Nayla menatapku dengan mata berbinar, lalu memelukku lagi. “Nayla pengen banget Abang cepet jadi ayahnya Nayla, biar kita terus bareng!”“Doain aja, ya. Sekarang makan lagi, katanya mau ke kampus pagi-pagi,” ujarku sambil mengusap kepalanya.“Oh, iya, aku lupa!” seru Nayla, kembali melahap sarapannya.Suasana kembali hangat berkat tingkah lucu Nayla. Aku menawarkan, “Nay, ke kampus bareng Abang aja, ya. Abang juga mau berangkat sekarang.”“Iya, Bang!” jawabnya antusias.Kami pamit pada Mama Siska, tak lupa membawa bekal darinya. Aku mengendarai motor, dan di kaca spion, aku melihat Nayla melamun. Hatiku berat, tidak tega meninggalkan dia dan Mama Siska. Sesampainya di kampus, Nayla bersalaman denganku, sopan seperti biasa, seolah aku ayahnya sendiri.“Aku masuk, ya, Bang. Abang hati-hati di jalan,” ucapnya.“Iya, Nay. Semangat, ya,” balasku.Aku melanjutkan perjalanan ke kantor. Aku senang akan segera bertemu keluargaku, tapi aku juga merasa sedih harus berpisah dengan Mama Siska dan
Mereka menemaniku makan malam, meskipun mereka sudah makan lebih dulu. Aku membayangkan bagaimana rasanya jika aku tak lagi tinggal bersama mereka. Pasti aku akan merindukan momen sederhana seperti ini. Kami mengobrol ringan. Nayla menceritakan tentang kuliahnya, dan katanya dia akan segera masuk libur panjang sambil menunggu hasil ujian. Aku sudah berjanji akan mengajak mereka liburan jika nilainya bagus.Setelah makan, rasa kantuk mulai menyerang. Mungkin karena hari ini penuh aktivitas, tubuhku terasa lelah.“Raka, mending tidur aja. Mata kamu udah sayu,” ujar Mama Siska.“Nanti dulu, Ma. Baru selesai makan, gak bagus langsung tidur,” jawabku.“Aku juga udah ngantuk banget, nih,” ujar Nayla sambil menguap. “Semalam tidur larut.”“Nah, Mama kan bilang, jangan begadang. Gak bagus buat kesehatan,” ujar Mama Siska.“Iya, Ma, maaf. Soalnya tugas belum selesai, tugasnya banyak banget. Ya udah, Aku duluan, ya, Ma, Bang,” pamit Nayla.“Iya, Nay, selamat tidur,” jawabku.“Jangan lupa berdoa
Kasirnya malah lambat. Aku mengamati pria itu menaiki mobilnya dan melaju pergi. Setelah selesaikan pembayaran, aku segera menyusul dengan motor. Aku kehilangan jejaknya sebentar, tapi kemudian melihat mobilnya masuk ke sebuah gang besar. Aku mengikutinya dari kejauhan, memakai helm agar tidak terlihat mencurigakan. Karena sudah malam, jadi mungkin dia tidak akan tahu dan melihatku Pria itu berhenti di sebuah showroom mobil. Aku mengamati dari balik rumah warga. Seorang pria berpakaian rapi menghampirinya dan berkata, “Lu kemana aja? Lama banget, katanya cuma sebentar.”“Maaf, bro, tadi jalannya macet. Nih, gua beliin rokok buat lu,” jawab pria itu.Pria di showroom itu terkekeh. “Ah, lu.”“Eh ya, makasih, bro. Gua balik dulu,” ujar pria itu, lalu berjalan kaki pergi.Aku turun dari motor dan mendekati showroom itu. Pria berpakaian rapi tadi menghampiri.“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanyanya ramah.Aku berpura-pura tertarik. “Tadi aku lihat ada seorang pria naik mobil ke sini, mo
Jam makan siang tiba, dan Reza mengajakku makan bersama di kantin. Aku membawa bekal dari Mama Siska, sementara Reza memesan makanan di kantin.“Gimana, bro, rasanya jadi bos?” tanya Reza sambil menyendok nasi.Aku menggeleng sambil membuka kotak bekalku. “Biasa aja. Besok juga balik jadi karyawan biasa. Tapi kerjaan jadi double, kerjaanku sama kerjaan Bu Alicia digabung, jadinya numpuk.”Reza terkekeh. “Hehe, nggak enak juga, ya, jadi bos. Tapi kalau kerjaannya nggak digabung, lu jadi bos beneran, pasti enak.”“Kerjaan itu nggak ada yang enak, Za. Semuanya sama aja,” jawabku santai sambil menggigit ayam goreng dari bekalku.Saat kami sedang makan, Liana dan Sarah datang menghampiri meja kami. Mereka duduk bergabung, tapi terlihat ragu-ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak yakin bagaimana memulainya.Aku memperhatikan ekspresi mereka. “Ada apa? Kalau mau ngomong, katakan aja.”Liana menatapku hati-hati, lalu berkata, “Raka, apa bener kamu sama Bu Alicia ada hubungan?”Aku m
Di kamar mandi, air segar membasahi tubuhku, membuatku lebih terjaga. Tiba-tiba, aku teringat rencana pindah rumah hari ini. Aku belum siap, baik secara fisik maupun mental. Aku juga belum berani mengatakan hal ini kepada Mama Siska, apalagi Nayla sedang tidak ada di rumah. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di tepi kasur, memikirkan langkah selanjutnya.Aku memutuskan untuk menunda kepindahan. Hari ini jadwalku terlalu padat, dan mungkin aku harus lembur. Barang-barangku memang tidak banyak, jadi Pak Herdi bisa membantu mengangkutnya nanti. Tapi aku merasa hari Minggu adalah waktu yang lebih tepat, saat aku libur dan punya waktu untuk mempersiapkan diri, terutama untuk mengumpulkan keberanian memberitahu Mama Siska.Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk Ibu,[Bu, sepertinya aku belum bisa pindah ke penthouse hari ini. Jadwal kerja lumayan padat, mungkin aku juga akan lembur. Aku rencanain hari Minggu aja, biar libur dan punya waktu lebih banyak.]Karena perbedaan
Mama Siska menatapku dengan penuh perhatian. “Raka, kenapa kamu diam saja?”Aku tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Ma.”Sebenarnya, ada banyak hal yang berkecamuk di dalam pikiranku, tapi aku tidak sanggup mengatakannya. Aku tahu, Mama Siska pasti akan sedih jika mendengar apa yang aku pikirkan.Mama Siska masih menatapku, alisnya sedikit berkerut. “Raka, apa yang sedang kamu pikirkan?”“Nggak ada, kok,” jawabku cepat.Mama Siska menggeleng pelan. “Kamu nggak bisa bohongi aku. Aku tahu pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan.”Aku menghela napas, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Nggak ada, Ma. Aku cuma mikirin kerjaan besok. Bu Alicia nggak masuk, jadi aku yang harus handle semua.”Mama Siska mengangguk, wajahnya sedikit rileks. “Semangat, Raka. Pasti besok kamu sibuk, ya. Tapi, bukannya kamu sebentar lagi akan menjalankan bisnis ayahmu? Berarti kamu akan berhenti dari kantor Bu Alicia, ya?”“Iya, mungkin,” jawabku singkat.Suasana tiba-tiba hening. Kami masih duduk berhadapan di r