LOGIN“Tuan Patryk dan Nona Claudia sudah menjalin hubungan gelap di belakang Nona Klara dua bulan yang lalu. Mereka sering pergi ke pesta berdua, belanja ke mall, bahkan check-in ke hotel.”
Tommy—asisten pribadi Adrian—mengirim beberapa dokumen hasil tangkapannya. Di layar tablet yang dia buka, beberapa foto memperlihatkan Patryk dan Claudia sedang berpelukan, berciuman, dan tertawa tanpa beban di sebuah restoran mewah.
Adrian mengerutkan keningnya. Rahangnya mengeras, matanya menyipit ketika menatap foto-foto itu lama. “Kasihan sekali gadis itu,” desisnya dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dingin.
“Dikhianati oleh anakku sendiri. Dan parahnya, di malam ulang tahunnya.”
Ia memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh di kursi kulitnya.
Namun, jauh di balik nada suaranya yang datar, ada sesuatu yang samar—campuran antara rasa iba dan amarah yang nyaris meledak.
**
Menjelang pukul delapan pagi, Klara terbangun dengan kepala berat seolah habis dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa remuk, seperti dihantam badai. Ia menggeliat, lalu meringis keras.
“Ah—sial …,” gumamnya pelan sambil memegangi perut bagian bawah.
Rasa ngilu menjalar dari pangkal paha hingga ke perut bawah. Napasnya pendek-pendek, seolah setiap hembusan udara terasa menyakitkan. Ia menyingkap selimut dan detik berikutnya matanya membulat lebar.
“Tidak! Bagaimana bisa?!” bisiknya dengan suara bergetar.
Tubuhnya tanpa sehelai benang. Dan di sprei putih itu—noda darah kecil tapi jelas, menatap balik seolah menertawakan dirinya.
Seketika jantungnya berdetak tak karuan. Sekelibat ingatan samar muncul di kepalanya. Ia ingat kepedihan malam itu—perselingkuhan Patryk dan Claudia, langkah kakinya yang sempoyongan menuju kelab, lalu sepasang mata tajam milik pria asing, tatapan yang menelusuri tubuhnya tanpa perlu sentuhan.
Dan setelah itu—kabut.
Ia menelan ludah. Rasa takut dan malu berbaur. Tapi bersamaan dengan itu, ada sensasi aneh yang tak bisa dijelaskannya. Ia ingat wangi parfum maskulin yang menempel di kulitnya, hangat napas di tengkuknya, dan tekanan lembut namun berani di pinggangnya.
Dress biru ketatnya tergulung kusut di ujung ranjang. Jaket putihnya terjatuh di lantai. Klara menatapnya lama, dan seolah seluruh kepingan puzzle mulai tersusun.
Di malam ulang tahunnya, ia kehilangan dua hal berharga sekaligus: kekasih, dan kesuciannya.
Tubuhnya bergetar. Ia memungut pakaian dengan gerakan gemetar, lalu berlari ke toilet. Di depan cermin, refleksi dirinya membuat napasnya tercekat.
“Ah, sial …,” desisnya pelan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Namun, waktu tidak memberi belas kasihan. Jika ia tak segera berangkat, pekerjaan pertamanya bisa hilang begitu saja.
Ia mengenakan dress birunya lagi, lalu menutupi sebagian besar tubuh dengan jaket putih panjang. Tidak ada waktu untuk make up, tidak ada tenaga untuk menutupi bekas merah di kulitnya.
**
“Kau mau main, atau mau kerja?”
Suara dingin itu datang dari supervisornya. Klara terlonjak kecil, buru-buru menunduk.
“Maaf, Tuan. Saya baru saja mengalami musibah,” ucapnya dengan nada pelan.
Supervisor itu mengibaskan tangan, menatapnya dengan sinis. “Kau beruntung tidak disuruh pulang. CEO sudah datang. Tapi kalau dia sampai melihatmu dengan penampilan seperti ini, silakan kemasi barangmu.”
Klara terdiam sambil menunduk dalam. Ia mendengar bisik-bisik di sekitar, tatapan rekan-rekannya menusuk seperti jarum.
Seorang di sebelahnya berbisik, “Kalau aku jadi kau, mending sembunyi di toilet.”
Namun Klara tetap di tempatnya. Ia memilih berdiri di pojok ruangan, jauh dari kerumunan.
Suara tepuk tangan menggema. Semua mata beralih ke podium. Klara menatap ke arah panggung—dan tubuhnya langsung membeku.
Adrian Wojcik.
Pria itu berdiri tegap di depan semua orang. Sorot matanya tajam, auranya dingin dan berwibawa.
Namun bagi Klara, pria itu lebih dari sekadar CEO. Ia adalah ayah dari pria yang menghancurkan hidupnya. Dan entah kenapa, setiap kali melihat mata hitam pekat itu, dadanya terasa sesak juga berdebar.
Ia menunduk cepat, tapi tatapan Adrian terlalu kuat untuk dihindari. Ia bisa merasakannya—tatapan itu menelusuri dirinya, mempelajari setiap gerak kecil tubuhnya. Seolah pria itu tahu sesuatu yang seharusnya Klara sembunyikan.
Setelah pidato singkatnya, Adrian turun dari podium. Langkahnya berat, teratur, tapi setiap hentakan sepatu kulitnya menggema seperti dentuman di dada Klara.
Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya, berhenti tepat di hadapan gadis bertudung putih itu.
Sorot mata ruangan mengikuti mereka. Semua orang menatap, menunggu.
Klara menelan ludah keras. Tubuhnya menegang, aroma parfum maskulin yang begitu familiar menguar di udara. Aroma yang sama dengan yang menempel di tubuhnya semalam.
Jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Kukira kau tidak akan datang,” suara itu terdengar rendah, serak, dan begitu dekat hingga bulu kuduk Klara meremang.
Ia mengangkat wajah perlahan—dan pandangannya bertemu dengan mata hitam yang dingin namun berkilat tajam.
“Tu-Tuan Adrian?” suaranya hampir tak keluar.
Tatapan Adrian menelusuri wajahnya, berhenti di leher yang berusaha disembunyikan jaket putihnya. Sekilas, ujung bibir pria itu melengkung samar, nyaris seperti senyum tapi lebih terasa seperti ancaman halus.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya dingin.
Suasana malam yang tadinya tenang di balkon villa itu kini berubah tegang dalam sekejap.Klara masih berdiri di tempat dengan tubuh membeku, mencoba memahami ucapan terakhir Adrian yang terdengar begitu berat.Namun sebelum sempat dia bicara, Adrian bangkit dari duduknya dengan langkah cepat, wajahnya menegang, dan suara telepon masih terdengar samar dari genggamannya.“Siapa?” tanyanya tajam ke arah ponsel, suaranya mengandung nada dingin yang membuat udara seolah ikut menegang. “Apa orang yang selama ini kita curigai?”Di seberang sana, suara Alex terdengar berat. “Ya, sepertinya begitu. James. Pengusaha yang dulu pernah konflik denganmu itu.”Nama itu langsung membuat rahang Adrian mengeras. Ia melangkah ke tepi balkon, menatap langit gelap, lalu mengembuskan napas kasar. “James? Astaga ... kenapa dia lagi?”Alex menjawab dengan nada yang terdengar ragu, “Aku juga heran, Adrian. Bukankah kasusmu dengan dia sudah selesai lima tahun lalu? Waktu itu, dia bahkan menandatangani perjanji
“Tommy, atur meeting dengan Alex tanpa aku. Dua hari ke depan aku off dari semua jadwal,” ucapnya tegas.Klara yang tengah merapikan koper kecilnya menoleh perlahan dengan kening berkerut. Dua hari? Itu bukan waktu yang singkat.Biasanya Adrian tidak bisa jauh dari kantor lebih dari beberapa jam, bahkan saat demam pun dia masih sempat memeriksa laporan.“Aneh,” gumamnya dengan pelan.Tak lama, Adrian menutup panggilannya, lalu meletakkan ponsel di meja dan menatap Klara yang berdiri di sana, menatapnya dengan bingung. Tatapan itu membuatnya tersenyum samar.“Tanyakan saja kalau ada yang ingin ditanyakan,” ujarnya ringan sambil meraih jaket kulitnya.Klara menyilangkan tangan di dada menatap Adrian. “Aku hanya ingin tahu, kita mau ke mana?” tanyanya dengan nada setengah curiga.Adrian tersenyum tanpa menjawab langsung, lalu menepuk lembut pundaknya. “Kejutan. Tapi yang jelas, aku ingin kita berdua saja. Tidak ada panggilan kerja, tidak ada rapat, tidak ada email. Dua hari penuh untuk k
Cahaya matahari menembus tirai jendela yang setengah terbuka, menyentuh wajah seorang pria yang masih terbaring lemas di ranjangnya.Udara pagi bercampur aroma kopi dan roti panggang menyusup lembut ke dalam kamar, memaksa kelopak mata Adrian yang berat untuk perlahan membuka.Ia mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan cahaya yang masuk.Kepalanya terasa berat seperti dipukul benda tumpul, dan tenggorokannya kering seperti padang pasir. Dengan geraman pelan, ia menepuk dahinya sendiri.“Sial …,” gumamnya serak. “Aku pasti mabuk berat semalam.”Ia menegakkan tubuh perlahan dan mengusap wajah dengan kedua tangannya, lalu menarik napas dalam.Di sela pening yang masih menggantung, hidungnya menangkap aroma yang begitu familiar, aroma masakan rumahan, hangat dan menenangkan.Dahi Adrian berkerut. Siapa yang masak di apartemenku pagi-pagi begini?Ia menurunkan kakinya dari ranjang, lalu melangkah gontai keluar kamar.Setiap langkah terdengar berat dan malas, hing
Lampu-lampu kota berpendar di balik kaca mobil yang melaju pelan di antara gerimis tipis malam itu.Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang samar menembus kabin.Dari kursi belakang, Alex mendengar suara berat, parau, dan berantakan—suara yang sudah terlalu sering ia dengar dalam keadaan seperti ini.“Kla ... ra ….” Adrian bergumam, nadanya lirih namun penuh kerinduan yang menyayat.Alex menatapnya dari kaca spion lalu menggeleng lemah. “Astaga, Adrian. Kau benar-benar tidak berubah. Setiap kali jatuh cinta, kau seperti orang kehilangan akal.”Di kursi belakang, Adrian bersandar dengan mata setengah terbuka. Dasi di lehernya terlepas, kemejanya kusut, dan aroma alkohol begitu kuat memenuhi udara. Matanya yang merah menatap kosong ke luar jendela.“Kau tahu, Alex ... dia itu ... luar biasa,” ucap Adrian dengan suara serak, nyaris seperti gumaman. “Klara ... dia ... seperti cahaya di hidupku. Tapi kenapa ... dia masih ragu padaku?”Alex menghela napas berat sambil mena
Waktu sudah menunjuk angka lima sore ketika Klara tiba di rumah sang mama—Alana.Klara menatap sekeliling rumah yang sudah lama tak ia kunjungi. Aroma khas kayu tua dan wangi melati dari vas di meja mengingatkannya pada masa kecilnya. Suara langkah kaki membuatnya menoleh.“Klara?” suara lembut itu terdengar begitu akrab disertai sedikit nada tak percaya.Klara berbalik. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita yang tengah menatapnya penuh haru.“Mama,” ucap Klara pelan sebelum bibir Alana tertarik dalam senyum yang penuh rindu.Alana melangkah cepat, memeluk putrinya dengan erat. “Akhirnya kau pulang juga, Nak. Mama pikir kau benar-benar sudah melupakan rumah ini.”Klara terkekeh kecil sambil membalas pelukan itu. “Aku hanya butuh waktu, Ma.”“Waktu untuk apa?” tanya Alana sambil menatap wajah Klara dengan penuh keingintahuan. “Waktu untuk sembuh, atau waktu untuk lari dari sesuatu?”Klara menghela napas kasar. “Mungkin dua-duanya.”Mereka lalu duduk di ruang tamu. Alana menuangkan te
Pagi itu, langit kota tampak cerah dan menyilaukan, tapi suasana hati Klara justru mendung.Di tangannya tergenggam segelas kopi panas yang sudah dingin sebelum sempat dihabiskan.Langkahnya melangkah menyusuri koridor Wijck Group dengan pandangan kosong, melewati barisan karyawan yang sibuk dengan rutinitas mereka masing-masing.Sudah tiga hari Adrian tak memberi kabar apa pun sejak panggilan terakhir mereka. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, bahkan tanda-tanda keberadaannya pun lenyap.Ia hanya menerima kabar dari Alex bahwa Adrian masih di luar negeri mengurus proyek yang bermasalah. Tapi, rasa rindu dan cemas yang menumpuk di dada Klara tak bisa ia redam begitu saja.Namun, langkahnya mendadak terhenti.Sosok tinggi dengan setelan jas gelap itu baru saja keluar dari ruang meeting bersama beberapa petinggi perusahaan.Senyum tipis terlukis di wajah pria itu—senyum yang selama ini membuat jantung Klara berdetak tak beraturan. Adrian Wijck.Ia sudah pulang.Tapi, kenapa pria itu bi







