Aku tertawa, pura-pura kesal. “Kamu anak TK, jangan rewel, ya. Mentang-mentang diantar mama. Ingat, jangan ngamuk kalau ketemu tukang balon. Cukup beli anginnya saja, jangan macem-macem.”Nayla tergelak, lalu mengejarku sambil mencubit lenganku. “Ihh, Bang Raka nyebelin!”Mama Siska menggeleng, tapi senyumnya lebar. “Kalian ini, kayak anak kecil. Ayo, Nayla, nanti terlambat.”“Iya, Ma. Bang Raka nih nyebelin!” kata Nayla, cemberut tapi matanya penuh tawa.Pak Herdi, yang menyaksikan tingkah kami dari samping mobil, hanya tersenyum. Aku melambai. “Hati-hati, ya!”Mobil mereka melaju pergi, meninggalkan halaman rumah yang kini terasa sepi. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang mulai berdegup kencang. Aku tahu, hari ini bisa jadi berbahaya. Beberapa menit setelah mereka pergi, suara mesin mobil terdengar lagi. Jantungku langsung berlompat. Apa ini orang suruhan Bayu? Aku mengintip dari jendela, dan lega bercampur tegang melihat mobil Pak Budi berhenti di depan r
Aku hentakan semakin kencang dan Mama Siska semakin mendesah keras."Sssshhh Raka...."Rasanya berbeda tidak seperti dengan Alicia tadi siang, badanku sudah tidak terasa sakit lagi dan aku benar-benar sudah sembuh.Kemudian aku menarik Mama Siska untuk turun dari ranjang, aku mengajaknya keluar dari kamar karena di dalam kamar sangat gerah.Mama Siska menghentikan langkahnya, "Tapi Raka... nanti takutnya ada yang lihat.""Memangnya siapa yang lihat? Nayla sudah tidur dan mereka sedang berjaga di depan."Aku tetap menariknya, kita berdua sama-sama tidak memakai apapun. Tubuh kami berkilauan keringat, ketika berada di luar rasanya sejuk.Aku mendekap tubuhnya ke dinding, aku memegang kedua tangannya lalu kembali mencium bibirnya. Benda pusakaku bergesekan dengan perutnya, tetap keras tegak berdiri. Lalu aku membungkuk dan menikmati buah dadanya, rasanya bercampur ada rasa asinnya.Aku angkat satu kakinya, aku dorong benda pusakaku untuk menembus bagian intinya.Ahhhh sssshhh...," Mama S
Di ruang tengah, Nayla masih sibuk dengan tugas kuliahnya, buku-buku berserakan di meja. Mama Siska duduk di sofa, fokus mengerjakan pekerjaan freelance-nya di laptop. Cahaya layar menyinari wajahnya, membuatnya terlihat lelah tapi tetap cantik. Aku menghampiri mereka, berusaha bertindak biasa meski pikiranku dipenuhi ancaman dari paket tadi.“Raka, kamu sudah minum obat belum?” tanya Mama Siska tanpa menoleh dari laptopnya.“Belum, Ma. Ini baru mau minum,” jawabku, berjalan menuju dapur untuk mengambil air.“Setelah minum obat, langsung istirahat, ya,” katanya, nadanya lembut tapi ada nada khawatir di dalamnya.Nayla, yang sedang asyik dengan ponselnya, menimpali dengan nada menggoda. “Iya, kalau orang sakit harus banyak istirahat, bukannya jalan-jalan terus.”Aku menoleh, pura-pura kesal. “Jalan kemana? Paling ke depan doang. Eh, kamu tuh, bukannya ngerjain tugas, malah chatting-an.” Aku melihat sekilas layar ponselnya, dan dia buru-buru menyembunyikannya.Nayla mendengus kesal. “Ih
Kami semua tertawa, tapi aku perhatikan Dhea hanya diam. Biasanya dia paling aktif, tapi kali ini dia duduk di sudut, matanya sesekali melirikku lalu teralihkan. Aku tahu dia masih malu karena kejadian sebelumnya, jadi aku tidak mengungkitnya.Mereka terus menggodaku, membuat suasana semakin ramai. Mama Siska datang membawa minuman dan makanan ringan, lalu kembali ke dapur. Aku menyusulnya, merasa perlu bicara setelah candaan Nayla tadi.“Ma, semuanya sudah beres? Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku.“Gak ada, Raka. Sudah selesai semua,” jawabnya dingin, tidak seperti biasanya.Aku melangkah mendekat dan memeluknya dari belakang. “Aku kangen banget sama kamu. Kangen berduaan seperti ini,” kataku pelan.Mama Siska menegang, lalu melepaskan pelukanku. “Mama habis masak, Raka. Sebaiknya kamu istirahat,” katanya, nadanya datar.Aku tidak menyerah. Aku memeluknya lagi. “Kamu kenapa sih menjauhiku terus?”Dia melepaskan pelukanku lagi, kali ini lebih tegas. “Mama gak menjauhimu. Oh ya, lupa,
Aku akhirnya sampai di rumah setelah perjalanan dengan Alicia. Mobilnya berhenti di depan pagar rumah, dan dia hanya mengantarku sampai depan pagar. Aku merasa lelah, bukan hanya fisik, tapi juga pikiran yang kacau karena semua kebohongan yang kulakukan hari ini. Aku menoleh ke arah Alicia, berusaha mencairkan suasana yang terasa berat.“Alicia, mau mampir dulu?” tanyaku, meski dalam hati aku berharap dia menolak.Alicia menggeleng sambil tersenyum kecil. “Tidak usah, Raka. Aku langsung ke kantor saja. Nanti aku hubungi lagi ya, kalau aku membutuhkanmu.”Aku cuma mengangguk. Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Mobil Alicia melaju pergi, suara mesinnya pelan-pelan menghilang di ujung jalan. Aku berdiri sejenak di depan pagar, mencoba menenangkan diri. Rasa bersalah menekan dadaku. Aku tahu aku telah membohongi Mama Siska dan Nayla, dua orang yang begitu tulus padaku.Saat aku hendak masuk ke dalam pagar, sesuatu membuatku berhenti. Di ujung jalan, di bawah pohon besar yang biasanya jad
“Oh, kalau gitu, silakan. Alhamdulillah, Raka memang sudah lebih baik sejak pagi,” kata Mama Siska.“Terima kasih, Bu. Kalau begitu, kami pamit dulu. Ayo, Raka,” ajak Alicia.Aku bingung, tapi tidak bisa menolak. “Sebentar, aku ganti baju dulu,” kataku, lalu bergegas ke kamar.Aku mengenakan kemeja lengan panjang dan celana bahan, lalu kembali ke ruang tamu.“Ma, aku pergi dulu,” pamitku.“Iya, hati-hati, Raka,” jawab Mama Siska.Nayla tidak terlihat, mungkin sudah ke kamarnya.Aku naik ke mobil Alicia. Kali ini dia yang menyetir. Dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin membohongi Mama Siska lagi, tapi situasi ini membuatku tidak punya pilihan.“Kamu kelihatannya nggak suka pergi sama aku,” kata Alicia tiba-tiba.“Bu-bukan gitu. Aku cuma masih lemas aja,” jawabku gugup.Alicia tersenyum. “Aku ajak kamu ke apartemenku. Kamu sudah baikan, kan? Kita cuma ngobrol ko, ya mungkin sedikit sentuhan."“I-iya, aku bisa,” kataku, meski ragu.Sampai di apartemen, Alicia memesan makanan untuk makan s