Pagi harinya, sinar matahari Ubud menyelinap melalui jendela, membawa aroma sawah dan bunga kamboja. Jam menunjukkan pukul 06.30 WITA. Aku bangun, mandi cepat, lalu mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Nayla sudah bangun, sibuk merapikan kopernya yang penuh dengan suvenir seperti biasanya. “Bang, tolong masukin tas anyaman ini, dong. Koperku udah nggak muat lagi,” keluhnya, menyerahkan tas kecil bermotif bunga.“Ya Tuhan, Nay, kamu mau bawa pulang pasar Ubud apa?” candaku, tapi tetap membantu memasukkan tas itu ke ranselku."Soalnya bagus-bagus Bang, disini bagus-bagus dan unik-unik."Mama Siska keluar dari kamar mandi, mengenakan blus linen putih dan rok panjang, rambutnya masih basah. “Seger banget sudah mandi, kalian sudah pada beres belum?""Lihat nih, Ma. Barang bawaannya Nayla makin banyak, sampai gak muat untuk di bawa." kataku sambil membantu Nayla.Mama Siska menggelengkan kepalanya, "Tuh kan, Mama bilang jangan terlalu banyak beli nya, nanti gimana bawanya?"Nayla malah
Kami melanjutkan perjalanan kami di Ubud, berjalan bergandengan tangan di bawah naungan pohon-pohon besar di Monkey Forest. Ubud terasa seperti dunia lain, hijau, tenang, dan penuh dengan aura seni. Jalan-jalan kecil di sekitar Monkey Forest dipenuhi galeri seni dengan lukisan-lukisan warna-warni bertema Bali, patung batu, dan ukiran kayu yang rumit. Warung-warung kecil menjajakan kopi Bali dan camilan seperti pisang goreng, sementara aroma kemenyan dari pura-pura kecil di setiap sudut menambah suasana mistis. Monyet-monyet nakal melompat dari dahan ke dahan, sesekali mendekati turis untuk mencuri makanan atau benda berkilau.Aku dan Mama Siska berhenti di sebuah galeri kecil bernama *Agung Rai Art Gallery*, di mana lukisan-lukisan tradisional Bali dipamerkan.Mama Siska tampak terpesona dengan sebuah lukisan penari Kecak yang penuh warna. “Raka, lihat deh lukisannya bagus banget. Kayaknya cocok buat di ruang tamu,” katanya, matanya berbinar.Aku tersenyum, memeluk pinggangnya. “Beli
Ketika sedang tidur nyenyak, aku merasa ada seseorang yang mengelus kakiku. Dari kaki menuju ke bagian pahaku, elusannya itu sangat pelan dan berhati-hati. Karena aku sangat mengantuk, aku tidak menghiraukannya karena aku tahu pasti itu Mama Siska. Walaupun aku tertidur, tapi aku tetap merasakan kehangatan tangannya yang halus memegang tubuhku.Kaos ku di singkap ke atas, tangannya meraba perutku. Hingga secara perlahan, celanaku mulai di pelorotin sampai paha. Tangannya kembali meraba bagian intiku, yang masih terbungkus celana dalamku. Akibat elusan tangannya, membuat benda pusakaku hidup dan mengeras. Jika sudah mengeras, biasanya sampai keluar dari celana dalamnya karena ukuran benda pusakaku yang besar.Benar saja, aku merasakan bagian kepala benda pusakaku keluar dari celana dalamnya. Jari tangannya, memainkan lubang bagian intiku yang mulai mengeluarkan cairan bening. Sampai kemudian celana dalamku mulai di buka, hingga benda pusakaku kini bebas menjulang tinggi tegak seperti m
Mama Siska langsung menggeleng keras. “Jangan, dong. Mama nggak mau ninggalin Nayla di sini. Bali itu pergaulannya bebas, Ka. Mama nggak mau ada apa-apa sama dia. Kamu tahu sendiri, kita baru kenal Tom dan temen-temannya.”Aku menghela napas, merasakan dilema yang sama. “Jadi apa yang harus kita lakukan? Kalau kita paksa dia pulang ke Jakarta, aku nggak tega, Ma. Dia kan libur kuliah dua bulan, pasti pengen liburan lebih lama.”Tiba-tiba, aku teringat Pak Budi dan Pak Hendra, teman-teman ayahku yang punya banyak koneksi di seluruh Indonesia, termasuk Bali. Dulu, mereka pernah membantu mengawasi Tiara dan Alex saat berada di Bali.“Ma, aku coba hubungi Pak Budi atau Pak Hendra. Mungkin mereka punya kenalan orang Bali yang bisa membantu kita, siapa tahu bisa bantu jagain Nayla.” kataku, meraih ponselku.Mama Siska mengangguk, wajahnya sedikit lega. “Boleh, Ka. Itu lebih baik. Mama lebih merasa aman kalau ada yang jagain.”Aku langsung menghubungi Pak Budi."Hallo Pak, maaf menganggu wak
Perjalanan ke Pantai Pandawa memakan waktu sekitar 20 menit. Pemandangan sepanjang jalan masih memukau—tebing karang, sawah hijau, dan sesekali patung-patung batu besar khas Bali. GPS di ponsel Tom memandu kami melewati jalan kecil yang berkelok, hingga akhirnya kami tiba di area parkir Pantai Pandawa. Pantai ini terkenal dengan pasir putihnya yang lembut, tebing kapur yang menjulang, dan air laut biru kehijauan yang jernih. Di kejauhan, beberapa kano tradisional terlihat mengapung, menambah pesona pantai.Kami turun dari mobil, membawa tas kecil berisi kamera, sunscreen, dan botol air. Ethan langsung mengeluarkan kameranya, mulai merekam pemandangan pantai.“Guys, look at this place! Perfect for the vlog!” serunya, mengarahkan kamera ke tebing dan laut.Nayla, meskipun cemberut, tetap ikut berjalan bersama kami. Dia memakai topi lebar dan kacamata hitam, tapi ekspresinya jelas menunjukkan dia sedang tidak mood. Tom mencoba menghiburnya, menunjukkan spot foto yang bagus di dekat tebin
Pagi di Uluwatu menyapa dengan sinar matahari yang lembut, menyelinap melalui celah-celah jendela *Cliffside Guesthouse*. Jam di ponselku menunjukkan pukul 06.30 WITA, dan aroma bunga kamboja bercampur udara laut yang segar membuatku langsung bersemangat. Aku bangun dari ranjang, meregangkan tubuh, lalu menuju kamar mandi dan segera mandi. Air dingin membantuku menyegarkan diri setelah malam yang penuh petualangan. Setelah mengenakan kaus biru tua dan celana pendek, aku mulai membereskan barang-barangku. Koperku penuh dengan suvenir dari Kuta dan Uluwatu—topi jerami, udeng, dan beberapa patung kayu kecil yang kubeli kemarin.Aku mengetuk ranjang Nayla, yang masih terlelap dengan rambut acak-acakan menutupi wajahnya. “Nay, bangun! Kita akan check out pagi ini, lho. Kan mau ke tempat baru!” seruku, menggoyang pundaknya pelan.Nayla mengeluh pelan, mengucek mata. “Bang, lima menit lagi… Masih ngantuk nih,” gumamnya, tapi akhirnya bangkit juga. Dia berjalan gontai ke kamar mandi, membawa