Entah kenapa rasanya semakin tegang, tidak ada kata yang terucap. Aku memperhatikan Alicia yang tingkahnya tidak bisa diam. Dia membuka kancing bajunya, sampai belahan dadanya terlihat jelas. "Raka, apa kamu tidak merasa gerah?" tanyanya menggoda, tapi tetap berwibawa."I-iya Bu, eh Alicia." jawabku gelagapan.Dia berdiri dan duduk di lahunanku, lalu tangannya meraba dadaku "Kenapa kamu jadi gugup? Bukan baru pertama kali kan? Sepertinya situasinya mendukung, aku ingin menghangatkan tubuhku." Aku menelan ludah, buah dadanya tepat di depan mataku. Aroma parfum mahal dan aroma tubuhnya, menusuk hidungku. Dia membuka ikatan rambutnya, dia biarkan rambutnya tergerai. Dia sengaja menekan-nekan bagian intiku, pinggulnya bergesekan membuat bagian intiku seketika terbangun.Dia menggigit bibir bawahnya, tatapannya seperti ingin memangsaku. Lalu tanganku dia tuntun, agar meremas buah dadanya. Aku remas dengan gerakan pelan, aku putar-putar dengan jempol tanganku bagian titik dadanya."Sssshh
Setelah selesai mencetak foto-foto Tiara dan Alex menggunakan printer Reza, aku memilih hanya beberapa foto yang paling penting saja. Foto mereka sedang berpelukan di kafe, Alex menggenggam tangan Tiara di mobil dan beberapa foto lainnya. Aku segera memasukkan fotonya ke dalam tas, takut Reza melihatnya. Untungnya, ada kertas foto di meja, meskipun aku lupa mengguntingnya. Tapi nanti akan aku gunting di kantor. Selain foto, aku punya ide lain: aku ahli dalam mengedit foto dan video, jadi aku akan buat karya spesial untuk Alex, sesuatu yang bikin dia terkejut.Kami sarapan roti bakar dengan selai stroberi, cepat dan sederhana, khas Reza yang selalu dia buat hampir setiap hari katanya.“Pantes lo selalu duluan sampai kantor, Za. Hidup lo nggak ada drama paginya seperti gua,” candaku, dan dia terkekeh, mengangguk. "Eh gak gitu juga, justru gua kesepian selalu sendiri. Makan sendiri, tidur sendiri apa-apanya sendiri kayak lagu Caca Handika." ucapnya tertawa."Bisa aja lu," aku teringat p
Aku tidak membalas pesan dari Tiara, mungkin disuruh Nayla dan Mama Siska agar aku pulang. Aku mengabaikannya, lalu Nayla dan Mama Siska juga mengirim pesan. Dengan tangan gemetar, aku matikan ponsel, butuh ketenangan tanpa gangguan. Aku tidak ingin mereka semakin khawatir, tapi aku juga tidak sanggup berbicara sekarang.Rumah Reza cukup minimalis dengan cat putih sederhana, walaupun rumahnya masih nyicil, tapi terasa hangat dan nyaman. Aku kagum pada Reza, dia sudah bisa membeli rumah sendiri dari hasil kerja kerasnya.“Mandi dulu, bro. Ganti baju, lo kayak abis lari marathon,” katanya, nyengir, sambil berjalan ke kamarnya.Aku tersenyum kecil, tersentuh dengan kebaikannya. Dari dulu, Reza selalu baik dia selalu ada di saat aku terpuruk.Setelah mandi, aku hendak ke kamar kosong yang biasa kutempati dulu saat menginap, tapi Reza menghentikanku.“Tidur di kamar gua aja, Bro. Lebih nyaman,” katanya, nadanya santai tapi ada ketegangan di matanya. Aku mengerutkan dahi, heran, tapi menur
Aku tiba di rumah pukul sepuluh malam, tubuhku terasa lelah setelah diskusi panjang dengan Claire dan ancaman terbaru Alex. Kalung Dupont di leherku terasa berat, mengingatkanku pada tanggung jawab sebagai pewaris keluarga. Tapi yang mengejutkan, Tiara ada di ruang tamu, duduk di sofa dengan wajah canggung, bukan kebiasaannya menungguku.“Mas, kenapa baru pulang?” tanyanya, nadanya biasa tapi matanya penuh curiga.“Habis meeting,” jawabku singkat, melepas sepatu, berharap dia tidak bertanya lebih.Tapi Tiara berdiri, mendekat, suaranya kini tajam.“Tadi jam tujuh aku lewat kantormu, gerbangnya sudah di tutup. Pedagang soto di depan bilang, kamu sudah pulang dari sore. Meeting di mana, Mas? Sama siapa?” tanyanya, nadanya menuntut.Aku menahan napas, amarah mulai membuncah. Dia, yang selalu membohongiku, berselingkuh dengan Alex, berani menuduhku?“Aku meeting di luar, Ti. Biasa, urusan design iklan,” kataku, berusaha tenang.Tapi Tiara menggeleng, matanya menyipit.“Jangan bohong, Mas.
Jam makan siang tiba, dan aku bergegas ke ruangan Alicia, membawa paket misterius yang kini terasa seperti bom waktu. Setelah ancaman Alex semalam—foto-foto itu dan serangan di gang—aku tahu ini darinya. Alicia mengunci pintu, wajahnya tegang saat aku membuka paket. Di dalamnya, ada tumpukan foto—aku dan Alicia, tapi wajah kami dicoret-coret dengan tinta merah, seolah penuh dendam.Ada juga kertas dengan tulisan tangan:[“Raka, sebaiknya kamu segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu sekarang, atau kalau tidak cepat atau lambat hubunganmu dengan Alicia akan terekspos ke publik.”]Alicia mengepalkan tangan, wajahnya memerah. “Ini keterlaluan! Alex pikir dia bisa main kotor begini?!” serunya, mengambil foto-foto itu dan meremasnya. “Ini nggak cuma nyerang kamu, Raka—nama baikku juga dipertaruhkan! Kalau foto ini disebar, aku bisa kehilangan kredibilitas, apalagi dengan masalah Daniel!”Aku mengangguk, merasa bersalah karena Alicia terseret lebih dalam.“Alicia, biar aku yang atur semuan
Makan malam selesai, dan suasana rumah terasa hangat dengan canda Nayla dan senyum Mama Siska. Tapi saat kami hendak membereskan bekas makan, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu depan.“Siapa tamu malam-malam begini?” tanya Mama Siska, tapi aku segera menghentikannya, jantungku berdegup kencang. Setelah pesan ancaman Alex kemarin, mungkin itu ulah Alex dan aku tidak ingin Mama Siska celaka.“Biar aku saja yang membukanya, Ma,” kataku, berjalan ke pintu. Aku membuka pintu secara perlahan, tapi tidak ada siapa-siapa. Jalanan di luar sepi, hanya suara angin dan lampu jalan yang redup.Aku memanggil-manggil, “Halo? Apa ada orang?” tapi tidak ada jawaban.Saat aku hendak menutup pintu, mataku menangkap kotak kecil di lantai, mirip paket ancaman dari Alex di kantor dulu. Tulisan tangan di atasnya bertuliskan namaku.Aku mengambil kotak itu, tanganku gemetar, dan menutup pintunya takut mereka melihatnya. Di dalamnya ada foto-foto—aku dan Alicia, tapi bukan foto biasa. Gambar-gambar
Pagi di kantor terasa berbeda saat aku melihat Liana di mejanya, rambutnya terikat rapi, tapi matanya masih menyimpan duka. Sarah mengatakan dia telah kembali setelah ayahnya meninggal, dan aku merasa bersalah karena mengabaikannya akhir-akhir ini.Aku mendekat, suaraku pelan, “Li, kamu baik-baik saja? Aku turut berduka cita atas kepergian Ayahmu.”Dia menoleh, tersenyum kecil, wajahnya terlihat lelah tapi tetap terlihat tegar.“Makasih, Raka. Ayah… tiba-tiba saja pergi. Ayah tekena serangan jantung,” katanya, suaranya gemetar. Dia bercerita bagaimana dia pulang ke kampung halamannya, merawat ibunya yang patah hati, dan menahan tangis di pemakaman sang Ayah. Aku mendengarkan, hati ini begitu tersentuh—kehilangan orang tua pasti sangat berat, dan aku tahu rasanya hidup tanpa keluarga. Selama bertahun-tahun ini aku sendiri, hingga aku menemukan keluargaku. “Aku yakin pasti kamu kuat, Li. Kalau kamu perlu apa-apa, bilang aku aja, ya,” kataku, tulus.Liana mengangguk, matanya berkaca-ka
Malam ini terasa sejuk saat aku melaju pulang dari apartemen orangtuaku, pikiranku penuh haru setelah perpisahan dengan Ayah, Ibu, dan Lila. Kalung Dupont di leherku terasa hangat, simbol keluarga yang kini jadi bagianku. Tapi saat berhenti di lampu merah, mataku menangkap sosok familiar di trotoar—Liana? Rambutnya terurai, wajahnya tampak bingung, seolah menunggu seseorang. Bukankah dia masih di kampung karena ayahnya meninggal? Aku mengerutkan dahi, hati ini terbelah.Akhir-akhir ini, aku sengaja menjauhi Liana, merasa tidak enak dengan Reza, yang kini justru acuh padanya. Tapi Liana, tetap saja tidak berubah walaupun aku acuh padanya. Dia memang keras kepala, tapi aku tidak bisa membalas perasaannya. Menerima perhatiannya hanya akan membuatnya semakin berharap, dan aku tidak ingin menyakitinya lebih jauh. Tapi melihatnya begitu kebingungan, hati ini tergelitik—meski aku tersakiti oleh Tiara, aku masih punya empati. Aku hampir turun dari motor untuk mendekatinya, tapi ojek online t
Jam makan siang tiba, dan Alicia mendekatiku di kantor, suaranya pelan.“Raka, kita makan siang di luar, aku mau bahas tentang Daniel. Bilang saja mau meeting, agar mereka tidak curiga.” Aku mengangguk, masalah ini cukup kita berdua saja yang tahu dan mungkin Alex masih mengawasi jika aku terlihat mencurigakan. Kami pamit pada mereka termasuk Claire, berpura-pura membawa dokumen proyek, dan melaju ke restoran kecil di pinggir kota, tersembunyi dengan bilik-bilik privat. Suasananya sepi, hanya beberapa pelanggan, cocok untuk obrolan rahasia.Kami memesan makanan dan jus, lalu Alicia mulai bercerita, matanya berbinar.“Semalem usahaku sukses, Raka. Aku sengaja memancing Daniel—aku bilang jika aku ingin putus, dan dia marah besar, ngomong kasar, bahkan mencoba menarik tanganku. Orangtuaku, yang sembunyi di ruang sebelah, langsung keluar. Daniel kaget, nggak bisa mengelak lagi. Ayahku marah, langsung putusin pertunangan. Daniel pergi dengan muka merah,” katanya, tersenyum lega.Aku ikut