MasukDengan langkah lemah, Eric maju. Ia bahkan tak memedulikan tabung infus yang terseret di lantai, menimbulkan suara lirih yang mengganggu pendengaran. Tujuannya hanya satu, ia ingin mendekat pada Louisa.“Loui…” panggilnya pelan. Entah suaranya sampai atau tidak. Eric terus melangkah, dengan satu harapan sederhana Louisa akan berlari menghampirinya, memeluknya erat, seperti dulu.Namun Louisa tetap berdiri di tempatnya. Dadanya naik turun perlahan. Sesekali ia menelan ludah, jelas ragu, antara ingin mendekat atau justru melangkah mundur.Bricia menangkap momen itu. Tanpa berkata apa-apa, ia menoleh ke Feli dan Harry. Tatapannya memberi isyarat, mereka harus menyingkir. Feli mengangguk pelan. Harry pun paham.Ketiga orang itu segera menjauh tanpa suara, meninggalkan Eric dan Louisa berdua saja dengan jarak yang tinggal beberapa langkah. Namun terasa seperti berkilo-kilo meter. Langkah Eric akhirnya terhenti di saat jarak makin mengikis. Ia menatap Louisa dengan sorot sendu, penuh rind
Pelan, Eric membuka matanya. Ia kembali memejam, menyesuaikan cahaya yang menyusup ke retinanya.Namun saat satu ingatan menghantam, Eric mendadak membuka mata lebar dan langsung terduduk. Dadanya naik turun. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari satu sosok yang tadi sempat ia lihat.“Louisa…” gumamnya.Tapi, ruangan di sekitar kosong. Tak ada siapapun. Hanya selang infus yang kembali tertancap di tangannya.Eric menghela napas berat. “Jadi tadi cuma halusinasi… atau Louisa benar-benar pulang?”Ia berusaha turun dari ranjang, berniat keluar memastikan sendiri. Tapi rasa pusing kembali menghantam, membuat kepalanya berdenyut dan langkahnya tertahan.Suara pintu terbuka terdengar, Bricia masuk membawa semangkuk sop hangat. Ia mendekat ke ranjang lalu meletakkannya di meja kecil di samping Eric.“Makan dulu, Pa,” ucapnya tenang.Sebelum menerima mangkuk itu, Eric menatap putrinya. “Tadi… kamu lihat Louisa?”Bricia mengerutkan kening, berpura-pura bingung. “Louisa? Bukannya dia sudah
“Kalian pacaran?”Feli langsung melotot. Tangannya bergerak heboh sebagai bentuk penyangkalan.“Nggak! Nggak, Pa. Bukan gitu,” Feli buru-buru menjelaskan, tapi justru disambut tawa Bricia.“Kami cuma rekan kerja,” timpal Harry cepat. Nada suaranya ikut panik mendengar kesimpulan Eric.“Rekan kerja?” Mata Eric makin menyelidik, sorotnya jelas seperti ayah yang sangat protektif. “Sejak kapan Feli kerja bareng kamu?”“Bukannya kamu kerja di bawah tangan Andrew?” lanjut Eric tanpa memberi jeda. “Terus, gimana ceritanya kalian bisa jadi rekan kerja?”Eric terus mencecar. Ia benar-benar heran, selama ini ia tak tahu Feli dekat dengan Andrew, apalagi dengan Harry. Sejak kapan Feli bekerja dengan pria itu? Dan sudah sejauh apa hubungan mereka sebenarnya?“Pa… oke, nanti aku jelasin. Tapi nggak di sini juga,” putus Feli. Tak mungkin ia menjelaskan panjang lebar soal bagaimana ia bisa bekerja bersama Andrew, sementara mereka masih harus foto bersama dan bersiap pulang.“Nggak mau. Papa pengin d
Pagi ini, kediaman Eric sudah ramai. Lennon datang untuk memeriksa Eric sekaligus mencabut selang infus di tangannya, sementara Bricia dan Feli sibuk dirias oleh penata rias yang sengaja Eric sewa.Awalnya, Louisa yang menawarkan diri mendandani keduanya. Tapi sejak Louisa pergi, Eric memilih menyewa penata rias agar hasilnya lebih maksimal dibanding kalau Bricia dan Feli melakukannya sendiri.“Jangan terlalu banyak pikiran, Eric. Kamu tahu kan, asam lambungmu gampang naik kalau stres berlebihan,” Lennon mengemasi barangnya sambil mengomel pada sepupunya.“Kalau kamu mati sekarang, kasihan Bricia,” tambahnya.“Sialan!” Eric berdecak. “Siapa juga yang mau mati sekarang.”Setelah perlengkapan pemeriksaan masuk ke dalam tasnya, perhatian Lennon kini tertuju penuh pada Eric. Ia menatap sepupunya dengan keyakinan penuh.“Saat Louisa baru beberapa tahun awal di sini, bukankah aku sudah bilang, kamu harus menikahinya? Kalau kamu tak punya perasaan sama sekali, tak mungkin kamu membiarkan dia
Perut Papa mual.” Dengan susah payah, Bricia membawanya kembali ke meja makan dan membantu Eric duduk. “Bri telepon Om Lennon dulu,” ucap Bricia cepat sambil meraih ponsel. “Sepertinya asam lambung Papa naik.” Tak sampai lima belas menit, Lennon tiba. Ia membawa perlengkapan infus, ia sudah tahu betul kondisi Eric seperti apa jika stresnya menumpuk. Setelah pemeriksaan singkat, Eric dibaringkan di ranjang. Cairan infus dipasang, disusul obat penunjang untuk meredakan asam lambungnya. Lennon keluar dari kamar, Bricia mengikutinya. “Papamu stres berat, Bri,” ucap Lennon pelan. Bricia menghela napas panjang. “Memang, Om. Soalnya Louisa pergi.” “Louisa?” Lennon mengernyit. “Iya. Papa berulah… dan Louisa memilih pergi.” Raut Lennon mengeras samar. Ia tentu tahu kisah Eric. Tentang Diana, Louisa, dan tentang saran yang pernah ia berikan agar Eric menikahi Louisa. Namun saran yang ia berikan dulu ditolak mentah-mentah. “Kalau begitu,” gumam Lennon lirih, “ini bukan cuma asam lambun
Lampu-lampu Jakarta berpendar hangat di balik kaca jendela apartemen. Cahayanya menyerupai gugusan bintang yang jatuh ke tengah kota. Louisa menatapnya lama, lalu menghela napas dan memejamkan mata dengan berat. Dua hari ini ia hanya berdiam diri di kamar apartemen yang baru ia sewa. Ruang itu terasa sempit dan pengap, membuat dadanya sesak. Ia ingin keluar, sekadar menghirup udara atau berjalan tanpa tujuan, tapi keinginan itu ia tahan. Untuk sekarang, ia hanya ingin menenangkan diri. Louisa tahu, kepergiannya adalah bentuk sebuah pelarian. Namun ia juga sadar, ia tak bisa terus bersembunyi. Ia harus menerima satu kenyataan pahit bahwa Eric tak memilihnya. Dan untuk itu, ia tak ingin memaksakan apa pun. Yang ia butuhkan hanyalah waktu. Waktu untuk merapikan hatinya, menguatkan dirinya sendiri, sebelum kembali bertemu dengan semua orang, sebagai Louisa yang sudah berdamai. “Tapi kenapa rasanya rindu ini tak bisa dicegah, ya?” gumam Louisa pelan sambil memegangi dadanya.







