Liam, yang mendengar, langsung berlari mendekat. “Apa? Lila, kamu lihat Nayla tadi?”Lila menggeleng, matanya melebar ketakutan. “Nggak, Tom! Dia tadi di sini aja…”Siska dan Mrs. Sariani berlari dari bangku istirahat, wajah mereka cemas. “Nayla! Nay, di mana kamu?” panggil Siska, suaranya gemetar, tangannya mencengkeram lengan Mrs. Sariani.George dan Sam langsung bergabung, sementara Jack dan Ethan memulai pencarian dengan ponsel mereka untuk merekam area sekitar demi dokumentasi.“Kita bagi kelompok! Aku dan Sam cari ke arah belakang kawah,” kata George tegas.Tom berlari ke segala arah, memanggil nama Nayla sambil memeriksa di balik toko suvenir, jalur pejalan kaki, dan bahkan area parkir.“Nay! Kamu dimana? Tolong jangan bikin aku panik!” teriaknya, suaranya penuh kepanikan, matanya memindai setiap sudut.Pikirannya kacau karena Nayla belum sembuh, apalagi mengingat Nadira sering kambuh dan bertingkah aneh.Pencarian berlangsung hampir tiga jam, dengan Pak Herdi dan Pak Budi meme
Setelah masalah selesai dengan Mr. Jhon, Paris terasa lebih cerah bagi Raka dan Mr. Henri. Penahanan resmi Jhon dengan pengakuan penuh dan bukti yang tak terbantahkan membuat perusahaan Dupont kembali stabil, bahkan lebih kuat.Hacker yang disewanya juga sudah diadili, dan tim IT kini bekerja dengan protokol keamanan baru yang ketat. Mr. Henri, yang selama ini memikul beban sebagai pemimpin, akhirnya siap melepaskan tahta. Hari ini adalah momen bersejarah yaitu peresmian pengalihan hak kekuasaan kepada Raka, pewaris sah keluarga Dupont.Acara digelar di ballroom mewah Hotel Plaza Athénée, di tepi Champs-Élysées. Ruangan itu seperti istana: langit-langit tinggi dengan chandelier kristal yang berkilau, dinding berpanel kayu mahoni, dan meja-meja bundar ditata dengan linen putih dan rangkaian mawar merah—simbol kekuatan Dupont.Hadir sekitar 50 tamu penting: pengusaha dari berbagai negara, mulai dari mitra Prancis seperti Claire dan Monsieur Dubois dari Lyon, hingga delegasi dari Jepang,
Tom dan tim konten langsung sibuk merekam. Ethan mengoperasikan drone, menangkap pemandangan dari atas, sementara Jack berpose di jembatan gantung, berbicara ke kamera tentang pesona Bandung.Nayla dan Lila, yang mulai rileks, berfoto di taman bunga dengan latar belakang pohon-pohon pinus. Liam membantu Lila berpose, sesekali mencuri sentuhan tangan yang membuat Lila tersenyum malu-malu.“Nay, lihat ini! Bunga-bunganya cantik banget,” seru Lila, memetik kelopak bunga liar untuk diselipkan di rambutnya.Nayla tersenyum, “Iya, La. Aku suka tempat ini. Rasanya… bikin kita melupakan semua masalah,”Siska dan Mrs. Sariani berjalan di belakang, menikmati suasana sambil mengobrol tentang kenangan masa kecil Mrs. Sariani di Bandung. George dan Sam, yang kini jadi duo yang akrab, mencoba wahana perahu kayuh, tertawa saat Sam hampir membuat perahu oleng.“Sam, kamu kayak anak kecil main perahu!” canda George, memercikkan air ke arahnya.Sam tertawa, “Papa, ini healing, tahu! Aku sudah lama ngga
Mereka menyebar di tepi sungai: Tom, Nayla, Lila, dan Liam di satu spot; Mrs. Sariani, Siska, dan George di spot lain; Jack, Ethan, dan Sam di spot ketiga.Tom mengajari Nayla cara memasang umpan, tangannya memegang tangan Nayla pelan.“Nih, Nay, pegang pancingnya kuat. Kalau ada tarikan, angkat pelan-pelan.”Nayla tertawa, “Aku takut ikannya loncat ke muka aku, Tom!”Di sisi lain, Lila dan Liam bersaing siapa yang dapat ikan pertama. “Kalau aku menang, kamu traktir es krim malam ini,” goda Lila.Liam mengedipkan mata, “Deal, La. Tapi kalau aku menang, kamu harus… cerita ke Ibu tentang kita.”Lila memerah, tapi akhirnya tersenyum. “Oke, tapi pelan-pelan ya.”Mrs. Sariani, yang duduk di batu dengan pancing di tangan, mengenang masa kecilnya. “Siska, dulu Ayah Ibu selalu ngajak memancing setiap akhir pekan. Ikan gorengnya enak banget, beda sih kalau langsung dari sungainya."Siska mengangguk, “Bu, nanti kita goreng ikannya bareng. Ini momen langka, kita semua santai kayak gini.”George,
Pagi itu di Paris, udara terasa lebih tegang dari biasanya. Langit cerah dengan sinar matahari yang menyusup melalui jendela rumah Montmartre, tapi Raka dan Mr. Henri tak sempat menikmatinya. Mereka sudah siap untuk langkah krusial: konfrontasi dengan Mr. Jhon.Setelah bukti-bukti yang dikumpulkan Luc dan Marie semakin kuat, termasuk rekaman CCTV, email terenkripsi, dan transaksi bank mereka memutuskan untuk menjebaknya dalam pertemuan yang disamarkan sebagai diskusi bisnis.Mr. Henri, mengenakan jas hitam favoritnya yang selalu membawa keberuntungan, duduk di ruang kerja rumah sambil menelepon Jhon. Suaranya tenang, seolah tak ada apa-apa.“Jhon, bagaimana kabarnya? Aku di Paris sekarang, mau bahas peluang kemitraan baru di Asia. Bisa ketemu siang ini di kantor pusat? Aku dan anakku, Raka, nunggu kamu.”Di ujung telepon, Mr. Jhon, pria paruh baya dengan aksen Inggris yang halus, terdengar antusias. “Henri, tentu saja! Aku senang sekali. Sampai jumpa nanti siang.”Raka, yang mendengar
“La, lihat ini! Lucu banget, kayak boneka!” kata Nayla, menggendong seekor kelinci putih sambil tertawa.Lila mengangguk, “Iya, Nay! Rasanya aku pengen bawa pulang satu.”Tom dan Liam, tentu saja, tak melewatkan momen ini untuk syuting. Ethan merekam Nayla dan Lila dari dekat, sementara Jack mewawancarai pengunjung lokal untuk tambahan konten.“Ini seperti berada di Eropa ya padahal kita berada di Indonesia. Bandung ternyata sangat luar biasa!” kata Jack ke kamera, dengan latar belakang rumah hobbit yang menggemaskan.Mrs. Sariani dan Siska berjalan di kebun bunga, mengambil foto bersama. “Siska, dulu Ibu pengen punya kebun kayak gini. Sekarang, lihat anak-anak terlihat bahagia,” kata Mrs. Sariani, suaranya penuh syukur.Siska memeluk mertuanya, “Iya, Bu. Ini momen yang indah. Aku senang kita bisa liburan bareng kayak gini.”George dan Sam bergabung dengan tim konten, membantu mengatur angle syuting. Sam bahkan ikut berpose dengan domba, membuat semua tertawa saat domba itu mendekat p