“Tuan Patryk dan Nona Claudia sudah menjalin hubungan gelap di belakang Nona Klara dua bulan yang lalu. Mereka sering pergi ke pesta berdua, belanja ke mall, bahkan cek in ke hotel.”
Tommy-asisten pribadi Adrian memberikan beberapa dokumen hasil tangkapannya dari beberapa informan yang dia dapatkan dalam semalam. Adrian mengerutkan keningnya lalu menghela napasnya dengan panjang. “Kasihan sekali gadis itu. Dikhianati oleh anakku bahkan memberikan kejutan gila di malam ulang tahunnya.” ** Menjelang pukul delapan pagi, Klara terbangun dengan kepala berat seperti dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya seperti remuk. Ia menggeliat, lalu seketika meringis. “Ah—sial …,” desisnya sambil memegangi perut bagian bawah. Rasa ngilu yang menjalar dari pangkal paha hingga perut bawah, membuatnya terpaksa menarik napas pendek-pendek. Penasaran, dia kemudian menyingkap selimut yang menutupi tubuh, lalu terkesiap melihat kondisinya sendiri. “Tidak! Bagaimana bisa?!” bisiknya, suaranya tercekat. Tubuhnya tanpa sehelai benang. Dan lagi, di sprei putih itu … terdapat noda darah yang kontras, tepat di dekat posisi pangkal pahanya tadi. Sekelibat ingatan samar muncul di benaknya. Mulai dari perselingkuhan Patryk dan Claudia, pelarian dirinya ke kelab sampai mabuk dan berakhir pada pertemuannya dengan seorang pria tampan. Rasa panik yang bercampur marah berpadu. Ia mulai mengarah pada satu kesimpulan. “I-ini ….” Klara mencoba mengingat-ingat wajah pria itu. Hanya saja, nihil! Ia hanya bisa mengingat samar-samar suara pria itu yang begitu maskulin, harum pria itu yang begitu memabukkan, juga hangat dan beraninya sentuhan pria itu semalam. Dress biru ketat juga jaket putihnya yang tergeletak kusut di dekat kaki ranjang, membuat kepingan puzzle di benaknya semakin terbentuk. Di hari ulang tahunnya, ia baru saja kehilangan dua hal penting. Kekasih, juga kesuciannya. Belum selesai keterkejutan Klara, saat ia memungut pakaian dan berlari ke toilet, tubuhnya kembali bergetar. Pria itu bukan hanya meninggalkan bau parfum mahalnya, tapi juga beberapa tanda merah di tubuh Klara. Terlebih di bagian dada. “Ah, sial.” Klara kembali mengumpat dirinya sendiri. Namun, Klara tidak punya banyak waktu jika ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya juga hari ini. Tidak punya banyak pilihan, dia pun terpaksa mengenakan pakaiannya semalam. Tanpa make up untuk menutupi bekas kemerahan, Klara hanya mengandalkan jaket putih panjangnya yang mampu menutupi hingga leher jenjang gadis itu. ** “Kau mau main, atau mau kerja?” Pertanyaan itu muncul pertama kali dari supervisornya di kantor. Klara menunduk dalam, mengamati pakaiannya yang terlihat begitu berbeda dengan karyawan lain. “Maaf, Tuan. Saya baru saja dapat musibah,” aku Klara. Supervisor itu mengibaskan tangan ke udara, tidak peduli dengan alasan wanita cantik berusia dua puluh tiga tahun itu. “Kau beruntung tidak disuruh pulang karena CEO kita sudah datang. Tapi, kalau sampai CEO kita melihatmu yang seperti ini, silakan kemasi barangmu dan cari tempat kerja lain!” ancamnya. Klara terdiam. Ia terus menunduk sampai supervisor itu pergi. Seorang rekan kerja yang duduk di sebelahnya berbisik, “Kalau aku jadi kau, mending sembunyi di toilet saja.” Klara hanya tersenyum hambar. Ia tidak melakukannya, tapi dia memilih untuk tidak terlihat. Ia memilih untuk berdiri di posisi paling belakang. Menyendiri, tidak berbaur dengan sesama anak baru yang lain. Suara tepuk tangan terdengar seantero ruangan kala sosok CEO yang mereka tunggu naik ke podium. Tubuh Klara mematung melihat sosok itu! Pria itu adalah Adrian Wojcik yang tidak lain adalah ayah dari mantannya. Semula, Klara biasa saja pada Adrian, tapi hari ini … ia merasa kesal melihat wajah pria itu. Melihat Adrian, ia jadi teringat lagi pada Patryk. Kekesalan itu membuat Klara justru tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Adrian yang ternyata juga terus menatapnya dengan cara yang tidak biasa. Sementara itu, di atas podium, Adrian terus mengamati sosok gadis bertudung putih di ujung ruangan. Ia mengenali Klara. Usai menyelesaikan sambutannya, ia segera menghampiri Klara. Sorot mata audience lain mengikuti langkah Adrian. Dan ketika sang CEO berhenti di ujung ruangan, tatapan penuh rasa penasaran itu tidak bisa lagi disembunyikan. “Kukira kau tidak akan datang,” ujar Adrian. Klara sampai berjengit karena suara dingin dan maskulinnya. “Tu-Tuan Adrian?” cicit Klara yang kaget tahu-tahu Adrian telah berada di hadapannya. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Adrian dengan nada dingin.Pagi itu, kantor pusat Wojcik Group tampak seperti biasa: sibuk, penuh karyawan yang berlalu-lalang dengan tumpukan berkas, suara langkah sepatu, dan bunyi pintu lift yang terus berdenting.Klara berjalan dengan cepat menuju meja kerjanya sembari mencoba menata diri. Malam sebelumnya masih membekas di kepalanya, bagaimana Adrian hampir saja mencium bibirnya, lalu diselamatkan oleh dering telepon.Wajahnya merona setiap kali bayangan itu kembali. Ia menggeleng, berusaha mengusir rasa kacau yang mengganggu konsentrasinya.“Ah, sial! Aku tidak bisa melupakan malam itu lagi,” gerutunya pada dirinya sendiri.Belum sempat dia duduk, suasana kantor mendadak tegang. Beberapa staf saling melirik dan berbisik-bisik. Klara mengikuti arah pandangan mereka—Patryk.Pria itu berdiri tegak di lobby kantor mengenakan setelan jasnya rapi, tapi sorot matanya penuh amarah.Ia berjalan cepat seolah siap menerobos ke ruangan CEO. Dan benar saja, tanpa basa-basi, Patryk langsung menuju pintu ruangan Adrian,
“Ak-aku ….” Klara menelan ludahnya mendengar bisikan Adrian yang berhasil membuat degup jantungnya semakin kencang. Klara tak sanggup berkata lagi karena tubuhnya sudah lebih dulu tegang. “Kenapa wajahmu tegang sekali?” suara baritonnya pecah dalam keheningan sehingga terdengar begitu rendah dan menggetarkan. Klara kembali menelan ludahnya dengan susah payah. “Jangan bicara tentang malam itu lagi, Paman—”“Just call me Adrian. Kita sudah resmi jadi sepasang kekasih, bukan? Kenapa kau masih memanggilku dengan embel-embel itu?” bisiknya dengan wajah yang begitu dekat menatap Klara. Klara menghela napasnya lalu mengangguk pasrah. “Baiklah, Adrian. Jangan bahas soal malam itu lagi.”Bukannya merespon, Adrian justru menggeser tubuhnya dan mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal helaan napas. Aroma parfumnya yang maskulin menyergap indera Klara hingga membuatnya sulit bernapas. Tangan Adrian nyaris menyentuh punggung tangannya, namun Klara dengan cepat menarik diri.“Aku hanya ingin
Ruangan VIP itu jauh dari hiruk pikuk pesta. Lampu redup, aroma kayu manis dari lilin aromaterapi memenuhi udara, menenangkan sekaligus memancing detak jantung yang tak menentu.Musik lembut dari grand piano di sudut ruangan terdengar samar, seakan menjadi saksi bisu bagi gejolak yang sebentar lagi meledak.Klara duduk di sofa kulit berwarna marun, tubuhnya masih tegang. Gaun putihnya yang anggun kini terasa terlalu sesak di dada.Tangannya meremas ujung roknya, matanya menatap kosong pada permukaan meja kaca di depannya.Adrian menuangkan minuman ke dua gelas kristal. Cairan amber berkilau terkena pantulan cahaya lampu. Gerakan pria itu tenang, elegan, dan menghipnotis.“Minumlah.” Adrian menyodorkan satu gelas pada Klara. Suara baritonnya lembut, tapi penuh perintah.Klara menoleh dan menatap gelas itu sebentar, lalu menerimanya.Ia meneguknya perlahan, membiarkan rasa hangat alkohol merambat ke tenggorokannya. “Aku … masih tidak percaya, Paman,” ucapnya lirih.Adrian mengangkat ali
Suasana pesta yang semula riuh dengan musik jazz dan tawa ringan para tamu mendadak menjadi tegang. Beberapa kepala mulai menoleh ke arah mereka.Tatapan mata para undangan yang semula hanya mengagumi penampilan Adrian dan Klara kini berubah penuh rasa ingin tahu.Ada yang berbisik, ada yang saling menyikut, bahkan ada yang diam-diam mengangkat ponsel untuk merekam.Klara merasakan degup jantungnya menggema di telinga. Ia tidak pernah menyangka akan ada drama seperti ini di depan publik.Tangannya yang tadi sempat digenggam kasar oleh Patryk masih terasa berdenyut.Namun genggaman protektif Adrian yang kokoh membuatnya seolah berada di benteng yang tak tergoyahkan.“Lepaskan dia, Son!” suara Adrian meninggi, begitu tajam hingga membuat beberapa pelayan tertegun di tempat.Tatapan matanya dingin, menusuk, penuh ancaman.Patryk, dengan wajah merah padam, tidak juga melepaskan Klara. “Dad, kau sudah gila! Dia itu mantan kekasihku! Bagaimana bisa kau–kau—” suaranya tercekat, nyaris patah
“Aku bersedia, Paman.”Katakan Adrian adalah pria gila dan nekad. Akan tetapi, Klara yang berakhir bersedia menjadi sugar baby sang ayah mantan itu sudah sama gilanya.Tatapan mata, sentuhan lembut, dan bahkan suara Adrian membuat Klara seolah tersihir hingga ia dengan mudah menyetujui penawaran itu. Senyum di bibir Adrian seketika merekah mendengar jawaban Klara, “Good girl,” ucap Adrian. Setelahnya, pria itu mengecup bibir Klara dengan cepat.“Bersiaplah, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan. Temani aku, dan jadilah gadis manis yang memesona. Tunjukkan pada Patryk bahwa kau pantas hadir di acara pesta itu.”Sekujur tubuh Klara meremang bukan main. Namun anehnya, ia tidak bisa marah ketika Adrian tadi mencuri kecupan dari bibirnya.Dan puncaknya adalah … ia menuruti Adrian untuk menjelma menjadi gadis yang memesona malam ini.Dengan sebuah backless dress putih yang mengikuti lekuk tubuhnya, Klara tampak sederhana, tetapi anggun.Potongan one-shoulder yang dipadukan dengan ke
“Tidak mungkin aku tidur dengan Paman!” Klara nyaris berteriak saking kagetnya.“Paman adalah ayahnya Patryk, tidak mungkin,” ulangnya lagi seperti orang linglung.Adrian duduk di kursi kerjanya dan menatap Klara dengan sorot mata yang tenang.Tidak ada sedikit pun keraguan atau penyangkalan. Namun, senyum tipisnya justru membuat Klara semakin panik.“Akulah yang bersamamu semalam, Klara,” tegas Adrian lagi. “Apa perlu kita ulangi agar kau ingat?”Seketika, tubuh Klara meremang tak karuan. Pangkal pahanya pun berdenyut, membayangkan hubungan tabu yang mereka lakukan semalam.“I-ini salah, Paman.” Klara menggelengkan kepalanya. Matanya sudah mengembun, karena didera panik.“Maafkan aku. Aku mabuk berat semalam. Aku tidak bermaksud menggoda Paman Adrian. Bisakah kita lupakan saja kejadian semalam?”“Melupakannya?” ulang Adrian. Wajahnya mengeras. Ia tampak tidak setuju.“Bagaimana kalau kau hamil? Kau tahu … kita tidak hanya melakukannya sekali, dan aku tidak menggunakan pengaman apa pu