Alicia langsung menatapku, tapi posisinya masih belum berubah. Setelah beberapa saat, baru dia bangkit dan duduk lagi di kursinya dengan santai.
“Oh, ini Raka, aku mau kasih konsep iklan untuk produk minuman yang kemarin,” katanya dengan santai, lalu menyerahkan satu map dokumen.
“Minggu depan desainnya harus selesai, dan kamu ikut aku untuk meeting dengan pihak mereka, ya. Aku kamu kamu jelaskan ke mereka soal desain kita,” lanjutnya lagi.
“Baik, Bu,” jawabku, lalu meraih dokumen itu.
Aku membuka tiap lembar dokumen dan mempelajarinya sekilas.
“Raka, kamu tahu proyek ini cukup besar, kan? Jadi, aku sangat mengandalkanmu sebagai desainer grafis senior di sini,” kata Alicia sambil menatapku dengan dalam.
Saat aku menatapnya balik, aku justru menemukan sesuatu yang janggal. Alicia tampak sedang sedikit menggigit bibir bawahnya, seperti sedang sengaja memainkannya. Lalu, entah kenapa tatapan Alicia kepadaku terasa semakin aneh. Matanya seperti menyiratkan sesuatu. Bahkan, aku tidak tahu sejak kapan satu kancing kemejanya yang paling atas sudah terbuka.
Aku menelan ludahku dan mengangguk pelan, berusaha tetap berpikir normal. “Iya, Bu. Saya mengerti.”
Bosku itu terkenal dengan profesionalitasnya, tetapi entah perasaanku saja atau bagaimana, setiap ada waktu untuk mengobrol berdua denganku, Alicia selalu terasa berbeda.
Dia mengangguk pelan. “Kalau gitu, silakan kembali bekerja.”
Alicia tersenyum, tapi senyuman itu benar-benar menyiratkan sesuatu.
Dari rumah sampai kantor, kenapa hari ini terasa sangat aneh?
**
Setelah seharian bekerja dan mendapat kejadian-kejadian aneh dari para wanita yang ada di kantorku, aku pulang dengan perasaan was-was. Aku berharap saat tiba di rumah, Mama Siska sudah tidur karena sekarang kebetulan sudah cukup larut. Aku tidak siap menghadapi tatapan seperti itu lagi. Kejadian hari ini benar-benar sudah membuatku merasa heran.
Tapi ternyata tidak.
Lampu ruang tamu masih menyala. Mama Siska duduk di sofa, gaun tidurnya yang tipis nyaris transparan di bawah cahaya lampu redup ruang tamu. Rambutnya tergerai sedikit berantakan, seperti baru saja bangun tidur—atau mungkin sengaja dibuat seperti itu.
Aku mencoba bersikap biasa. "Ma, belum tidur?"
Dia menoleh dan tersenyum kecil. "Belum. Mama nungguin kamu pulang."
Jantungku berdetak lebih cepat.
"Kenapa nunggu aku, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar santai.
Dia mengangkat bahu. "Takutnya kamu gak bawa kunci rumah, nanti gak bisa masuk."
Aku mengangguk sambil melepas jaket. Memang benar bahwa aku tidak membawa kunci rumah. "Oh, kebetulan aku tadi memang lupa bawa kunci rumah, Ma. Tadi buru-buru soalnya kesiangan."
Mama Siska menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis. "Untungnya Mama gak langsung tidur, kan?"
Aku hanya mengangguk. “Iya, makasih. Ma. Aku ke kamar dulu ya, mau bersih-bersih.”
Aku mencoba menuju kamar, tapi suara lembutnya menghentikanku.
"Kalau butuh apa-apa jangan sungkan bilang sama Mama ya, Raka. Atau kalau kamu pengen makan sesuatu, bilang aja sama Mama, nanti Mama masakin," katanya sambil tersenyum lembut.
Aku sekali lagi mengangguk. “Iya, Ma.”
Aku pun langsung pergi ke kamarku. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Tatapan Mama Siska semakin hari semakin berani dan menantang.
Tiba-tiba ponselku berbunyi karena ada pesan masuk dan setelah aku lihat ternyata dari Tiara.
[Sayang, kamu sudah pulang?]
[Sudah, aku baru saja pulang. Kamu sendiri sudah selesai kerjaannya?]
[Sudah, aku lagi di jalan ke apartemen. Aku kangen banget sama kamu, pengen cepat pulang.]
[Aku juga, kamu di sana jaga kesehatan ya jangan terlalu capek.]
[Maafin aku ya, padahal kita baru saja menikah tapi aku harus pergi meninggalkanmu. Kamu pasti kesepian, tapi mau gimana lagi ini semua bukan keinginanku.]
Aku ingin balas jika aku disini baik-baik saja, walaupun sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Ketika aku sedang asik chatan sama Tiara, tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dan itu suara Mama Siska.
Aku langsung berlari keluar. Di ruang tengah, kulihat Mama Siska berdiri ketakutan, tubuhnya gemetar. Seorang pria bertopeng mencengkram kuat tangan Mama Siska, rupanya ada maling masuk rumah.
"Hei!" Aku berteriak, membuat pria itu melepaskan cengkramannya pada tangan Mama Siska.
Pria itu langsung menoleh ke arahku. Dia kembali menarik Mama Siska dan menekan leher Mama Siska dengan lengannya. “Kalau kamu bergerak, aku lukai ibumu!”
Aku menghentikan langkahku. Kalau aku gegabah, bisa-bisa Mama Siska celaka.
Ketika aku lihat pria itu sedang mencari celah untuk kabur, aku langsung melangkah cepat ke arahnya dan memukul wajahnya hingga dekapannya pada Mama Siska terlepas.
Bugh!
Pria itu terkejut dan langsung berlari mencoba kabur, tapi aku terus mengejarnya meskipun dia berhasil keluar dari rumah. Sebelum dia keluar dari pagar rumah, aku lemparkan pot yang kebetulan ada di depanku. Sasaran ku tepat mengenai tubuhnya, hingga dia terjatuh tapi dia berusaha untuk kabur.
“Maling sialan!” umpatku.
Aku berlari dan berhasil menangkap lengannya, menariknya keras hingga ia tersungkur. Ia mencoba melawan, tapi aku menghantam wajahnya dengan pukulan telak.
Bugh! Bugh!
“Jangan kembali ke rumah ini, sialan!”
Keributan itu membuat satpam di area kompleks rumah datang. Ketika satpam itu melihatku baku hantam dengan maling itu, dia langsung mengambil alih dan membawanya ke kantor polisi.
Setelah itu, aku berlari dan kembali masuk ke dalam rumah, ternyata Mama Siska masih berdiri di ruang tengah, wajahnya pucat.
"Ma, nggak apa-apa?" tanyaku, mendekatinya.
Ia mengangguk, masih terengah-engah. "Mama … Mama kaget."
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Ayo duduk dulu, Ma."
Saat aku menggenggam lengannya untuk membimbingnya duduk di sofa, aku bisa merasakan tubuhnya sedikit gemetar.
"Mama tunggu sebentar."
Aku segera pergi ke dapur, aku menuangkan segelas air untuknya. Lalu, segera kembali ke ruang tengah. Aku berikan segelas air putih untuknya, ia menerimanya dengan tangan gemetar.
"Tadi benar-benar menakutkan," katanya pelan, suaranya sedikit bergetar.
Aku mengangguk. "Untung aku langsung datang. Mama gak terluka, kan?"
Mama Siska menggeleng pelan. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada ketakutan di matanya, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam.
"Kamu… benar-benar menyelamatkan Mama," katanya lirih.
Aku tersenyum kecil. "Sudah tugasku untuk menjaga keluarga, Ma."
“Apa ada barang yang dia ambil?” tanyaku lagi.
Mama Siska kembali menggeleng pelan. “Gak ada, tadi dia mau ambil hp Mama, tapi keburu kamu datang.”
“Syukurlah kalau gak ada yang diambil juga.” Aku menghela napas lega.
Sepertinya, keputusanku untuk tidak ikut pergi dengan teman kantor yang lain malam ini memang benar. Kalau tidak, pasti mertuaku bisa celaka, atau bahkan rumah ini bisa habis dirampok.
Mama Siska terdiam sejenak, lalu tiba-tiba menggenggam tanganku erat. "Raka…"
Aku terkejut.
"Mama masih takut," bisiknya. "Malam ini… bisa kamu menemani Mama?"
Mr. Henri, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Raka, kamu keras kepala dan berteguh pendirian. Dari awal, Ayah sudah merasa kalau kamu dan Bu Siska dekat, bukan sekadar menantu dan mertua. Siska memang wanita baik, tulus, sabar. Ayah bisa lihat dia wanita hebat dan tegar. Kalau itu pilihanmu, Ayah nggak bisa melarang.”Mrs. Sumarni menoleh ke suaminya, terkejut. “Ayah? Apa yang Ayah katakan?”Mr. Henri menghela napas, menatap Raka dengan penuh kasih. “Bu, ini semua kesalahan kita. Kita ceroboh sampai kehilangan Raka selama 27 tahun. Waktu itu Ayah sudah pasrah kalau nggak bisa ketemu Raka lagi. Dan sekarang Ayah nggak mau ulangi kesalahan itu. Ayah ingin lihat Raka bahagia. Anggap saja ini penebus dosa kita. Raka, kamu nggak perlu pergi. Kamu tetap menjadi pewaris keluarga Dupont.”Raka terdiam, matanya membelalak. “Benarkah, Yah? Jadi Ayah merestui hubunganku dengan Siska?”Mr. Henri mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nak. Asal kamu bahagia, apa pun Ayah lakukan.”Raka melompa
Bab 216. Kejujuran Raka Malam itu, suasana di penthouse mulai sunyi. Semua orang kembali dari Puncak dengan wajah lelah namun penuh tawa, kecuali Raka, yang pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang hubungannya dengan Siska dan bagaimana cara menyampaikannya pada keluarganya. Di dalam mobil Mercedes-Benz hitam yang dikendarainya, Raka menyetir dengan fokus, sesekali melirik ke kaca spion untuk melihat Siska yang duduk di belakang bersama Claire dan Lila. Mrs. Sumarni, yang duduk di mobil lain bersama Mr. Henri, tiba-tiba berbicara melalui telepon grup keluarga. “Raka, Bu Siska, kalian dengar Ibu, ya,” kata Mrs. Sumarni, suaranya lembut tapi tegas. “Malam ini Bu Siska tidur di penthouse saja, biar besok langsung berangkat ke Bali bareng kita.” Siska, yang mendengar melalui speaker ponsel Claire, tampak ragu. “Oh, Bu, nggak usah. Saya bisa balik ke apartemen saya, nanti pagi saya ke sini lagi,” jawabnya sopan, suaranya sedikit canggung. Claire langsung menimpali, “Tapi itu
Sam mengangguk antusias. “Pasti, Lila! Aku sudah bikin daftar tempat yang mau dikunjungi. Pantai Kuta, Uluwatu, sama Ubud.”Mike menambahkan, “Aku juga pengen coba makanan lokal di Bali. Katanya sate lilit enak banget.”Ayah tertawa. “Tenang, kita akan ke hotel kita di Bali. Semuanya sudah diatur. Raka, kamu setuju besok lusa kita berangkat?”“Setuju, Ayah. Di Bali pasti seru,” jawabku, meski pikiranku masih terbagi.Sarapan berlangsung hangat, penuh canda dan rencana liburan. Tapi setiap kali Paman George menyebut Siska, aku merasa cemburu yang tak bisa kujelaskan pada mereka.Setelah sarapan, kami bersiap untuk ke villa di Puncak. Saat semua sibuk mengambil tas, Paman George mendekatiku. “Raka, ayo kita ke apartemen Bu Siska dulu, ajak dia agar ikut. Aku yakin dia akan senang.”Aku ingin menolak, tapi melihat antusiasmenya, aku merasa tidak enak. “Baiklah, Paman. Tapi aku yang nyetir, ya,” kataku, berusaha mengendalikan situasi.Sam tiba-tiba muncul. “Aku ikut, dong! Penasaran sama
Permainan mereka semakin panas, aku fokus menonton tubuh perempuannya yang kulitnya putih mulus. Rambutnya yang panjang terombang-ambing berantakan, akibat goncangan kencang dari Pak Bambang. Warna kulitnya kontras, jauh berbeda dengan warna kulitnya Pak Bambang yang hitam. Permainan mereka sangat panas, keduanya sama-sama bisa mengimbangi permainan yang cukup liar.Perempuan itu melenguh panjang, suara desahannya semakin membuatku bergairah. Aku masih berdiri dalam posisi masih mengintip lewat jendela. Aku melirik kanan kiri takutnya tahu-tahu ada orang lewat, aku ingin segera menyudahinya agar aku bisa kembali ke kamarku."Aahh mmhh," perempuan itu kembali mendesah keras. Tangan Pak Bambang dengan cepat menutup mulutnya. Mereka berganti posisi, Pak Bambang berbaring di kasur sedangkan perempuan itu menaiki tubuhnya. Dia mulai menggerakkan pinggulku keatas kebawah, tak hentinya dia terus mendesah keras. Pak Bambang kembali menutup mulutnya, perempuan itu sangat berisik seperti pemai
Ayah menimpali, “Kalau gitu kita harus rayakan, Raka. Ini ulang tahun pertama kamu bersama kita, jadi kamu ingin di rayakan dimana?"Belum sempat menjawab, Lila yang dari tadi diam, tiba-tiba berseru, “Gimana kalau di Bali? Aku pengen banget ke Bali, Ayah! Katanya pantainya bagus banget selain itu banyak pemandangan bagus.”Sam mengangguk antusias. “Aku setuju! Aku datang ke Indonesia salah satunya pengen banget bisa pergi ke Bali. Katanya surga tropis, orang-orang bermimpi ingin pergi ke sana.”Ayah tertawa. “Itu ide bagus karna kebetulan, kita punya hotel dan apartemen di Bali. Kita rayain di sana aja. Raka, kamu setuju kan?”"Tapi menurutku nggak usah di rayain, Yah. Cukup bisa kumpul-kumpul aja aku sudah bahagia." kataku."Jangan menolak gitu, Raka. Sekalian kita merayakan kamu menjadi pemimpin baru dan pertemuan kita setelah sekian tahun berpisah." kata Ayah membujukku.Ibu menimpali, "Benar kata Ayahmu, ini tahun pertama di hari ulang tahunmu kita bisa berkumpul. Tahun ini menja
“Iya, Ayah. Nanti aku hubungi lagi,” kataku, merasa sedikit lega karena mereka peduli pada Siska.Ayah lalu bertanya, “Oh ya, anaknya Bu Siska, Nayla, kenapa tidak ikut? Bukannya dia dekat sama kamu?”“Nayla lagi liburan dengan teman-temannya, Ayah. Kebetulan sedang libur panjang, aku sengaja memberikan hadiah untuknya karena dia dapat nilai bagus di kampusnya” jawabku, aku sengaja tidak menyebutkan bahwa aku baru pulang dari Bali. Hanya Pak Rudi saja yang tahu, dan dia cuma tersenyum kecil dari sudut ruangan.Ibu mengangguk. “Pintar ya dia, sangat hebat Ibu jadi ingin bertemu dengannya. Nanti ajak Nayla ke sini, ya. Ibu pengen kenalan.”Aku tersenyum, tapi di dalam hati, aku ingin sekali mengatakan tentang hubunganku dengan Siska. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, apalagi mereka baru sampai dan masih lelah. Aku menahan diri, beralih mendengarkan Ayah yang mulai bercerita tentang bisnis keluarga.“Raka, mulai sekarang kamu akan ambil alih beberapa perusahaan kami. Ada yang di Eropa