“Aku serius, Liana. Ini sudah aku rencanain sejak lama. Bu Alicia juga udah tahu,” jawabku, merasa berat.Reza menatapku, kecewa. “Kenapa lu mendadak resign, Ka? Lu nggak setia kawan. Katanya mau kerja bareng gue terus.”“Maafin gue, Za. Gue terpaksa, soalnya gue harus lanjutin bisnis keluarga,” kataku, suaraku pelan.Semua bingung. Termasuk Erik sampai dia mengangkat alisnya karena dia belum tahu identitasku.“Keluarga siapa? Bukannya kamu nggak punya keluarga?” tanya Liana, penasaran.Aku menghela napas. “Maaf, aku belum cerita pada kalian. Beberapa waktu lalu, ketika Miss Claire dan rekan kerjanya dari Prancis datang, hidupku jadi berubah. Dia yang membantuku bertemu dengan keluargaku. Ceritanya cukup panjang, yang jelas ternyata Claire itu keponakanku.”Mereka terkejut. Reza membelalak. “Yang bener, bro? Dari mana lu tahu?”Sarah menimpali, “Tapi memang, Raka mirip Miss Claire. Rambutnya coklat, mata coklat. Dulu aku kira kalian sodara.”Erik yang dari tadi terdiam, ikut berbicara
"Aku ikut seneng dengernya," kataku tersenyum.Setelah sarapan, aku menghubungi Pak Herdi. “Pak, bisa jemput saya sekarang? Saya ke apartemen dulu, ganti baju, terus ke kantor.”“Siap, Tuan Raka. Saya akan sampai lima menit lagi,” jawab Pak Herdi, suaranya ramah.Sebelum pergi, aku mendekati Mama Siska, yang sedang mencuci piring. Aku memeluknya dari belakang, mencium pipinya.“Ma, aku pergi dulu, ya. Kamu jaga diri, jangan buka pintu buat orang asing.”Mama Siska memutar badan, tersenyum. “Iya, Ka. Hati-hati di jalan. Nanti kabarin Mama kalau udah selesai.”“Aku nggak akan lama, Ma. Sebentar lagi kan orangtuaku datang, mungkin aku akan menunggu kabar dari Pak Rudi dulu.” kataku, mencium keningnya.Mama Siska mengangguk, memelukku erat. “Iya, ini akan menjadi hari yang bahagia untukmu."Aku tersenyum. “Benar, aku sudah rindu sama mereka." akupun pergi dan aku melangkah keluar.Pak Herdi sudah menunggu di depan apartemen dengan mobil hitamnya. “Pak, kita apartemenku dulu sebentar. Saya
Aku kembali menaiki kasur, aku berlutut di depan Mama Siska yang sedang berbaring menggoda. Aku buka kakinya lebar-lebar, bagian intinya membuatku lapar, aku daratkan wajahku pada bagian intinya. Aku nikmati aromanya yang menggoda, lidahku menari-nari di belahan bagian intinya membuatnya menggelinjang."Ssshhh mmmmhh,"Kali ini tidak begitu lama karena aku sudah tidak sabar, cukup becek saja agar aku bisa melewati dinding intinya dengan mudah. Aku arahkan bagian intiku pada bagian intinya, secara perlahan mulai masuk hingga semuanya tenggelam. Aku mendekap tubuhnya, aku cium bibirnya dan Mama Siska memelukku erat. Aku sengaja mendiamkannya dulu beberapa saat, kakinya melingkar di pinggangku yang membuatku semakin terasa nikmat.Aku telusuri bagian buah dadanya, aku remas dan aku kenyot dengan kuat. Aku mulai menggerakkan pinggulku secara perlahan, aku nikmati gesekan dinding intinya yang sangat nikmat. Bagian intiku terasa di pijat-pijat, apalagi ketika bagian intiku aku keluarkan la
Kami menikmati makan malam berdua bersama saling tertawa bersama, suasana dapur penuh kehangatan. Semua masakan sudah matang, ikan gurame goreng, sambal tomat, dan tumis kangkung. Aku menyuapi Mama Siska sepotong ikan, dan dia balas menyuapi sambal ke mulutku, membuatku pura-pura tersedak. “Aduh, Ma pelan-pelan." aku sampai terbatuk-batuk.Mama Siska langsung khawatir, dia memberikan aku minum. "Maaf... maaf, Raka. Ini kamu minum dulu!"Aku tersenyum lebar, "upss.. kena deh."Mama Siska mencubit perutku, "Ihh, awas ya kamu."Kita jadi saling menggelitik, aku juga tidak mau kalah terus saling membalas. Momen sederhana ini terasa begitu sempurna, penuh cinta dan kebersamaan. Setelah selesai makan, seperti biasa aku membantunya membersihkan meja makan dan mencuci piring.Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. “Sayang, besok aku ke kantor sebentar sebelum orangtuaku datang, untuk pamitan sama temen-temen. Mungkin ini yang terakhir kerja di Bu Alicia, soalnya aku mau resmi
Aku menarik gas, motor melaju kencang. Jantungku berdegup kencang, adrenalin memacu. Hari sudah mulai gelap, mungkin sudah pukul setengah enam petang. Aku mengambil jalan pintas, awalnya berniat ke apartemen Mama Siska, tapi aku sadar itu berisiko pria itu bisa tahu lokasi apartemennya. Jalanan mulai ramai saat kami masuk ke jalan raya. Di perempatan, aku sengaja belok kanan, padahal ke apartemen seharusnya lurus, untuk mengelabui pria itu. Tepat saat kami belok, lampu merah menyala, memaksa pria itu berhenti.Mama Siska, masih memelukku erat, bertanya, “Kok kita ke sini?”“Sengaja, Ma, buat ngelabuin dia,” jawabku, tetap fokus menyetir.Aku membelokkan motor ke gang sempit di kiri jalan, sebuah jalan pintas yang berkelok-kelok melewati rumah-rumah warga. Gang itu dipenuhi pohon mangga dan warung kecil yang sudah tutup. Jalanan berbatu membuat motor sedikit bergoyang, tapi aku terus melaju, melewati halaman rumah dengan ayunan tua dan jemuran pakaian. Mama Siska memelukku lebih erat,
Mama Siska menatapku, matanya berkaca-kaca. “Raka, kamu serius? Mama takut mereka nggak akan setuju, apalagi aku sudah punya Nayla.”“Aku serius, Ma. Kamu sama Nayla sudah seperti keluarga sendiri karena memang sebelumnya kita memang keluarga. Aku yakin Ayah sama Ibu akan menerima kalian,” kataku, mencium keningnya.Mama Siska tersenyum, bersandar di dadaku. “Makasih, Ka. Mama juga maunya gitu ingin hidup sama kamu selamanya.”Kami mengobrol panjang, tentang hubungan kami, tentang Nayla, dan tentang masa depan. Momen itu terasa begitu intim, seperti dunia hanya milik kami berdua. Setelah cukup lama, perut kami mulai keroncongan."Sayang, kita cari tempat makan yu? Aku sudah lapar nih, kita makan di tempat makan yang biasa waktu itu." kataku.Mama Siska mengangguk, tersenyum. “Ayo, Ka. Sudah lama juga nggak makan di sana."Kami naik motor lagi, menuju *Warung Makan Bu Tini* di pinggir jalan dekat rumahnya dulu. Warung kecil ini sederhana, dengan meja kayu dan kursi plastik, tapi selalu