Aku tidak bisa terus berdiam diri di rumah. Hujan deras masih mengguyur, menyisakan genangan air di halaman, tapi aku tidak peduli. Jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi, dan belum ada kabar tentang keberadaan Mama Siska. Hatiku seperti diremas-remas, setiap detik tanpa kabar terasa seperti pisau yang menikam.Nayla tertidur di sofa ruang tengah, wajahnya masih basah oleh air mata, tubuhnya meringkuk dalam selimut. Tadi malam dia menangis hingga kehabisan tenaga, memanggil-manggil nama Mama Siska dengan suara yang memilukan. Aku tidak sanggup melihatnya seperti itu, tapi aku juga tidak bisa tinggal diam. Aku harus menemukan Mama Siska, apa pun risikonya.Aku mengambil kunci motor, mengenakan jaket, dan melangkah ke pintu. Di luar, Mas Bambang dan Supri sedang berada di ruangan mereka, sementara Mas Tejo duduk di kursi teras, berjaga dengan wajah tegang.Mas Tejo langsung berdiri, “Mas Raka, mau ke mana? Biar saya antar,” kata Tejo saat melihatku bersiap.“Gak usah, Mas. Saya per
Aku terbangun tengah malam dengan perasaan gelisah yang tak kunjung reda. Hujan di luar masih mengguyur, menambah dingin yang menusuk tulang. Pikiranku dipenuhi kekhawatiran tentang Mama Siska dan Nayla, apalagi setelah kabar dari Pak Hendra bahwa Bayu membawa senjata. Aku mencoba menenangkan diri, tapi tiba-tiba ponselku bergetar.Pesan dari nomor tak dikenal:[Kau ingkar janji, Raka. Berani-beraninya melaporkan aku ke polisi. Lihat saja, aku pastikan hidupmu tidak tenang, termasuk Siska dan Nayla]Jantungku seperti berhenti. Itu pasti Bayu. Dia tahu polisi sedang mengejarnya dan mengira akulah yang melaporkannya. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tidak bisa tinggal diam di kamar. Aku harus melindungi Mama Siska dan Nayla. Dengan cepat, aku mengambil bantal dan selimut, lalu pergi ke ruang tengah untuk tidur di sofa. Setidaknya, jika ada apa-apa, aku bisa segera bertindak.Aku terlelap dalam tidur yang gelisah, tapi tiba-tiba suara gaduh memecah keheningan—seperti sesuatu b
Aku mengikuti saran Pak Budi untuk tidak langsung pulang, menunggu kabar lebih lanjut dari anak buahnya. Di lorong pengadilan yang sepi, aku berusaha menenangkan diri, tapi tiba-tiba Tiara menghampiriku.Wajahnya pucat, matanya memohon. “Raka, tolong batalkan perceraian ini. Aku janji akan berubah, aku akan jadi istri yang baik. Aku masih mencintaimu,” katanya, suaranya gemetar.Aku menatapnya dingin, kemarahan yang lama terpendam kembali membuncah. “Tiara, aku sudah tidak percaya sama kamu. Bukti perselingkuhanmu dengan Alex sudah jelas. Kamu pikir aku bodoh? Dari awal kamu hanya memanfaatkanku saja!” Aku tidak bisa menahan nada tinggi di suaraku. Matanya mulai berkaca-kaca, "Itu semua tidak benar, aku sangat mencintaimu, hanya kamu satu-satunya orang yang aku cintai." dia semakin mendekatiku, aku berusaha menjauhinya. "Aku telah di jebak Alex, Raka! Selama ini dia hanya mempermainkanku saja, kamu sudah salah paham."Kata-katanya semakin membuatku naik darah, "Cukup! Aku tidak mau m
Setelah beberapa jam tertidur, aku terbangun lalu aku kembali ke kamarku dan kembali memakai pakaianku. Tapi bajuku kotor oleh cairan kenikmatanku, jadi aku hanya memakai celana pendek saja. Setelah berada di dalam kamar, aku memakai kaos baru lalu berbaring di atas kasur, dan melanjutkan tidur dengan hati yang sedikit lebih ringan.Pagi harinya, aku terbangun dengan perasaan tidak tenang. Sidang perceraian pertama dengan Tiara akan berlangsung hari ini, dan pikiranku dipenuhi kekhawatiran. Anak buah Alicia akan menjemputku pukul sembilan, sementara Bambang, Tejo, dan Supri tetap menjaga rumah. Nayla ada jadwal kuliah pagi ini, dan Mama Siska akan ke bank siang nanti untuk mengambil uang dari pekerjaan freelancenya.Meski rumah akan dijaga, aku tetap khawatir. "Ma, nanti ke bank, di antar sama mereka bertiga saja ya, gak apa-apa rumah gak usah di jaga."Mama Siska malah tertawa, “Raka, banknya dekat kok. Mama pasti aman, nanti di antar oleh salah satu dari mereka saja jangan ketiganya
Tengah malam, aku terbangun karena hujan yang masih mengguyur di luar. Cuaca dingin membuatku merinding, jadi aku keluar kamar menuju dapur untuk membuat kopi. Aroma kopi hitam yang kuseduh perlahan menghangatkan tubuhku. Saat aku sedang menyeruput kopi, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku tersentak, hampir menjatuhkan cangkir. Ternyata Mama Siska.“Raka, kenapa belum tidur?” tanyanya, suaranya lembut tapi wajahnya terlihat gelisah.“Terbangun, Ma. Cuacanya dingin, jadi bikin kopi dulu,” jawabku, lalu balik bertanya, “Mama kenapa belum tidur?”Mama Siska menghela napas, duduk di kursi dapur. “Mama mimpi buruk, Raka. Wajahku rasanya masih pucat gara-gara mimpi itu.” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Mimpi tentang Mas Bayu. Dia memukuli Mama, dan Nayla coba melerai, tapi justru Nayla yang kena pukul. Lalu kamu datang, menyelamatkan kami, lalu kamu dan Mas Bayu berkelahi. Mama takut sekali. Bagaimana kalau dia benar-benar datang?"Aku melihat ketakutan di matanya.Aku berdiri
Setelah soto ayam matang, kami duduk bersama di meja makan untuk sarapan. Aroma kuah yang hangat dan segar sedikit meredakan kegelisahanku.Mama Siska menatapku dengan perhatian. “Raka, kepalamu sudah benar-benar sembuh, kan? Tidak terasa sakit lagi?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran.“Sudah, Ma. Benar-benar sudah sembuh, tenang saja,” jawabku sambil tersenyum, berusaha meyakinkannya.Nayla, yang sedang asyik menyendok soto, tiba-tiba bertanya, “Tadi di kantor gimana, Bang? Beres, kan?” Pagi tadi, aku memang bilang pada mereka bahwa aku ke kantor sebentar untuk urusan pekerjaan.“Sudah beres, Nay. Cuma kirim file ke klien, kok,” kataku, berusaha terdengar santai meski kebohongan itu kembali menggerogoti hatiku.Mama Siska dan Nayla tidak tahu soal perjanjianku dengan Bayu, apalagi soal uang 500 juta yang kuserahkan tadi pagi. Mereka hanya tahu bahwa Bayu tidak akan mengganggu lagi karena aku mengancam akan melaporkannya ke polisi. Aku sengaja menyembunyikan kebenaran