“Tapi apa dia punya uang? Ponselnya juga kan hilang,” kata Siska, khawatir. “Coba hubungi orangtuamu lagi.”Raka memeriksa ponselnya, tapi sinyal tetap hilang. “Gak ada sinyal, percuma. Bukannya tadi di sini ada sinyal ya?”Siska mengangguk, “Iya, eh, tapi penjual kopi tadi bisa hubungi kita.”Mereka mendekati penjual makanan di warung terdekat. Raka bertanya, “Maaf, Mas, di sini susah sinyal, ya?”“Iya, Mr. Kalau nomor biasa gak bisa dipake di sini, harus nomor khusus,” jawab pria itu.Raka mengangguk, “Pantesan.” Ia lalu menunjukkan foto Lila. “Maaf, Mas, apa lihat orang ini?”Pria itu memerhatikan foto, lalu menggeleng. “Nggak, Mr, saya nggak tahu.”“Terima kasih, Mas,” kata Siska, wajahnya penuh kekecewaan.Raka dan Siska melanjutkan pencarian, berjalan ke pantai lain, bertanya pada nelayan dan turis, tapi tak ada yang melihat Lila. Jalan yang menanjak dan sinyal yang hilang membuat mereka semakin frustrasi. “Lila kamu dimana dek?” gumam Raka, mengusap keringat di dahinya.Siska
Di tengah perjalanan menuju rumah sakit di Waisai, kapal sewaan yang membawa Raka dan yang lainnya terapung pelan di atas air laut Raja Ampat yang biru kehijauan. Suasana tegang, hanya isak tangis Mrs. Sariani yang terdengar, sementara semua menahan napas, berharap tubuh yang dievakuasi dari jurang bukan Lila. Tiba-tiba, Raka memegang perutnya, wajahnya meringis kesakitan.“Aduh, aku sakit perut. Ini masih jauh, ya?” keluh Raka, suaranya lemah.Mr. Henri, yang duduk di sampingnya, menjawab, “Lumayan, Nak. Kamu tahan aja dulu.”Mrs. Sariani, meski sedang panik memikirkan Lila, menoleh dengan khawatir. “Tapi nggak baik kalau ditahan, nanti malah jadi penyakit. Kami tunggu aja, Raka, biar kita tetap sama-sama.”Siska, memegang tangan Raka, menimpali, “Kalau gitu, berhenti aja di tempat yang ada toilet umumnya.”Raka menggeleng, mencoba kuat. “Ibu dan yang lainnya duluan aja ke rumah sakit. Kalau memang gadis itu Lila, kita bisa segera bertindak. Mudah-mudahan Lila masih hidup, tapi semog
Dengan hati-hati, ia membukanya, melihat catatan tulisan tangan Mr. Henri tentang jadwal perjalanan, nama-nama kontak bisnis, dan yang paling menarik—catatan tentang “Dadang, Belitung, proyek lama 1998, rahasia keluarga.” Tiara tersenyum licik, tahu ini bisa jadi kunci untuk membuat skandal. Ia memasukkan buku itu ke dalam saku celananya, menutupinya dengan celemek agar tak terlihat.Ia melanjutkan membersihkan lemari pakaian, menemukan dokumen lain seperti tagihan dan surat bisnis, tapi tak ada yang seberharga buku catatan itu. Setelah selesai, ia melapor ke Susi, berakting polos. “Udah selesai, Mbak. Kamarnya sudah rapi sekarang.”Susi memuji, “Bagus, Tara. Nanti siang bantu di dapur, ya.”Tiara mengangguk, kembali ke kamar pelayan untuk menyembunyikan buku catatan itu di dalam tasnya.Dalam hati, ia berpikir, "Ini baru permulaan. Tiga hari lagi, aku akan bikin kejutan untuk Raka dan Siska."Sementara itu, rencana pernikahan Raka dan Siska tinggal tiga hari lagi. Pak Rudi, asisten s
Ketika semuanya selesai, Pak Jajang kembali tertidur. Sementara Tiara, semakin merasa lelah karena dia kembali mengeluarkan cairan kenikmatannya beberapa kali. Tiara memang sadar dengan apa yang baru saja terjadi, Tiara memang menikmatinya tapi dia begitu sangat lelah.Setelah Pak Jajang sudah tertidur, kini giliran Pak Bambang yang terbangun. Ia juga merasa ingin, mungkin karena bersebelahan dengan seorang wanita. Pak Bambang mengelus benda pusakanya yang sangat mengeras, ia berusaha melupakannya tapi justru hasratnya semakin menggebu. Hingga kemudian, Pak Bambang menarik tubuh Tiara agar lebih dekat dengannya. Ketika posisi Tiara terlentang, membuat Pak Bambang semakin bernafsu apalagi melihat Tiara yang masih belum memakai apapun.Pak Bambang menelan ludah melihat kemolekan tubuh Tiara, buah dadanya yang montok dan yang paling ia suka yaitu lipatan bagian intinya yang menggoda. Pak Bambang memposisikan tubuhnya menghadap Tiara, sambil melirik ke arah Pak Jajang yang tertidur pulas.
Mereka meracau tak karuan, bagian inti Tiara terus di obok-obok mereka. Mereka terus bergantian, kadang Pak Jamal yang di bawah berbaring, Tiara yang di atas dan Pak Bambang yang ambil kendali menggoyang Tiara dari atas. Setelah beberapa saat, Tiara di gendong oleh Pak Bambang duduk sambil melihat adegan mereka."Enak banget sayang, posisi seperti ini lebih mentok." racun Pak Bambang.Tiara terus mendesah, merasakan benda pusaka Pak Bambang yang membobol gawangnya semakin dalam.Melihat adegan mereka, membuat Pak Jamal tidak sabar dan ia mendekat berdiri membelakangi Tiara."Bentar, gua juga mau masukin." Pak Jamal memegang bokong Tiara, lalu memasukkan benda pusakanya."Ahhhhh," desah Tiara tertahan, ketika benda pusaka mereka berada di dalam bagian intinya."Gila, rasanya lebih enak dan sempit. Gua di rumah punya dildo punya istri gua, sebelum main pemanasan dulu pakai dildo, nanti kita coba pakai dildo juga." bisik Pak Jamal, di sela-sela gerakannya yang semakin kencang.Pak Bamban
"Ah sayang kamu memang sangat seksi." Pak Bambang mulai meremas buah dadanya.Tiara menggeliat, hingga Pak Jamal kembali memasukkan benda pusakanya yang membuat Tiara tersentak."Ahhh...." Tiara melenguh panjang, posisi mereka berdiri dan Tiara di apit oleh dua pria.Tiara berhadapan dengan Pak Jamal, dia mendongak ke bawah sambil mencium bibir Tiara.Sementara Pak Bambang menelusuri tubuh Tiara, tangannya yang kasar membelai punggungnya hingga berhenti pada bokongnya yang kencang dan montok. Tangannya mulai meremas bokongnya, sesekali memukul-mukulnya. Pak Bambang menunggu giliran, ia semakin terangsang melihat Tiara dan Pak Jamal sedang memadu kasih. Tiara begitu menikmati, ketika Pak Jamal menghentakkan pinggulnya dengan keras. Apalagi ciumannya begitu sangat agresif, kedua tangan Pak Jamal juga terus meremas buah dadanya.Sekitar beberapa menit, Pak Jamal melepaskan benda pusakanya dan memberikan kesempatan untuk Pak Bambang menikmati bagian inti Tiara."Sekarang giliran lu Bang,