Share

Rasa Rindu

Marlo selalu rindu dengan rumah. Dengan nada berat suara Ayah, aroma cengkeh setiap pagi dan sore dari gelas Ayah, lagu-lagu nyaring dari vinyl yang diputar, dan hal-hal sederhana yang mengingatkan akan identitas. Empat tahun lalu, Marlo memutuskan pergi meninggalkan Bandung. Empat tahun itu pula dia berusaha menahan rasa rindunya akan rumah.

Marlo memandangi Berta dari balik rak buku yang menjadi pembatas antara ruang televisi dan meja makan. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut panjang ikal alami itu sedang menata makan malam. Sudah hampir enam tahun pemandangan itu dapat disaksikan setiap malamnya. Berta menyukai dunia masak dan masakannya selalu berhasil membuat Marlo terkagum. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuatnya tidak ingin terlalu mengagumi itu.

Masakan Ibu. Marlo masih menjadikan masakan Ibu sebagai menu makanan paling lezat sedunia. Walau tidak selezat buatan Berta, walau terkadang gosong atau juga gagal. Mungkin kalau masih ada Ibu, Marlo sejak tadi sudah sibuk mondar-mandir di dapur, meminta Ibu menyelesaikan masakannya secepat kilat karena tidak sabar. Atau setidaknya memandangi Ibu dari tempatnya berdiri sekarang sambil mengajak ngobrol.

But everything was gone. She is Berta, not Ibu.

Marlo menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk duduk di salah satu sofa berkulit sintetis di ruang televisi, menyandarkan tubuh, memandangi langit-langit ruangan yang salah satu sudutnya kusam karena rembesan air hujan yang bocor. Membuatnya sadar bahwa lampu antik yang tergantung di sana sudah berganti bentuk dan entah sejak kapan. Banyak yang berubah semenjak Ibu tidak lagi di rumah dan pergi untuk selamanya. Mulai dari desain interior rumah, hingga suasana yang tidak pernah dapat dirasakannya lagi.

“Makan malam udah siap nih.” Berta setengah berteriak. Dia mendatangi Marlo, tangannya sibuk mengelap satu tangan lainnya dengan kain lap bergantian. “Kayaknya Ayah masih di ruang kerjanya ya? Ibu ke ruangan Ayah dulu ya. Kamu sana cepat ke meja makan.”

Dengan cepat Berta menghilang, naik ke lantai dua untuk menghampiri Ayah dan mengajaknya makan malam. Marlo memerhatikan langkahnya yang lincah. Tidak heran karena Berta masih muda, jauh lebih muda dari usia Ayah dan Marlo benci itu. Mungkin kalau yang tidak betul-betul mengenal keluarga mereka, Berta akan dicap sebagai kakak tertua Marlo dibandingkan seorang ibu atau juga istri dari Ayah. Fakta yang menyakitkan.

Marlo bangkit berdiri, pergi ke meja makan, dan duduk di salah satu bangku. Bangku yang biasa dia tempati.

Tidak lama Ayah dan Berta turun dari tangga dan duduk di masing-masing bangku. Berta mengulas senyum, mengambil secentong nasi dari wadah Pirex, memindahkannya pada piring Ayah. Lalu dia mengambil piring yang ada tepat di hadapan Marlo, melakukan gerakan yang sama. Gerakan itu tidak asing bagi Marlo Sangat tidak asing dan membuat hatinya bergetar saat membayangkan siapa yang dulu melakukannya secara rutin. Siapa pemilik bangku yang diduduki Berta sebelumnya.

Sudah bertahun-tahun dan tetap saja.

Marlo bergumam dalam hati. Tidak tahu sampai kapan dia dapat menerima perubahan ini semua. Bahkan empat tahun masih tidak cukup untuk menerima perubahan dalam hidupnya. Kehadiran Berta, yang datang setelah setahun kepergian Ibu. Ayah yang terlihat bahagia dengan semua perubahan. Sementara dia, merasa seperti anak laki-laki kecil yang kehilangan setengah hidupnya tanoa tahu harus berbuat apa.

“Jadi, apa rencana kamu selanjutnya?” Ayah menusuk daging asap dengan garpu. “Pergi ke Bali empat tahun lamanya tanpa pulang sekali pun.”

“Mas, Marlo baru aja balik, belum satu minggu, udah ditanyai macam-macam. Dia pasti pengin lama-lama di rumah. Kamu kangen rumah pastinya, kan?” Berta melirik Marlo sambil memainkan sendok dan garpu di tangannya.

Pandangan mata Marlo tertuju pada piring berisi nasi dengan lauk-pauk yang baru saja dia ambil. “Iya.”

“Tuh, biarin Marlo puasin dulu di rumah sama main di Garasi Eyang.” Tarikan senyum Berta lebih tinggi dari sebelumnya.

“Tapi kamu laki-laki, tidak bisa kalau diam di rumah terus. Kamu di Bali bukan main saja, kan? Belajar seni empat tahun bukan waktu yang sebentar. Jangan ditunda-tunda.”

Marlo mempercepat gerakan tangannya, secepatnya menghabiskan menu makan malam. Kini pandangan tertuju pada wajah Ayah. “Ya, tenang, Yah. Sabar dulu.”

“Sabar gimana?”

“Udah ah, Mas. Makan dulu aja.”

Dengan rasa senang karena berhasil menghabiskan menu makan malam, Marlo memasukan suapan terakhir ke mulutnya. Tangannya menggenggam gelas berisi air, lalu mendorong kursi ke arah belakang. “Saya udah selesai. Makasih makan malamnya.”

Dia berdiri dan membawa gelas itu. Menengguk air yang ada di dalamnya sambil menaiki tangga, pergi ke kamarnya diiringi omelan Ayah yang sengaja tidak dia dengar. Marlo membanting tubuh ke atas kasur setelah menaruh gelas di atas meja. Lagi-lagi dia memandang pemandangan yang hampir sama. Langit-langit kamar.

Jadi apa rencana kamu selanjutnya? Marlo mengulang pertanyaan itu dalam hati. Semacam pulang ke rumah adalah sebuah bentuk penyelesaian rencana awal dan bersiap menjalani rencana yang baru.

I just wanna go home. May I? Apa nggak boleh rindu dengan rumah sendiri? Rindu bertemu kembali dengan hal-hal yang telah ditinggalkan dalam waktu yang tidak sebentar. I miss Ibu. I miss my disordered room. I miss my old friends. I miss Bandung. And....

Marlo menelan ludah. Dia memejamkan mata dan bayangan seseorang muncul dengan sangat jelas.

"Ailaa...." Seketika aroma khas tubuh cewek itu muncul di ingatan. Senyum kikuknya dan tatapannya yang mendalam. "Ailaa, apa boleh aku rindu? Apa pantas?" Marlo memejamkan matanya lebih dalam, mencoba menghapus bayangan dan perasaan yang seharusnya tidak lagi ia rasakan. Rindu itu datang dibarengi rasa bersalah yang sulit untuk ia jelaskan.

Marlo membuka matanya saat pikirannya membawa pada sebuah ingatan. Ia bangkit, membuka laci pada lemari. Tangannya sibuk mencari dan meraba isi laci.

Ketemu! Marlo berteriak dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status