Beranda / Romansa / Tergoda Hasrat Ayah Mantanku / Bab 2: Ada yang Ingin Adrian Bicarakan

Share

Bab 2: Ada yang Ingin Adrian Bicarakan

Penulis: Salwa Maulidya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-08 15:29:19

“Tuan Patryk dan Nona Claudia sudah menjalin hubungan gelap di belakang Nona Klara dua bulan yang lalu. Mereka sering pergi ke pesta berdua, belanja ke mall, bahkan check-in ke hotel.”

Tommy—asisten pribadi Adrian—mengirim beberapa dokumen hasil tangkapannya. Di layar tablet yang dia buka, beberapa foto memperlihatkan Patryk dan Claudia sedang berpelukan, berciuman, dan tertawa tanpa beban di sebuah restoran mewah.

Adrian mengerutkan keningnya. Rahangnya mengeras, matanya menyipit ketika menatap foto-foto itu lama. “Kasihan sekali gadis itu,” desisnya dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dingin.

“Dikhianati oleh anakku sendiri. Dan parahnya, di malam ulang tahunnya.”

Ia memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh di kursi kulitnya.

Namun, jauh di balik nada suaranya yang datar, ada sesuatu yang samar—campuran antara rasa iba dan amarah yang nyaris meledak.

**

Menjelang pukul delapan pagi, Klara terbangun dengan kepala berat seolah habis dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa remuk, seperti dihantam badai. Ia menggeliat, lalu meringis keras.

“Ah—sial …,” gumamnya pelan sambil memegangi perut bagian bawah.

Rasa ngilu menjalar dari pangkal paha hingga ke perut bawah. Napasnya pendek-pendek, seolah setiap hembusan udara terasa menyakitkan. Ia menyingkap selimut dan detik berikutnya matanya membulat lebar.

“Tidak! Bagaimana bisa?!” bisiknya dengan suara bergetar.

Tubuhnya tanpa sehelai benang. Dan di sprei putih itu—noda darah kecil tapi jelas, menatap balik seolah menertawakan dirinya.

Seketika jantungnya berdetak tak karuan. Sekelibat ingatan samar muncul di kepalanya. Ia ingat kepedihan malam itu—perselingkuhan Patryk dan Claudia, langkah kakinya yang sempoyongan menuju kelab, lalu sepasang mata tajam milik pria asing, tatapan yang menelusuri tubuhnya tanpa perlu sentuhan.

Dan setelah itu—kabut.

Ia menelan ludah. Rasa takut dan malu berbaur. Tapi bersamaan dengan itu, ada sensasi aneh yang tak bisa dijelaskannya. Ia ingat wangi parfum maskulin yang menempel di kulitnya, hangat napas di tengkuknya, dan tekanan lembut namun berani di pinggangnya.

Dress biru ketatnya tergulung kusut di ujung ranjang. Jaket putihnya terjatuh di lantai. Klara menatapnya lama, dan seolah seluruh kepingan puzzle mulai tersusun.

Di malam ulang tahunnya, ia kehilangan dua hal berharga sekaligus: kekasih, dan kesuciannya.

Tubuhnya bergetar. Ia memungut pakaian dengan gerakan gemetar, lalu berlari ke toilet. Di depan cermin, refleksi dirinya membuat napasnya tercekat.

Tanda-tanda merah di kulitnya masih terlihat—jejak samar di bahu, di dada, dan di pangkal leher.

“Ah, sial …,” desisnya pelan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Namun, waktu tidak memberi belas kasihan. Jika ia tak segera berangkat, pekerjaan pertamanya bisa hilang begitu saja.

Ia mengenakan dress birunya lagi, lalu menutupi sebagian besar tubuh dengan jaket putih panjang. Tidak ada waktu untuk make up, tidak ada tenaga untuk menutupi bekas merah di kulitnya.

**

“Kau mau main, atau mau kerja?”

Suara dingin itu datang dari supervisornya. Klara terlonjak kecil, buru-buru menunduk.

“Maaf, Tuan. Saya baru saja mengalami musibah,” ucapnya dengan nada pelan.

Supervisor itu mengibaskan tangan, menatapnya dengan sinis. “Kau beruntung tidak disuruh pulang. CEO sudah datang. Tapi kalau dia sampai melihatmu dengan penampilan seperti ini, silakan kemasi barangmu.”

Klara terdiam sambil menunduk dalam. Ia mendengar bisik-bisik di sekitar, tatapan rekan-rekannya menusuk seperti jarum.

Seorang di sebelahnya berbisik, “Kalau aku jadi kau, mending sembunyi di toilet.”

Namun Klara tetap di tempatnya. Ia memilih berdiri di pojok ruangan, jauh dari kerumunan.

Suara tepuk tangan menggema. Semua mata beralih ke podium. Klara menatap ke arah panggung—dan tubuhnya langsung membeku.

Adrian Wojcik.

Pria itu berdiri tegap di depan semua orang. Sorot matanya tajam, auranya dingin dan berwibawa.

Namun bagi Klara, pria itu lebih dari sekadar CEO. Ia adalah ayah dari pria yang menghancurkan hidupnya. Dan entah kenapa, setiap kali melihat mata hitam pekat itu, dadanya terasa sesak juga berdebar.

Ia menunduk cepat, tapi tatapan Adrian terlalu kuat untuk dihindari. Ia bisa merasakannya—tatapan itu menelusuri dirinya, mempelajari setiap gerak kecil tubuhnya. Seolah pria itu tahu sesuatu yang seharusnya Klara sembunyikan.

Setelah pidato singkatnya, Adrian turun dari podium. Langkahnya berat, teratur, tapi setiap hentakan sepatu kulitnya menggema seperti dentuman di dada Klara.

Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya, berhenti tepat di hadapan gadis bertudung putih itu.

Sorot mata ruangan mengikuti mereka. Semua orang menatap, menunggu.

Klara menelan ludah keras. Tubuhnya menegang, aroma parfum maskulin yang begitu familiar menguar di udara. Aroma yang sama dengan yang menempel di tubuhnya semalam.

Jantungnya seakan berhenti berdetak.

“Kukira kau tidak akan datang,” suara itu terdengar rendah, serak, dan begitu dekat hingga bulu kuduk Klara meremang.

Ia mengangkat wajah perlahan—dan pandangannya bertemu dengan mata hitam yang dingin namun berkilat tajam.

“Tu-Tuan Adrian?” suaranya hampir tak keluar.

Tatapan Adrian menelusuri wajahnya, berhenti di leher yang berusaha disembunyikan jaket putihnya. Sekilas, ujung bibir pria itu melengkung samar, nyaris seperti senyum tapi lebih terasa seperti ancaman halus.

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya dingin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Dunia sempit ya, ternyata CEO nya di tempat kerja klara itu Adrian, pria semalam yg bersama klara
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
wah ternyata Klara kerja di perusahaan nya bapaknya si mantan
goodnovel comment avatar
Icha Qazara Putri
Jangan benci Adrian Kla, yang brengsek kan anaknya bukan bapak nya.. eh sama ding dia yang udah ngambil kesucian mu juga wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Tergoda Hasrat Ayah Mantanku   Harus Menemui James

    Ruang kerja itu dipenuhi cahaya temaram dari lampu meja ketika Klara berdiri di ambang pintu.Langkahnya terhenti begitu matanya menangkap satu pemandangan yang membuat jantungnya seakan jatuh ke perut.Adrian sedang berdiri di depan meja kerjanya dengan laci terbuka, dan di tangannya sebuah pistol hitam mengilap yang selama ini tak pernah ia lihat dikeluarkan.Klara menelan salivanya. Tenggorokannya terasa kering.Adrian memiringkan badan sedikit, fokusnya tertuju pada pistol itu. Dengan gerakan tenang namun penuh presisi, ia mengisi amunisi satu per satu. Bunyi logam beradu terdengar jelas di ruangan yang sunyi, terdengar jauh lebih keras di telinga Klara.“Adrian …,” panggilnya dengan suara yang terdengar lirih dan nyaris bergetar. Ia melangkah mendekat, meski setiap langkah terasa berat. “Kau mau pergi ke mana?” tanyanya ingin tahu.Adrian menoleh sekilas ke arahnya, wajahnya dingin, rahangnya mengeras. Tangannya tetap sibuk dengan pistol itu. “Menemui James.”Jawaban itu seperti

  • Tergoda Hasrat Ayah Mantanku   Pemburuan telah Berakhir

    “Argghh! Sial! Berengsek!” teriak James.Ruangan sempit itu bergema oleh suara benda-benda yang dibanting dengan brutal. Sebuah televisi tua terlempar ke lantai, pecahannya berserakan.Kursi kayu dibalikkan, meja kecil dihantam hingga bergeser kasar. James berdiri di tengah ruangan dengan napas memburu, dadanya naik turun tajam, matanya merah oleh amarah yang tak lagi bisa ia kendalikan.Di layar ponsel yang kini tergeletak di lantai, berita itu masih terbuka.PATRYK ANDREAS DIHUKUM PENJARA SEUMUR HIDUP.James menggeram. Tangannya mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. “Sialan kau, Adrian Wijck!” bentaknya penuh kebencian, seolah pria itu berdiri tepat di hadapannya.Ia meraih botol kosong dan melemparkannya ke dinding. Botol itu pecah dan membuat cairan sisa di dalamnya mengalir di lantai. James tidak peduli. Amarahnya terlalu besar untuk diwadahi oleh ruang sekecil ini.“Bodoh!” teriaknya lagi, kali ini bukan hanya pada Adrian, tetapi juga pada Patryk. “Kau seharusnya lebi

  • Tergoda Hasrat Ayah Mantanku   Sidang Putusan Patryk

    Dua minggu berlalu sejak penangkapan Patryk, dan pagi itu gedung pengadilan tampak lebih ramai dari biasanya.Wartawan berkumpul di luar, kamera berderet, sorot lampu kilat sesekali menyala.Nama keluarga Wijck kembali menjadi pusat perhatian, kali ini bukan karena bisnis atau pernikahan mewah, melainkan karena sidang yang sejak awal sudah menyedot atensi publik.Adrian datang tepat waktu, mengenakan setelan hitam sederhana. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam.Di sampingnya, Alex berjalan dengan langkah mantap, sesekali melirik ke sekeliling memastikan tidak ada hal mencurigakan.Adrian tidak membawa Klara, sebuah keputusan yang ia buat dengan tegas. Ia tidak ingin istrinya berada di ruang sidang apalagi mendengar kembali detail-detail kejam yang pernah hampir merenggut nyawa dan masa depan mereka.Mereka masuk ke ruang sidang dan duduk di bangku pengunjung. Adrian menyerahkan seluruh urusan hukum pada kuasa hukumnya.Hari ini, ia hanya perlu hadir menyaksikan keadilan bekerja

  • Tergoda Hasrat Ayah Mantanku   Godaan Klara yang Membuat Adrian Menggila

    Malam kian larut ketika Klara melangkah pelan menuju ruang kerja Adrian. Lampu di dalam ruangan itu masih menyala, memantulkan cahaya hangat ke lorong yang sepi.Dari balik pintu yang setengah terbuka, ia melihat suaminya masih duduk di balik meja kerja, dikelilingi berkas-berkas dan layar laptop yang menyala.Wajah Adrian tampak serius, rahangnya mengeras, alisnya sedikit berkerut, tanda bahwa pikirannya masih tenggelam dalam urusan yang belum selesai.“Kau belum tidur?” tanya Adrian tanpa menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang.Klara tersenyum kecil. “Kau juga belum,” balasnya sambil melangkah masuk.Adrian menghela napas dan akhirnya menatap istrinya. “Tidurlah dulu. Jangan menungguku. Aku masih harus menyelesaikan ini, Sayang.”Alih-alih menuruti, Klara justru mendekat. Tanpa banyak kata, ia duduk di pangkuan Adrian hingga membuat pria itu refleks menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard.Klara melingkarkan kedua lengannya di leher Adrian, dan wajah mereka kini berjar

  • Tergoda Hasrat Ayah Mantanku   Menyewa Dekektif Rahasia

    Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam ketika rumah itu kembali sunyi. Lampu-lampu di lantai bawah telah dipadamkan, hanya menyisakan cahaya redup dari ruang kerja Adrian di lantai dua.Di ruangan itu, suasana terasa dingin dan tegang, kontras dengan ketenangan malam di luar jendela.Adrian berdiri menghadap meja kerjanya, jas sudah dilepas, kemeja bagian atas terbuka satu kancing. Wajahnya keras, sorot matanya tajam.Di layar laptop yang terbuka, tertera berkas-berkas lama—nama, foto, dan potongan informasi yang tersisa tentang satu orang yang belum juga tertangkap.James Andreas.Adrian mengangkat ponselnya, menekan satu nomor yang hanya ia gunakan dalam keadaan mendesak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.“Kalau ini bukan urusan besar, kau akan menyesal menghubungiku jam segini,” suara di seberang terdengar serak dan santai, seolah waktu tidak pernah berarti baginya.“Hunter,” sapa Adrian datar. “Aku butuh jasamu.”Terdengar dengusan kecil. “Kau tahu

  • Tergoda Hasrat Ayah Mantanku   Aku akan Atur

    Sore itu, ruang kerja Adrian terasa sunyi meski hiruk-pikuk kota terlihat jelas dari balik dinding kaca besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit.Di meja kerjanya yang rapi, sebuah map hitam terbuka. Di dalamnya tergeletak akta perusahaan yang baru saja selesai direvisi, sebuah dokumen legal yang menandai berakhirnya satu babak panjang dalam konflik keluarga Wijck.Adrian menatap lembar demi lembar akta itu dengan saksama. Namanya tercetak tegas sebagai pemegang kendali penuh. Tidak ada lagi nama Patryk. Tidak ada jejak keluarga Andreas di sana. Semua sudah bersih.Setidaknya di atas kertas.Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, kebiasaan kecil yang muncul setiap kali ia berpikir terlalu dalam.Ia menghembuskan napas panjang, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Perasaan lega sempat menyelinap, namun tidak pernah benar-benar menetap. Adrian tahu, kemenangan ini belum utuh.“Akhirnya,” ucap Alex dari seberang meja, memecah keheningan. “Secara hukum, mereka sudah tidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status