Pukul tiga sore dan Garasi Eyang sedang penuh-penuhnya oleh pengunjung. Marlo baru saja melirik jam Rolex yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Seperti sebelum-sebelumnya, sejak kembali pindah ke Bandung, dia memutuskan menjaga toko barang antik milik Ayahnya itu. Dulu Garasi Eyang memang sekadar rumah kecil yang disulap menjadi toko barang-barang antik.
Sekitar lima tahun terakhir, tepatnya saat toko kian dipenuhi pengunjung, Berta membuat space khusus yang sengaja disediakan untuk para pengunjung. Dia juga menjual berbagai menu makanan dan minuman yang dimasak sendiri olehnya. Berta, Marlo menyebutnya dengan nama itu. Bukannya tidak mau terima, tetapi baginya sapaan ‘Ibu’ hanya untuk Ibu. Sedangkan Berta bukanlah seorang ibu baginya. Hanya teman pendamping hidup yang baru untuk Ayah.
Dekorasi dinding Garasi Eyang layaknya rumah yang ditempeli banyak pajangan zaman dulu. Mulai dari plang-plang iklan yang rilis di tahun 80-an, berbagai jam dinding klasik, berbagai macam lukisan, hingga ukiran-ukiran kayu yang berbentuk etnik. Barang-barang antik seperti telepon, toples-toples, aneka macam gelas, dan buku-buku dijajarkan rapi di rak-rak khusus yang tersebar di berbagai ruangan. Ada empat set meja dan kursi dengan rangka pipa besi yang tidak kalah menarik perhatian.
“Jadi ini berapa net-nya?” Seorang pengunjung berusia lanjut, mengelus-ngelus vintage rotary phone berwarna abu-abu di hadapannya. Kumis dan rambutnya telah memutih, tetapi tubuhnya masih terlihat gagah untuk seusianya.
Marlo mengetuk-ngetuk meja di sampingnya dengan jari telunjuk. Berulang-ulang tanpa menjawab.
“Ayolah. Ini buatan Jepang, kan?” Pria itu masih mengelus barang incarannya.
Marlo melirik ke arah Ayah yang sejak tadi berdiri di sudut meja kasir. Menatapnya tanpa ekspresi khusus. “Sudah pas. Ya, ini ori Jepang dan masih bisa dipakai kalau memang Anda mau.”
“Hmmm...”
“Karena kalau saya lepas di bawah patokan harga, Ayah saya akan menangis. Semua benda-benda di sini begitu berharga baginya. Bahkan lebih berharga dari diri saya. Bukan begitu, Yah?” Marlo melambaikan tangan pada Ayah.
Ayah mengangguk. “Sudah, itu sudah harga yang pas sekali. Di mana lagi Anda dapat menemukannya?”
Pria itu diam, memandangi telepon klasik dan masih terus mengelus. Elusan itu semakin lembut. Seolah benda itu merupakan anak kucing lucu yang butuh kasih sayang. “Oke, saya ambil.”
Marlo mengacungkan jempol dan membawa benda itu segera ke meja kasir. Membiarkan Ayah yang mengurus sisanya. Dia kembali ke sudut ruangan favoritnya. Sudut dengan sebuah kursi ujian lawas yang kayunya telah dicat ulang. Di sampingnya terdapat meja yang tidak kalah lawas. Terdapat sebuah radio tua dan lampu meja yang luarnya sudah berkarat diletakan di atas. Dia mengeluarkan ponsel.
Ailaa Leswara: Baik, kamu apa kabar?
Kacau. Rasa itu muncul saat melihat nama Ailaa di ponsel untuk pertama kali setelah sekian lama tidak pernah berkomunikasi. Hari ini rasa itu kian menyelimuti. Bagaimana caranya untuk menghindar? Mengapa harus menghindar? Marlo menatap ponselnya. Ada dua pertanyaan yang bergelayut berbarengan. Pertanyaan yang bertolak belakang.
Marlo masih dapat mengingat kapan terakhir kali bertemu dengan Ailaa dan kapan pertama kali dia memutuskan untuk menjauhi gadis itu.
Rasa bersalah kian mencuat ketika mengingat semuanya. Marlo menganggap dirinya gagal total menjadi seseorang yang tepat bagi Ailaa saat itu, bahkan sampai saat ini. Ditambah keputusannya untuk menjauhi Ailaa dan meninggalkannya. Kembali, dia membuka aplikasi dalam ponselnya, membuka kontak Ailaa, dan memandangi profil picture gadis itu.
I’ve miss you, Ail, but what should I do?
Melewati pagi bersama Jo menjadi satu hal yang selama ini Ailaa rindukan. Dengan kesibukan yang sedang dijalani Jo, juga perubahan sikapnya yang semakin cuek, membuat Ailaa sedikit tidak percaya dengan pemandangan di pagi ini. Ailaa membuka gorden untuk membuat cahaya matahari di jam setengah delapan pagi masuk ke kamar.Bukan untuk pertama kali, tetapi menghabiskan malam bersama Jo adalah bagian dari ‘keistimewaan’ dari memiliki laki-laki itu seutuhnya. Tidak hanya berhubungan badan, menyatukan tubuh mereka satu sama lain, tetapi menyadari keberadaan Jo ada di sampingnya sepanjang malam menjadi hal yang semakin jarang ia rasakan.Jo masih tertidur dan sama sekali tidak memberi respon ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ailaa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, bersih-bersih. Dia memilih pakaian terbaiknya yang sudah ia bawa sejak kemarin,
Hari sudah berganti, tapi Ailaa tidak bisa juga tidur. Dia masih bisa merasakan emosi kepada Marlo, mengingat bagaimana permintaan maaf itu keluar dari mulutnya. Mengapa semudah itu? Ailaa bertanya pada langit-langit kamar. Gelapnya ruang kamar membuatnya semakin mudah melihat langit-langit kamar yang tampak lebih terang karena cahaya yang menembus dari luar. "Dia pergi gitu aja tanpa kabar, empat tahun menghilang, dan sekarang dia dengan mudahnya bilang maaf?" Ucap Ailaa dengan volume suara terkecil yang ia punya. Air matanya kembali mengalir. Baik perpisahan, maupun pertemuan kembali dengan Marlo sama-sama memberinya rasa sakit yang sulit untik dijelaskan. Ailaa mengambil ponsel dari bawah bantal. Jonathan Rahadi: Cepat membaik ya, kalau masih nggak enak badan, minum obat. Jangan dientar-entarin.
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema