lembut.

 

Aku hanya tertawa dalam hati dan aku segera melangkahkan kaki keluar.

 

Tiga bungkus nasi bungkus aku letakkan di meja makan ku panggil umi yang sedang bermain dengan Lala.

 

Kang Udin dan maduku sedang minum teh dan cemilan di meja. Ia melirik kantong kresek hitamku. 

 

"Akang, mba Eni sepertinya beli nasi uduk untuk aku," ucapnya sambil tersenyum bangga. 

 

Mimpi, untuk apa beliin dia. Rugi amat. Makan tuh cinta cibirku. Sifatnya yang memiliki kepercayaan tinggi membuat aku ingin tertawa muak.

 

Membuka tiga bungkus nasi uduk dengan ayam semur. Ku buka perlahan-lahan.

 

Maduku menatap dan tersenyum, aku tak membalas senyumnya. Aroma harum tercium di ruang makan. Bawang goreng yang di tabur di atas nasi uduk menggugah selera dengan sambal kacang dan kerupuk membuat siapa saja tergoda.

 

Begitu juga maduku ia terus menelan ludahnya melihat aku menata nasi uduk di meja makan. Umi dan anakku makan dengan lahap. 

 

Aku makan dengan nikmat sambil mengacungkan jempol ke Umi dan anakku. Rini masih tak bergeming. Aku menggigit paha ayam dengan lembut dan menggoda. Menggigit di sekitar bagian paha sampai tersisa tulangnya. 

 

"Bapak!" panggil Lala kepada Kang Udin.

Kang Udin menghampiri kami ke meja makan. Tatapan Rini masih fokus di meja makan. 

"Bapak, makan barengan sama Lala," ajak anakku. 

 

Suami dan anakku saling suap-suapan lalu aku menyuapin suami dengan manja. Umi pun aku suapin. Terlihat netra di mata Rini. Ia bangkit menghampiri kami ke meja makan. 

 

"Lala, punya teteh mana?" tanya maduku kepada anakku. 

 

"Kamu lapar, Rin?" tanya aku. 

 

"Iya Mba, aku lapar?" jawabnya polos. 

 

"Mau!" tawarku sambil memegang paha ayam punya Lala.

 

Dia pun menganggukkan kepala dan tersenyum memperlihatkan giginya. 

 

"Buka mulutnya," perintah aku.

 

"Aa ...Mba!" 

 

Aku memasukkan singkong ke dalam mulutnya yang terbuka. Ia menutup mulutnya dan mengambil singkong yang masuk setengah mulut. Umi dan Lala tertawa terpingkal-pingkal. 

 

Rini menghentakkan kakinya dan melangkahkan kakinya keluar rumah dengan cepat. Kang Udin mengejar Rini yang berlari keluar. 

 

Aku meringis melihat adegan kang Udin mengejar istri mudanya. Dulu aku pernah merajuk karena suami tak membawa mangga muda pesananku. 

 

Aku keluar rumah tapi ia tak mengejar. Meminta maaf saja tidak. Sikapnya dingin kepada istrinya.

 

Padahal aku sedang hamil muda sejak itu aku tak pernah meminta apa-apa kepada kang Udin ,berusaha sendiri mencari apa yang kuinginkan.

 

"Kamu mau ke mana, dek?" tanya suamiku.

 

"Mau pulang, lagian ngapin lama-lama di sini liat pemandangan orang udik yang lagi pengantin baruan," jawabku asal.

 

"Akang gak bisa pulang ke rumah," ujar suamiku.

 

"Terserah, ada atau enggak ada kamu sama aja, Akang," sindirku.

 

"Loh, kok begitu?" ujarnya tidak suka.

 

"Lah, emang," jawabku santai.

 

Kulihat dua buah kaki di depan pintu kamar. Tubuhnya tertutup hordeng pintu tetapi aku bisa melihat dari bayangan dan kakinya. 

 

Aku mendekati kang Udin. 

"Akang, jangan marah, dong!" rayuku manja sambil memeluknya. 

Kang Udin terlihat gelagapan. 

 

"Akang cinta gak sama aku," tanyaku manja masih dalam posisi dekat. 

 

"Akang cinta sama, ade. Cinta Akang gak akan berubah dan semakin dalam," jawab suamiku dengan tersenyum.

 

"Ayo, kang tutup pintu!" ajakku dengan mengodanya. 

Ia menutup pintu perlahan kulihat bayangan sang pengintip masih ada. Di balik pintu aku membisikkan kalimat kepada suamiku dan ia menuruti perintahku.

 

"Akang ... terus ... iya yang itu ... terus Kang ..." Suaraku kubuat sesexy mungkin. Aku yakin pengintip itu akan terbakar seperti kayu dan api menghasilkan arang yang hitam. Aku menahan tawaku agar tak ketahuan suamiku. 

 

"Enak, De?" tanya suamiku.

 

"Enak banget, top suamiku," jawab aku masih posisi berdiri dekat pintu. 

 

Aku mendengar pukulan ke tembok di dekat pintu kamarku. 

 

Menyuruh suamiku untuk berhenti.

"Sudah Kang, makasih ya sudah pijitin aku," bisik aku kepadanya.

 

**

 

Aku mengambil minum ke dapur tapi aku melihat Rini berada di dalam kamar Umi, mendekati kamar tersebut kuintip mereka dari balik pintu yang tertutup setengah.

 

"Umi, Rini cuma minta 20 ribu aja gak banyak kok." rengeknya manja.

 

Umi mengambil dompetnya di lemari kayu berwarna coklat. Ia memberikan uang tersebut kepada Rini. Dengan riang seperti anak kecil Rini memeluk Umi tapi tidak di balas pelukkannya raut mertuaku terlihat masam.

 

Aku segera berjalan ke dapur dan melihat maduku keluar kamar.

"Berani sekali dia meminta uang kepada mertuaku," bathinku berkata.

 

Aku menghampiri Umi di kamar. Wajah umi pucat seperti sakit. 

"Umi kenapa, sakit?" tanyaku mengkhawatirkan dirinya.

 

"Aku menyentuh dahinya, panas." Kulangkahkan kaki ke dapur mengambil obat demam dan air putih.

 

Rini mendekatiku dengan membawa satu bungkusan kecil. Tercium dari aromanya, ia membeli bakso. Rini mengambil mangkuk dan membukanya. Kuah bakso yang berwarna merah mencolok terlihat pedas ia tuangkan kedalam mangkuk bergambar ayam jago.

 

"Rini .... " Suara suamiku memanggil maduku dari depan rumah. 

Rini menghampirinya. Aku melihat ia keluar, tanpa berlama-lama mengambil mecin satu bungkus dengan harga seribuan yang masih utuh, aku buka dan memasukkan semuanya. "Berani sekali dia minta uang ke umi untuk beli bakso," dalam hatiku kesal. Aku aduk sebentar agar tak terlihat.

 

Aku langsung meninggalkan bakso tersebut berharap maduku jera. 

 

"Akang, rasa kuah bakso kok aneh, ya," tanyanya kepada kang Udin.

"Aneh bagaimana? Kamu kepedesan itu kelihatan dari warnanya," jawab suamiku.

 

Ku lihat kuah mangkuk tidak tersisa diletakkan di atas meja dapur. Aku tersenyum sinis. "Dasar anak mecin," lirihku. 

 

Seharusnya hari ini aku pulang ke rumah tapi melihat umi yang demam tidak tega rasanya. Aku undur kepulanganku besok. 

"Umi, makan dulu!" ucap aku.

Aku menyuapi mertuaku bubur nasi yang aku buat. Hanya tiga sendok umi makan.

"Lagi Umi," rayuku.

Umi menggelengkan kepala. 

 

"Umi minta maaf kepadamu dengan sikap Udin. Umi salah mendidiknya. Kenapa ia tega menyakiti perasaan kamu dan Umi?"

 

Aku tersenyum menitikkan air mata. Terlihat umi menyayangiku. Aku ingat ketika umi melamarku untuk anaknya kami berpacaran cukup lama sikap kang Udin kepadaku memang dingin.

 

Aku yang selalu mengejar cintanya. Dan dengan kegigihanku akhirnya kang Udin mau menikah denganku dengan bujukkan umi. 

 

Ternyata kang Udin menghianatiku. Ia belum menjelaskan kenapa menikah tanpa izin dariku. Aku menundukkan kepala, umi menarik tubuhku dan memeluknya. Kami menangis saling berpelukkan. Ucapan maaf terucap berkali-kali di bibirnya. Umi menceritakan pertama kali bertemu Rini.

 

 

**

Flashback 

 

 

 

"Assalamualaikum." Suara Udin memberi salam dari depan pintu. Bergegas umi membuka pintu dengan rasa rindu yang menggebu.

 

"Waalaikumsalam." Mereka berpelukkan dan saling melepas rindu. 

 

Udin hanya tiga hari di sini selama di sini ia sering bertelepon dan memainkan gawainya sampai tengah malam. Sinyal telepon di sini tidak seperti dulu lemot. Terkadang ia keluar rumah pulang besok pagi.

 

Dia pamit untuk tinggal di kampung sebelah. 

"Kamu tinggal di kampung sebelah sama siapa?" tanya umi waktu itu.

 

"Sama teman Umi," jawabnya sambil menunduk. 

 

"Istri dan anak kamu bagaimana?" tanyanya.

 

"Baik-baik saja kok umi. Udin hanya sementara aja di sini. Jenuh liat kota," alasannya. 

 

Udin pergi meninggalkan rumah umi dengan membawa semua bajunya. 

Empat hari berlalu udin kembali ke rumah umi. Umi membukakan pintu rumahnya dan terkejut ketika anaknya membawa perempuan lain. Mereka saling menyatukan jemari tangannya. Dada umi terasa nyeri melihat anaknya. 

 

Rini mencium tangan umi. 

"Umi ini istri Udin yang baru," ucap Udin menjelaskan. 

 

Dina pernah bercerita kalau kakaknya telah menikah dan tinggal di kampung sebelah yang lumayan jauh dari sini. Sempat tak percaya tapi hari ini umi mendengar sendiri ucapan putra sulungnya.

 

Rini terlihat manja dan seperti anak kecil yang masih sekolah. Udin berumur tiga puluh dua tahun sedangkan Rini tujuh belas tahun. Mereka menikah siri. Umi hanya berdiam diri di kamar, ia muak melihat wajah menantu barunya.

 

 Keesok harinya datang mantu kesayangannya. Perasaan iba dan menyesal menyelimuti hati umi. Terlihat Eni menantu kesayangannya tegar menghadapi cobaan rumah tangganya. 

 

 

Flash end

 

 

***

 

 

Keadaan umi sudah membaik, aku memutuskan pulang ke rumah dan kembali bekerja. Lala terlihat murung karena bapaknya tidak pulang ikut bersamanya. Terlihat anakku paham dengan kondisi rumah tangga orang tuanya. Ia terlihat sinis melihat Rini. Kami berpamitan. Kang Udin memelukku cukup lama aku segera menghapus air mataku di dadanya. 

 

"Maafin Akang," ucapnya di telingaku.

Ia mencium keningku dan kedua pipiku. Terlihat kecemburuan di mata maduku. Pelukkan kang Udin memberikanku kenyaman dan kehangatan. Aku membalas peluknya dengan erat berharap semua baik-baik saja.

 

Lala mencium tangan neneknya dan bapaknya.

"Lala, sama Teteh gak pamit?" ujarnya sambil menyodorkan tangannya. 

"Pelakor cuma nyakitin," ucap anakku sinis sambil berjalan melewatinya.

 

Terlihat raut kesal di wajah Rini dan menatapku. Aku meninggalkan mereka kembali pulang. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku akan bertahan dan kuat. Untuk mendapatkan cinta suamiku begitu sulit sedangkan Rini dengan mudahnya mendapatkan cinta kang Udin. 

 

 

****

 

#Nannys0903

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status