Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu. Namun, pikiranku masih penuh dengan mimpi aneh semalam.
Aku duduk di meja kerja, menyalakan komputer, lalu menatap layar tanpa benar-benar bekerja.
Suara Mama Siska di mimpiku benar-benar terus terdengar di telingaku. Tatapan wajahnya dan juga semua yang dia lakukan di mimpi itu terasa sangat nyata.
Aku benar-benar bingung, kenapa aku bisa mendapat mimpi seperti itu padahal aku tidak pernah berpikir macam-macam pada mertuaku. Apa ini efek dari hasratku yang tidak bisa tersalurkan karena istriku jauh?
Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk kembali pada pekerjaanku.
Sebagai seorang desainer grafis, jelas pekerjaanku banyak berurusan dengan aplikasi edit gambar. Kebetulan, kantorku ini salah satu studio desain yang cukup terkenal, banyak mengambil job membuat banyak desain untuk keperluan iklan produk-produk terkenal.
Aku membuka salah satu desain yang sedang aku kerjakan. Karena masih bingung dengan elemen yang sesuai, tanpa sadar aku larut dalam lamunan memikirkan konsep desain itu.
“Raka,” panggil seseorang pelan sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku bisa melihatnya karena kebetulan arah pandangku tidak jauh dari meja kerjanya.
Dia adalah Liana, teman kerjaku. Aku memfokuskan pandanganku ke arahnya, dia sedang tersenyum lebar ke arahku, tangannya masih melambai. Aku langsung membalas senyumannya dengan singkat, lalu kembali fokus pada pekerjaanku.
Namun, tidak disangka, Liana justru datang ke mejaku sambil membawa laptopnya.
“Raka, tolong aku dong. Aku gak ngerti caranya,” kata Liana sambil menunjukkan pekerjaannya kepadaku. Dia menarik satu kursi kosong yang ada di dekat mejaku dan duduk di sebelahku.
Aku melihat desain yang diberikan oleh Liana. Dia menjelaskan apa yang ingin dia buat, dan aku langsung mengerti apa yang dia maksud.
Liana memang pegawai baru, dibandingkan denganku, pengalamannya di dunia desain ini memang berbeda jauh.
“Oh, itu kayak gini, Li.”
Aku langsung menjelaskan apa yang harus Liana lakukan. Aku menunjukkan dengan teliti langkah-langkah yang harus dia lakukan agar nanti dia bisa melakukannya sendiri. Sambil menjelaskan, aku juga sesekali menatap Liana, memastikan apakah dia memahami penjelasanku.
Namun, saat aku selesai menjelaskan, sepertinya perempuan itu justru melamun sambil menatapku dengan senyuman aneh.
“Li, kamu paham gak sama penjelasanku?” Aku menggoyangkan tangannya pelan.
“Eh? A-aku masih belum ngerti di bagian ini,” jawab Liana sambil menunjuk salah satu ikon di layar laptopnya.
“Oh itu …”
Aku kembali menjelaskan dengan perlahan agar Liana mengerti.
Saat aku menyadari Liana kembali melempar tatapan aneh itu, aku sengaja menghentikan penjelasanku untuk melihat apakah sebenarnya perempuan itu mendengarkan aku atau tidak. Dan ternyata, dia memang melamun.
Aku terkikik pelan, lalu menepuk pelan pundaknya. “Heh, kok kamu malah ngelamun?”
Liana tersadar, lalu wajahnya tampak sedikit memerah. “Hah? Nggak kok.”
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. “Udah sana balik kerja lagi. Udah paham juga, kan?”
Liana menggaruk kepala belakangnya sambil tersenyum kecil. Tatapannya kepadaku, entah kenapa rasanya sedikit aneh.
“Nanti aku sama yang lain mau nongkrong, kamu mau ikut gak?” kata Liana tiba-tiba sambil menatapku penuh harapan.
Liana semakin mendekatkan tubuhnya denganku membuatku bisa sedikit mencium aroma parfumnya yang manis. Selain itu, entah kenapa rasanya Liana seperti sengaja mendekatkan tubuhnya kepadaku dan membuat dadanya sedikit menempel di lenganku.
“E–eh, aku gak bisa, Li.” Sekali lagi aku sedikit mundur dan menarik tanganku agar menjauh dari tubuhnya. “Kasian mertuaku di rumah sendirian, soalnya adik iparku lagi di rumah temannya.”
“Yah, sebentar aja gak bisa gitu? Kapan lagi kita bisa nongkrong gini, kan?” Liana tampak sedikit muram.
“Gak bisa, Li. Kasian mertuaku sendirian nanti.”
“Ya udah, kalau gitu nanti kamu mau gak makan siang bareng sama aku?” Liana terus menatapku dengan tatapan yang sepertinya terlihat agak menggoda. “Sama yang lain juga, kok.”
Aku menghela napas pasrah. “Oke, nanti makan siang bareng aja.”
Namun, sebelum Liana kembali bersuara, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat.
"Liana, Raka, pekerjaan kalian sudah selesai?" ucap orang itu yang langsung membuat Liana menarik kembali tubuhnya agar menjauh dariku.
"Be-belum, Bu," jawab Liana gelagapan. Dia langsung duduk dengan tegak, memasang ekspresi lebih serius.
Bos kami, Alicia, berdiri di depan meja dengan ekspresi datarnya yang khas.
Alicia adalah tipe wanita karismatik, bossy, dan dingin. Rambutnya pendek sebahu, selalu rapi. Penampilannya selalu elegan dengan setelan blazer yang pas di tubuhnya, membuat tiap lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas sehingga menambah kesan mempesona.
Alicia menatap Liana dengan mata tajam, lalu melirikku sekilas. "Aku nggak masalah kalian ngobrol, tapi kalau pagi begini, aku harap kerjaan tetap jadi prioritas, ya."
Liana buru-buru mengangguk. "Iya, Bu. Siap. Tadi juga kami lagi bahas desain, kok."
Alicia sekali lagi melirikku sekilas. Tatapan itu… meskipun tidak ada senyuman di sana, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang berbeda.
“Raka, ke ruanganku sebentar. Ada yang mau aku bahas denganmu,” kata Alicia sebelum akhirnya berbalik dan pergi tanpa menunggu jawabanku.
Namun, aku tetap mengangguk dan mengiyakan ucapannya meskipun dia telah pergi.
Aku menghela napas begitu Alicia pergi. Liana menoleh padaku, lalu berbisik, "Bos kayaknya tertarik sama kamu, deh."
Aku menatapnya tajam. "Hah? Jangan ngawur, Li."
“Lihat aja tatapannya selalu beda kalau ke kamu. Emangnya kamu gak nyadar?” Liana terkikik, lalu bangkit untuk kembali ke mejanya.
"Gak usah sembarangan bicara, Li!"
Aku mengusap wajahku pelan, setelah itu aku berdiri untuk pergi ke ruangan Alicia.
Setelah aku mengetuk pintu ruangan dan mendapat jawaban, aku langsung masuk. Namun, begitu aku masuk, aku langsung melihat bosku itu sedang membungkuk untuk mengambil sesuatu di bawah kursinya. Posisi itu membuatku bisa melihat jelas belahan dadanya karena kerah kemejanya yang sedikit turun.
Aku menelan ludahku dengan susah payah.
“B–bu, Alicia,” panggilku pelan.
Mr. Henri, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Raka, kamu keras kepala dan berteguh pendirian. Dari awal, Ayah sudah merasa kalau kamu dan Bu Siska dekat, bukan sekadar menantu dan mertua. Siska memang wanita baik, tulus, sabar. Ayah bisa lihat dia wanita hebat dan tegar. Kalau itu pilihanmu, Ayah nggak bisa melarang.”Mrs. Sumarni menoleh ke suaminya, terkejut. “Ayah? Apa yang Ayah katakan?”Mr. Henri menghela napas, menatap Raka dengan penuh kasih. “Bu, ini semua kesalahan kita. Kita ceroboh sampai kehilangan Raka selama 27 tahun. Waktu itu Ayah sudah pasrah kalau nggak bisa ketemu Raka lagi. Dan sekarang Ayah nggak mau ulangi kesalahan itu. Ayah ingin lihat Raka bahagia. Anggap saja ini penebus dosa kita. Raka, kamu nggak perlu pergi. Kamu tetap menjadi pewaris keluarga Dupont.”Raka terdiam, matanya membelalak. “Benarkah, Yah? Jadi Ayah merestui hubunganku dengan Siska?”Mr. Henri mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nak. Asal kamu bahagia, apa pun Ayah lakukan.”Raka melompa
Bab 126. Kejujuran Raka Malam itu, suasana di penthouse mulai sunyi. Semua orang kembali dari Puncak dengan wajah lelah namun penuh tawa, kecuali Raka, yang pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang hubungannya dengan Siska dan bagaimana cara menyampaikannya pada keluarganya. Di dalam mobil Mercedes-Benz hitam yang dikendarainya, Raka menyetir dengan fokus, sesekali melirik ke kaca spion untuk melihat Siska yang duduk di belakang bersama Claire dan Lila. Mrs. Sumarni, yang duduk di mobil lain bersama Mr. Henri, tiba-tiba berbicara melalui telepon grup keluarga.“Raka, Bu Siska, kalian dengar Ibu, ya,” kata Mrs. Sumarni, suaranya lembut tapi tegas. “Malam ini Bu Siska tidur di penthouse saja, biar besok langsung berangkat ke Bali bareng kita.”Siska, yang mendengar melalui speaker ponsel Claire, tampak ragu. “Oh, Bu, nggak usah. Saya bisa balik ke apartemen saya, nanti pagi saya ke sini lagi,” jawabnya sopan, suaranya sedikit canggung.Claire langsung menimpali, “Tapi itu benar,
Sam mengangguk antusias. “Pasti, Lila! Aku sudah bikin daftar tempat yang mau dikunjungi. Pantai Kuta, Uluwatu, sama Ubud.”Mike menambahkan, “Aku juga pengen coba makanan lokal di Bali. Katanya sate lilit enak banget.”Ayah tertawa. “Tenang, kita akan ke hotel kita di Bali. Semuanya sudah diatur. Raka, kamu setuju besok lusa kita berangkat?”“Setuju, Ayah. Di Bali pasti seru,” jawabku, meski pikiranku masih terbagi.Sarapan berlangsung hangat, penuh canda dan rencana liburan. Tapi setiap kali Paman George menyebut Siska, aku merasa cemburu yang tak bisa kujelaskan pada mereka.Setelah sarapan, kami bersiap untuk ke villa di Puncak. Saat semua sibuk mengambil tas, Paman George mendekatiku. “Raka, ayo kita ke apartemen Bu Siska dulu, ajak dia agar ikut. Aku yakin dia akan senang.”Aku ingin menolak, tapi melihat antusiasmenya, aku merasa tidak enak. “Baiklah, Paman. Tapi aku yang nyetir, ya,” kataku, berusaha mengendalikan situasi.Sam tiba-tiba muncul. “Aku ikut, dong! Penasaran sama
Permainan mereka semakin panas, aku fokus menonton tubuh perempuannya yang kulitnya putih mulus. Rambutnya yang panjang terombang-ambing berantakan, akibat goncangan kencang dari Pak Bambang. Warna kulitnya kontras, jauh berbeda dengan warna kulitnya Pak Bambang yang hitam. Permainan mereka sangat panas, keduanya sama-sama bisa mengimbangi permainan yang cukup liar.Perempuan itu melenguh panjang, suara desahannya semakin membuatku bergairah. Aku masih berdiri dalam posisi masih mengintip lewat jendela. Aku melirik kanan kiri takutnya tahu-tahu ada orang lewat, aku ingin segera menyudahinya agar aku bisa kembali ke kamarku."Aahh mmhh," perempuan itu kembali mendesah keras. Tangan Pak Bambang dengan cepat menutup mulutnya. Mereka berganti posisi, Pak Bambang berbaring di kasur sedangkan perempuan itu menaiki tubuhnya. Dia mulai menggerakkan pinggulku keatas kebawah, tak hentinya dia terus mendesah keras. Pak Bambang kembali menutup mulutnya, perempuan itu sangat berisik seperti pemai
Ayah menimpali, “Kalau gitu kita harus rayakan, Raka. Ini ulang tahun pertama kamu bersama kita, jadi kamu ingin di rayakan dimana?"Belum sempat menjawab, Lila yang dari tadi diam, tiba-tiba berseru, “Gimana kalau di Bali? Aku pengen banget ke Bali, Ayah! Katanya pantainya bagus banget selain itu banyak pemandangan bagus.”Sam mengangguk antusias. “Aku setuju! Aku datang ke Indonesia salah satunya pengen banget bisa pergi ke Bali. Katanya surga tropis, orang-orang bermimpi ingin pergi ke sana.”Ayah tertawa. “Itu ide bagus karna kebetulan, kita punya hotel dan apartemen di Bali. Kita rayain di sana aja. Raka, kamu setuju kan?”"Tapi menurutku nggak usah di rayain, Yah. Cukup bisa kumpul-kumpul aja aku sudah bahagia." kataku."Jangan menolak gitu, Raka. Sekalian kita merayakan kamu menjadi pemimpin baru dan pertemuan kita setelah sekian tahun berpisah." kata Ayah membujukku.Ibu menimpali, "Benar kata Ayahmu, ini tahun pertama di hari ulang tahunmu kita bisa berkumpul. Tahun ini menja
“Iya, Ayah. Nanti aku hubungi lagi,” kataku, merasa sedikit lega karena mereka peduli pada Siska.Ayah lalu bertanya, “Oh ya, anaknya Bu Siska, Nayla, kenapa tidak ikut? Bukannya dia dekat sama kamu?”“Nayla lagi liburan dengan teman-temannya, Ayah. Kebetulan sedang libur panjang, aku sengaja memberikan hadiah untuknya karena dia dapat nilai bagus di kampusnya” jawabku, aku sengaja tidak menyebutkan bahwa aku baru pulang dari Bali. Hanya Pak Rudi saja yang tahu, dan dia cuma tersenyum kecil dari sudut ruangan.Ibu mengangguk. “Pintar ya dia, sangat hebat Ibu jadi ingin bertemu dengannya. Nanti ajak Nayla ke sini, ya. Ibu pengen kenalan.”Aku tersenyum, tapi di dalam hati, aku ingin sekali mengatakan tentang hubunganku dengan Siska. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, apalagi mereka baru sampai dan masih lelah. Aku menahan diri, beralih mendengarkan Ayah yang mulai bercerita tentang bisnis keluarga.“Raka, mulai sekarang kamu akan ambil alih beberapa perusahaan kami. Ada yang di Eropa